Apakah ada orangtua menginginkan anaknya celaka? Jawabannya tentu saja tidak. Setiap orangtua selalu memiliki imajinasi agar anak-anak mereka tumbuh dan besar serta mendapatkan masa depan yang layak. Investasi terhadap waktu, uang, kerja keras, dan doa adalah komponen orangtua yang selalu mereka perjuangkan untuk membesarkan anak-anak mereka.
Namun, imajinasi itu bisa tumbuh dalam struktur masyarakat yang sehat, di mana kanal-kanal suara didengarkan; kebijakan negara membawa kesejahteraan untuk masyarakat; dan adanya partisipasi publik dalam membangun negara. Sistem demokrasi, sejelek apapun itu bentuknya, memberikan semacam harapan bagi banyak negara, khususnya mereka yang berada di bawah rejim represif militer, tidak terkecuali Myanmar.
Ma Kyal Sin adalah anak-anak muda kebanyakan dari Myanmar dan juga dunia. Suka bermain dengan instagram, swafoto, dan menampilkan diri sebagai bagian dari generasi milenial kebanyakan yang lain. Ia menyukai makanan pedas, berlatih Taekwondo, dan selalu menggunakan lipstik merah tebal. Bersama teman sebaya dan perempuan lainnya, ia turun ke jalan, melawan rezim represif militer yang telah membajak demokrasi di Myanmar selama bertahun-tahun.
Ia turun ke jalan bukan karena ikut-ikutan, tetapi ia sadar terhadap pilihan politiknya. Karena itu, ia sudah mempersiapkan sebagai penanda golongan darahnya apabila terluka dan membutuhkan darah. Ia bahkan sudah siap mendonorkan tubuhnya apabila tertembak kepada mereka yang membutuhkan. Semua persiapan yang dilakukan oleh Ma Kyal Sin direstui oleh orangtuanya, tepatnya sang Ayah. Ini terlihat dari sejumlah foto yang beredar di lini masa sosial media.
Ia kemudian mengadopsi namanya ke dalam bahasa Inggris menjadi Angel (malaikat). Karena itu, ia sangat percaya diri ketika mengenakan kaos warna hitam dengan bertuliskan “Everything will be okay!”.
Saat turun ke jalan Mandalay sore itu, ia benar-benar menjadi malaikat sesungguhnya. Badannya mati tertembak oleh peluru panas di kepalanya, tetapi ruhnya naik ke langit. Kematiannya kemudian menjadi simbol perlawanan dan kepahlawanan anak-anak muda Myanmar melawan junta militer, yang saat ini sedang berjuang.
Sosok semacam Ma Kyal Sin selalu ada dan tumbuh dalam negara di mana keadilan menjadi kata busuk bagi pemegang kebijakan dan demokrasi disumbat karena dianggap menganggu otoritas kekuasaan. Di Indonesia, kita memiliki sosok Ma Kyal Sin, yaitu Randi (21 tahun), mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari.
Ia tewas karena peluru timah panas didadanya karena melawan UU Ciptaker. tapi atas nama polarisasi politik pasca pilpres kita mengganggapnya sebagai penganggu untuk membangun investasi ekonomi Indonesia yang lebih baik.
Jauh sebelumnya, ada 28 orang mahasiswa yang meninggal untuk melawan warisan rezim otoriter Orde Baru di tengah transisi Indonesia pada tahun 1998, dikenal dengan tragedi Semanggi I dan II. Tidak sedikit yang mengikuti demonstrasi saat itu terluka dan harus dibawa ke rumah sakit. Ironisnya, elit politik yang dilawan oleh mahasiswa saat itu adalah orang-orang yang kini duduk dalam pemerintahan saat ini.
Saya, dan kemungkin kamu, mengingat nama Mal Kya Sin dengan penuh haru. Melihat perjuangan anak-anak muda Myanmar dalam memperjuangkan jalan demokrasi untuk negaranya yang lebih baik. Namun, di tengah itu, kita punya ingatan yang pendek terhadap impunitas para pelaku kejahatan HAM di Indonesia yang kini juga turut mengamankan kekuasaan saat ini. Atas nama polarisasi pilpres, kita kemudian, baik secara blak-blakan atau diam-diam mendukungnya.
Kematian dan luka-luka karena melawan UU Ciptaker yang menjadi semacam buldozer kapitalisme di Indonesia dianggap sebagai angin lalu dengan sebutan “enggak penting.” Ironisnya, di tengah situasi seperti ini, tidak sedikit anak-anak muda Indonesia, dengan mengatasnamakan kreativitas dan pelopor perubahan, serta dunia digital, justru menggerogoti APBN melalui akses politik dengan jalan informalitas politik melalui program-program yang seakan berpihak.
Editor: Yusuf