Akhlak

Luxury Belief: Kaburo Maqtan Gaya Baru

4 Mins read

Dr. Jordan Peterson, seorang profesor psikologi Universitas Toronto, dalam podcastnya bersama Rob Henderson, seorang anggota US Air Force dan alumni Universitas Yale membahas tentang luxury belief. Singkatnya, luxury belief adalah suatu paradigma yang dipromosikan oleh orang-orang kelas atas (sosial ekonomi) dimana mereka sendiri tidak ikut terkena dampaknya jika paradigma ini betul-betul dipraktikkan dalam kehidupan. Atau kalaupun terkena, pengaruhnya sedikit dan tidak terasa.

Rob yang pernah kuliah di Universitas Yale ini bercerita pengalamannya semasa menjadi mahasiswa. Teman sekelasnya seorang perempuan pernah mengatakan, “Pernikahan monogami itu udah gak jaman, seharusnya orang-orang bisa berpikir lebih jauh dari itu.”

Rob kemudian bertanya kembali kepadanya, “Emang bagaimana dengan orang tuamu? Kamu sendiri ada rencana nikah gak?” Dan perempuan tersebut menjawab kalau dia dibesarkan dari keluarga yang tradisional, dengan bapak dan ibu. Dia sendiri berencana untuk menikah dan ingin memiliki keluarga tradisional sebagaimana bapak dan ibunya. Tapi, ia buru-buru menambahkan bahwa ia tidak merekomendasikannya untuk semua orang.

Mendengar jawaban tersebut, Rob kebingungan. Bagaimana perempuan tersebut menyeru orang lain untuk menghindari hal yang ia sendiri lakukan? Itulah salah satu contoh dari luxury belief

Paradigma ‘Baik’ Supaya Terlihat Keren di Hadapan Manusia

Manusia punya kecenderungan alami untuk dikagumi, dianggap beda dengan orang lain, dan merasa bernilai ketika ia mendapatkan pengakuan. Umumnya, orang-orang diakui dan dikagumi sebab barang branded yang dipakainya, kendaraan mewah yang dikendarainya, atau di mana dan lantai berapa gedung kantornya.

Namun, apa yang terjadi jika hal-hal yang sifatnya materi semakin ke sini menjadi hal yang mainstream alias biasa? Ternyata ada hal lain yang bisa dijadikan ‘perhiasan’ baru. Apalagi kalau bukan nilai-nilai atau paradigma yang klaimnya berpihak pada kebaikan? Hal ini yang kemudian oleh Rob Henderson dinamakan sebagai luxury belief.

Luxury belief ini umumnya digunakan oleh orang-orang kelas atas dalam konteks sosial ekonomi. Karakteristik mereka di antaranya: memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga yang kaya dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga dengan orang tua lengkap. Namun, orang-orang seperti ini di saat yang sama justru paling vokal tentang pandangan yang unik atau tidak biasa. Salah satunya adalah tentang pernikahan.

Baca Juga  Teladan Pandanarang dalam Babad Demak

Seperti yang diceritakan di atas, mereka mengatakan dengan enteng bahwa pernikahan itu ketinggalan jaman dan orang-orang perlu berkembang lebih jauh dari itu−seolah-olah tidak ada konsekuensi dari perkataan seperti ini. Demi terlihat ‘berbeda’ dan seolah peduli untuk kebaikan masyarakat, mereka menyuruh meninggalkan institusi pernikahan. Tapi itu cukup untuk orang lain saja. Karena di balik itu, orang kelas atas ini melakukan hal yang mereka seru untuk ditinggalkan.

Fenomena ini tentu bukan tanpa masalah karena paradigma ini sudah nyata akibatnya. Menurut data pernikahan di Amerika dari tahun 1960 dan 2015, Persentase menikah pada kalangan menengah ke atas dua kali lipat besarnya dari pada kalangan menengah ke bawah. Terdapat kesenjangan yang besar antara si miskin dan si kaya dalam hal pernikahan. Di samping itu, persentase kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan) justru tinggi pada kalangan yang sosial ekonominya rendah. Hal ini berakibat pada banyaknya kelahiran anak hasil hubungan di luar nikah dari kelas sosial miskin dan kelas pekerja.

Luxury Belief Menyakiti Mereka yang Lemah

Dahulu mayoritas masyarakat di Amerika sepakat bahwa hubungan laki-laki dan perempuan perlu dilegitimasi dalam pernikahan. Namun sekarang, tak sedikit yang skeptis terhadap pernikahan. Pernikahan digadang-gadang sebagai institusi patriarki, sumber penindasan bagi perempuan. Seks kemudian dianggap sebagai hal yang kasual, tidak serius, sehingga tidak perlu dibingkai dalam pernikahan.

Dari mana ini semua berasal? Pemikiran ini datang dari orang-orang yang mengklaim dirinya progresif dan tercerahkan yang sebagian besar merupakan orang kelas atas. Sayangnya, bukannya hal cerah yang timbul, justru sebaliknya. Siapa yang merasakan akibat tragis ini? Lagi-lagi yang menanggung deritanya adalah para kalangan menengah kebawah.

Baca Juga  Ramadhan: Momentum Revolusi Akhlak Manusia

Meskipun propaganda semacam ini mudah untuk disadari,  namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Kita perlu memahami konteks dua kelas sosial ekonomi ini ketika terpapar propaganda yang sama. Orang yang kaya dan berpendidikan serta dibesarkan dari keluarga yang lengkap lebih memungkinkan mereka untuk melihat propaganda ini dalam konteks yang luas dan kerangka berpikir jangka panjang.

Mereka memahami bahwa seks punya konsekuensi ekonomi yang besar, sehingga melakukannya di luar pernikahan adalah merugikan. Ataupun jika terjadi, mereka mampu membereskan “kekacauan”-nya dengan sumber daya yang mereka punya. Tekanan dari lingkungan alias social pressure mereka juga amat besar, mengingat mereka sangat peduli terhadap status sosial. Semua itu menjadikan keputusan untuk menjalani kehidupan yang konvensional seperti pernikahan jauh lebih masuk akal.

Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berada di kelas ekonomi bawah dan kelas pekerja. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini kemungkinan tidak punya sumber daya dan cara berpikir yang memadai untuk menghasilkan kesimpulan yang tepat. Akibatnya, lebih sulit bagi mereka membentengi dari bahayanya pemikiran “progresif” tentang pernikahan.

Alih-alih mengkritisi, sebagian mereka menganggap paradigma ini keren untuk diadopsi karena kekinian. Meskipun ada juga yang sadar bahwa semua itu hanya ilusi, jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibanding yang terbawa arus ini. Di Indonesia, fenomena luxury belief ditandai dengan adanya Sosial Justice Warrior atau influencer yang sering kali menyerang pemahaman tentang hal-hal yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman.

Agama Melarang Kaburo Maqtan

Dalam agama Islam kita mengenal konsep kaburo maqtan. Dalilnya terdapat dalam Q.S Ash-Shaff ayat 3. Singkatnya, kaburo maqtan adalah murka Allah terhadap orang-orang yang mengatakan hal yang tidak dilakukannya. Apalagi jika mengatakannya hanya untuk mencari muka di hadapan manusia−dianggap keren, berbeda, ngetrend, progresif; sebagaimana orang kelas atas yang mudah mempromosikan luxury belief ini.

Parahnya lagi, bukannya membawa maslahat, tapi malah membawa mudharat bagi umat manusia. Bayangkan, bagaimana ganjarannya jika melakukan sesuatu mudharat yang didasari ingin memuaskan ego pribadi dan ditambah lagi dengan menyakiti kehidupan banyak orang tanpa disadari.

Baca Juga  Memaknai Falsafah Nrimo Ing Pandum

Pesan yang dapat kita ambil bukanlah untuk membenci kalangan kelas atas Bukan itu poin tulisan ini. Hikmah yang bisa kita ambil dari merebaknya luxury belief adalah agar kita berhati-hati terhadap apa yang kita serukan dan terhadap niat kita dalam menyerukannya.

Karena lidah kita sering kali terlalu enteng mengeluarkan kata-kata padahal apa yang kita katakan tidak didasari proses berpikir yang mendalam, luput dari empati terhadap dampak fatalnya bagi orang lain, dan yang lebih parah lagi, jauh dari tuntunan Tuhan sang pencipta semesta alam.

Esok lusa, bisa jadi kita diuji saat berada ‘di atas’ atau menempati posisi berpengaruh. Lantas mampukah kita mencukupkan diri dengan pengakuan Tuhan? Atau malah rakus terhadap perhatian sampai kemudian tak peduli pada kerusakan yang ditimbulkan?

Editor: Bayu Setiawan

Arifa Amal
1 posts

About author
Penulis lepas, mentor di @Frasa.in
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds