Ketika menginjakkan kaki di universitas, itu artinya kita sudah mengikrarkan diri menjadi mahasiswa. Maha itu “sangat” dan bahkan “tertinggi”, sementara siswa adalah “pembelajar” atau bisa juga “pecinta ilmu”.
Menjadi mahasiswa, harapannya adalah menjadi sosok pembelajar yang sangat mencintai ilmu. Jika demikian, maka ia sangat haus akan jawaban-jawaban dari segala pertanyaan yang berdesir di dalam jiwa.
Yang mendebarkan, tidak ada kepastian untuk mendapatkan jawaban-jawaban itu. Ya, terkadang serba gelap. Bahkan, di sepanjang usia yang dimiliki, seorang mahasiswa masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang dianggapnya penting.
Setelah sederet gelar sarjana diraih (sarjana, magister, dan doktor), bukan malah menjadikan sang mahasiswa serba tahu. Yang ada malah menjadikannya serba bodoh. Semakin bodoh, bagi mahasiswa semakin membahagiakan, karena membuatnya bergairah dan penuh energi untuk mencari jawaban yang melegakan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.
Mahasiswa adalah Mahabodoh!
Rasa-rasanya kalau begitu, tidak keliru mahasiswa menganggap dirinya sebagai “mahabodoh”. Dengan kebodohan eksistensial yang ditanggungnya, itu menjadikan dirinya menemukan kemurnian sebagai insan pembelajar.
Ungkapan, “Aku tidak tahu suatu hal. Karena itu, aku akan mencari tahu akan hal itu… ” terpateri mati di lubuk hati. Ini pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya “mahasiswa” atau bahkan sosok manusia yang mau dan mampu berpikir, adalah subjek yang tak terbatas. Ia tak terbatasi oleh apapun ketika mengungkapkan tanya. Ia, tak terinterupsi.
Ketakterbatasan nalar tanya yang dimiliki (baca, rasa ingin tahu), merupakan garis sunatullah yang menunjukkan bahwa dirinya dan Tuhannya adalah dua sosok yang berbeda. Dirinya selalu memikul tanda tanya, sementara Tuhannya senantiasa membawa serta jawaban dan pencerahan.
***
Jalan tengah keduanya adalah wahyu Ilahi (kitab suci). Sementara Sang Nabi adalah pembawa nubuwah; bahwa hidup ini tak selalu berupa jalan buntu. Ada harapan untuk menemukan jawaban yang sejati: kebenaran.
Dari sini, kita akan insyaf bahwa menjadi mahasiswa, berarti bukan sekedar untuk memenuhi hasrat duniawi. Rasa ingin tahu yang terombang-ambing dalam ketidakpastian yang tak berujung pangkal.
Ketika terdapat ungkapan luhur, “Tuntutlah ilmu sejak belia hingga kita berselimut tanah di liang lahat,” itu adalah isyarat bahwa betapa pentingnya menjadi pembelajar; menjadi mahabodoh.
Sementara itu, ketika kitab suci menyebut, “Iqra’, bismi rabbikalladzi halaq” atau “Nun…, wa al-qalami wama yasturun…” adalah petunjuk bahwa pembelajar berpeluang menemukan segala jawaban yang diidamkannya, dengan syarat mendekatkan diri kepada Pemiliki Segala Jawaban Sejati.
Mencari ilmu, mencari jawaban hidup ini, tampaknya semakna dengan mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi; Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Dus, menjadi mahasiswa yang mahabodoh adalah jalan ibadah yang suci. Sungguh benar firman Tuhan, “Apakah engkau tidak berpikir? Apakah engkau tidak memperhatikan? Apakah engkau tidak merenungkan?”