IBTimes.ID – Pada tanggal 21 Oktober di Sorbonne, Presiden Macron mengatakan:
“Kami tidak akan menolak adanya karikatur maupun gambar apapun.”
Macron juga mengatakan bahwa sebagai orang Prancis, ia tidak akan menyerah. Ia tidak menolak adanya karikatur atau gambar apapun karena itu bagian dari kebebasan berekspresi. Pemerintah Prancis memberikan kehormatan tertinggi kepada Samuel Paty karena dianggap telah memperjuangkan kebebasan berpendapat yang menjadi karakter utama Prancis. Hal ini disampaikan oleh Andar Nubowo dalam Webinar Cokro TV (30/10).
Kalimat Macron sebenarnya bersifat umum, tidak spesifik terhadap karikatur Nabi Muhammad. Ia membela kebebasan berekspresi apapun bentuknya. Erdogan kemudian merespon dengan mengatakan bahwa sebaiknya Macron pergi ke rumah sakit jiwa untuk memeriksa kesehatan mentalnya. Erdogan mengutuk pernyataan Macron karena dianggap telah menghina Nabi Muhammad.
Menurut Andar Nubowo, pernyataan Erdogan viral dan menyebabkan berbagai pemboikotan. Dari pengamatan Andar, umat Islam di Indonesia merasa seolah-olah umat Islam yang tinggal di Prancis mendapatkan intimidasi dan persekusi dari Presiden Macron.
“Situasi di Prancis baik-baik saja, tidak ada masalah. Umat Islam bekerja seperti biasa, hidup seperti biasa, jilbab tetap tampil di publik,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa Macron tidak memusuhi Islam, namun secara jelas memusuhi Islam radikal. Ini adalah istilah resmi yang dipakai oleh Presiden Macron untuk menunjuk aksi vandalisme dan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam.
Sebelumnya, pada Januari 2015, redaktur Charlie Hebdo yang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad ditembak mati dan 7 orang meninggal. Ada juga terorisme yang menewaskan 176 orang dan kasus-kasus lain. Pemerintah Prancis melakukan tinjauan ulang tentang apa yang terjadi dengan umat Islam di Prancis.
Maka, menurut Andar, melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah maupun akademisi, terdapat sel-sel radikalisme yang hidup di masjid-masjid yang berada di luar kontrol negara. Mereka mencita-citakan adanya syariat Islam di Prancis.
“Kelompok ini ketika ditanya, mereka mengatakan bahwa hukum syariat lebih tinggi daripada konstitusi Prancis. Di sini Pemerintah Macron mencoba melakukan revisi hubungan antara agama dan negara melalui RUU Separatisme Agama,” jelasnya.
RUU Separatisme Agama bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap tumbuhnya gerakan-gerakan Islam Politik yang selama ini menarik pemuda-pemuda Islam yang secara ekonomi dan pendidikan termarjinalisasi. Sebagian besar imigran muslim yang datang dari Afrika, Maroko, Tunisia, dan lain-lain adalah imigran yang secara pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah.
Maka, keluarga-keluarga muslim yang mengalami masalah ini gampang sekali untuk dirayu oleh kelompok-kelompok Islam politik atau Islam radikal. Sehingga, isu radikalisme dalam 20 tahun terakhir menjadi makanan empuk bagi kelompok ultra-nasionalis Prancis.
Kandidat PhD pada Ecole Normale Superieure Lyon ini melihat bahwa fenomena ekstrimisme keagamaan tidak hanya terjadi di Prancis. Fenomena ini juga terjadi di Belgia, Inggris, dan Jerman yang juga memunculkan debat di ruang publik Eropa. Sehingga ada upaya dari pemerintah untuk memunculkan Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai Prancis tanpa menjunjung semangat kekerasan.
“Naiknya radikalisme justru menguntungkan kelompok esktrem kanan atau ultra-nasionalis Prancis. Kelompok ultra-nasionalis atas nama sekularisme menyuarakan bahwa Prancis tidak boleh memberikan tempat untuk orang Islam. Mereka mengkampanyekan bahwa Islam tidak sesuai dengan budaya Prancis,” imbuhnya.
Ekstrem kanan ini secara politik maupun sosial memiliki pengaruh yang kecil. Pada tahun 2017, Macron memenangkan pemilihan presiden melawan kelompok ultra-nasionalis. Maka, gagasan anti Islam yang dibawa oleh ekstrem kanan ditolak.
Justru, pembela utama kelompok Islam di Prancis adalah kelompok sosialis dan komunis. Pada tahun 2008, ada partai komunis yang salah satu anggota calon legislatifnya bernama Ilham Musawi yang beragama Islam. Macron secara politik awalnya bergabung dengan partai sosialis.
“Macron sebenarnya ingin mencari solusi dari problem radikalisme yang masih diyakini oleh sebagian umat Islam di Prancis. Erdogan, Mahatir, dan lain-lain mendapatkan informasi yang kurang tepat, dikaitkan dengan karikatur Nabi Muhammad, menjadikan munculnya ekspresi yang lahir dari emosi dan cenderung kurang baik. Prancis ingin menjaga nilai laicite yang berbeda dengan sekularisme negara lain,” tutupnya.
Reporter: Yusuf