Review

Mengkritik Feminisme Islam: Apakah Islam Agama Patriarki?

4 Mins read

Maraknya isu-isu seksualitas, kasus kejahatan seksual, hingga opsi agenda pengentasan permasalahan seksualitas, feminisme tidak bisa dilepaskan dari diskursus. Beberapa golongan menganggap feminisme sebagai paradigma yang sesuai untuk menjawab patriarki, sementara beberapa yang lain tidak sependapat. Pada masyarakat dengan jumlah penganut Islam yang besar, feminisme Islam menjadi bagian dari diskursus sebagai opsi paradigma melihat persoalan seksualitas.

Sebagai masyarakat muslim, kita perlu memahami bagaimana paradigma feminisme Islam bekerja. Apakah ia gagasan yang sesuai dengan Islam, atau ia hanya agenda apologetik feminis untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat muslim?

Artikel ini ingin mengulas pandangan Zeenath Kausar yang mengkritik pandangan Amina Wadud akan gagasan feminisme Islam. Zeenath Kausar menganalisis pemikiran Amina Wadud dari buku-bukunya, mulai dari Quran and Woman, Gender Jihad, dan beberapa wawancara.

Feminisme Islam tentang Islam, Patriarki, dan Seksualitas

Kausar melihat ada inkonsistensi Wadud dalam sikapnya terhadap Islam, patriarki, dan sikapnya pada seksualitas. Pada satu tempat, Wadud menulis bahwa Quran tidak menghapus perbedaan laki-laki dan perempuan dan menekankan kooperasi satu dengan lainnya. Namun pada buku yang sama, Wadud menulis bahwa Quran netral terhadap patriarki, seakan Islam tidak berusaha untuk menghapus patriarki.

Bahkan, Wadud mengajukan pertanyaan seperti berikut dalam Quran and Women,

“Some women activists today openly question this neutrality. Why didn’t the Quran just explicitly prohibit these practices? If the evolution of the text and its overall objective is consumed under one-albeit important aspect of social interaction, say consciousness raising with regard to women, then the Quran is made subservient to that aspect, rather than the other way around.”

Amina Wadud, Quran and Women

Sebagai muslim, pertanyaan retoris ini bermasalah karena mengedepankan bias perspektif pembacaan individu untuk mengklaim absennya Quran dalam menjawab persoalan perempuan.

Baca Juga  Gayatri Spivak: Feminisme Barat Belum Tentu Cocok di Dunia Timur

Wadud dalam Gender Jihad juga menulis sikap yang problematik mengenai hubungan heteroseksual,

“New configurations of family – with or without heterosexual couples – must reconsider the ways that all the members of the family may play various rules in care-taking, protection, and provision.”

Seakan-akan Wadud membuka opsi bagi muslim untuk berkeluarga di luar kerangka heteroseksual, yang bertentangan secara asasi dengan prinsip seksualitas Islam. Wadud juga sangat permisif pada gerakan LGBTQ hingga mengklaim bahwa ia mampu menjadi ally’ bagi gerakan LGBQ.

Dengan sikap yang lebih dekat kepada agenda feminisme alih-alih pada dakwah Islam, feminisme Islam menunjukkan kelemahannya sebagai tawaran agenda Islam.

Tanpa Feminisme Islam, Islam Sudah Menggugat Patriarki

Zeenath Kausar berusaha untuk menegaskan bahwa tanpa gagasan feminisme Islam yang dibawa Amina Wadud, Islam telah melawan patriarki. Tidak hanya patriarki, matriarkat juga ditentang dalam Islam. Seluruh bentuk ketundukan dan hegemoni sesama manusia pada dasarnya ditentang oleh Islam.

Kausar menekankan kembali gerakan dakwah Islam yang tidak hanya menentang patriarki secara gagasan, namun sebagai praktik yang nyata. Penguburan bayi perempuan hidup-hidup, pewarisan istri dan bahkan ibu oleh laki-laki arab pada turunannya, hingga poligini tanpa batas, dientaskan oleh Islam.

Berbeda dengan patriarki yang memaksa perempuan untuk submisif pada laki-laki, Islam menundukkan baik laki-laki dan perempuan hanya pada Allah. Baik laki-laki dan perempuan adalah khalifah yang diberikan amanah oleh Allah untuk bergerak dalam naungan dunia Islam. Sedangkan dalam patriarki, perempuan adalah subjek dalam kekuasaan laki-laki yang senantiasa didominasi untuk kepentingan laki-laki semata.

Oleh karena itu dalam Islam, apabila ada perintah dari Allah dan rasul-Nya pada manusia untuk mematuhi institusi, kepatuhan tersebut didasari oleh mencari ridho Allah semata. Sebagaimana patuhnya rakyat terhadap pemimpin dan seorang istri pada suaminya, kepatuhan tersebut terkonteks pada kepatuhan pada Allah. Maka, apabila pemimpin bagi rakyat dan suami bagi istri bertindak tidak sesuai dengan perintah dan ajaran Allah bahkan hingga zalim, maka tidak perlu dipatuhi kezalimannya.

Baca Juga  Amina Wadud, Feminis Muslim yang Berani Jadi Imam Shalat Bagi Laki-Laki

Dengan langkah nyata, Islam dengan jelas melakukan perubahan pada patriarki masyarakat Arab yang problematik. Maka sikap Wadud tentu perlu dipertanyakan, pada dasar apa dia menilai bahwa Islam netral dan permisif pada patriarki?

Apakah Relasi Gender dalam Islam Patriarkis?

Islam dinilai permisif pada patriarki umumnya oleh penganut feminisme Islam didasari karena sikap Islam dalam peran gender laki-laki dan perempuan. Penilaian itu nyata pada ayat ‘rijaal qawwaam’ di Surah an-Nisa ayat 34 yang dianggap patriarkis. Perlu dipahami bahwa hanya ayat tersebut yang secara eksplisit memberikan perbedaan peran gender yang didasari oleh hikmah biologis.

Tidak dinafikan bahwa perempuan pada masa-masa reproduksi dan pertumbuhan anak berada pada posisi yang rentan kendati terdapat perkembangan teknologi. Hikmah ayat tersebut tidaklah lain kecuali untuk memberikan keadilan pada perempuan atas penciptaan biologis yang demikian. Ayat ‘rijaal qawwaam’ adalah bentuk komplementer laki-laki terhadap perempuan untuk senantiasa melindungi dan mengakomodasi perempuan.

Esensi hubungan suami dan istri juga dijelaskan dalam Surah ar-Rum ayat 21 bahwa ia didasari oleh cinta dan belas kasih. Pada al-Baqarah ayat 187 juga dijelaskan bahwa suami dan istri ibarat pakaian bagi satu antar lainnya, yang melindungi aib pasangan dan melengkapi identitasnya. Dari kedua ayat yang mendasar mengenai relasi suami-istri, apakah ia bersifat patriarkis sehingga membutuhkan paradigma tambahan untuk ‘menambal’-nya?

Bahkan dalam mengurus anak sekalipun, pada ayat 233 Surah al-Baqarah, Allah membuka peluang untuk suami-istri saling berkonsultasi, tidak serta merta menjadi beban bagi perempuan. Ditekankan dengan asas umum pentingnya musyawarah pada asy-Syura ayat 38, maka Islam dengan sendirinya sudah sangat adil dan komplementer bagi laki-laki dan perempuan.

Peran Gender Menurut Islam dan Budaya

Zeenath Kausar menjelaskan bahwa sebenarnya peran gender yang dinilai patriarkis sehingga problematik sebenarnya berasaskan dari budaya yang masih dipraktikkan masyarakat muslim. Salah asosiasi akan peran gender akibat budaya kepada Islam membuat kesalahpahaman akan ajaran Islam terkait gender yang sebenarnya.

Baca Juga  Perjuangan Feminisme di Indonesia Belum Usai

Kausar membagi peran gender menurut Islam menjadi tiga; peran normatif umum yang dimiliki baik suami dan istri, peran spesifik bagi suami dan istri secara komplementer, dan peran yang ditetapkan oleh musyawarah.

Peran normatif umum yang dimaksud adalah pemahaman konsep komplementer ayat ‘pakaian bagi sesama’ dan hubungan berdasar cinta dan kasih. Peran gender spesifik dalam Islam adalah ‘qawwaam’ bagi laki-laki dan keutamaan menjadi ibu yang merawat anak dalam hadis ‘ibumu tiga kali’. Adapun yang ditetapkan oleh musyawarah sebagaimana kesepakatan mengerjakan kerja domestik, baik suami maupun istri.

Peran gender berdasar budaya yang patut digugat adalah penisbatan peran domestik semutlaknya pada perempuan semata hingga laki-laki sepenuhnya berlepas diri. Telah nyata bentuk pemerasan dan eksploitasi perempuan akibat pemahaman kebudayaan yang ignoran seperti demikian.

***

Dalam gagasan feminisme Islam yang direpresentasikan Wadud dan berbagai penggagas lain yang serupa, lebih banyak ditemui agenda yang memenuhi agenda feminisme daripada pesan dakwah Islam. Muslim perlu lebih kritis dalam menanggapi permasalahan dengan kacamata yang bersumber dari penafsiran Islam yang sehat.

Feminisme Islam gagal untuk menjadi alternatif dalam menjawab persoalan perempuan dan seksualitas, terlebih saat Islam secara asasi telah selesai dengan gagasan keadilan bagi perempuan. Feminisme Islam lebih banyak memberikan distorsi pada ajaran Islam, menganggap Quran dan Sunah tercampur oleh patriarki hingga memerlukan metode lain untuk ‘membersihkan’ Islam.

Wallahu alam bi shawab.

Editor: Yahya FR
Shidqi Mukhtasor
8 posts

About author
Redaktur IBTimes.ID. PIH PCI IMM Malaysia. Mahasiswa S1 Usuluddin di Internasional Islamic University of Malaysia.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *