Perspektif

IPTEK Makin Maju, Apakah Agama Sudah Tak Relevan Lagi?

3 Mins read

Beberapa waktu lalu, saya asyik duduk santai sendirian di warung kopi sembari menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Tiba-tiba, datang seorang teman alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. “Sudah dari tadi”? tanya temanku. “Enggak”, jawabku santai. Kemudian dia duduk. Kita pun mengobrol panjang lebar dan ngalur ngedul. Dari soal kabar, aktivitas sehari-hari hingga persoalan ilmu pengetahuan. Wajar, kita baru ketemu sejak sekian lama berpisah.

Apakah Agama Sudah Tidak Relevan?

Setelah cukup lama kita mengobrol kurang lebih 2 jam-an, tiba-tiba temanku menyodorkan satu statement yang bagi saya cukup menggelitik, serius, dan tak patut untuk dilontarkan kepada masyarakat awam dikarenakan dapat menuai kontroversial. Menurutnya, agama sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.

Apalagi, di tengah kemajuan zaman yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, dapat memberikan segalanya bagi kebutuhan manusia.

Bahkan, mampu memecahkan persoalan yang dihadapi umat manusia. Dengan demikian, orang sudah tidak memerlukan dan membutuhkan agama dalam kehidupannya, tegas temanku.

Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tentu saya tidak langsung mempercayai statement tersebut. Kemudian dalam benak pikiran saya terbesit sepintas pertanyaan, benarkah agama tidak lagi relevan dalam kehidupan manusia? Atau, orang sudah tidak memerlukan agama di tengah kemajuan zaman, sebagaimana yang diungkapkan teman saya itu?

Memang, benar, kemajuan zaman yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi umat manusia berkah yang melimpah ruah berupa kecanggihan, kemudahan materi, dan memperluas cakrawala pemikirannya membuat manusia tidak lagi memerlukan kepada lainnya, apalagi agama. Sebab, segala kebutuhannya telah terpenuhi.

Mengapa Agama Tampak Tak Relevan di Tengah Perkembangan Zaman?

Mengutip Karen Armstrong dalam bukunya bertajuk A History of God (Sejarah Tuhan) menyatakan, salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib.

Baca Juga  Pandemi Belum Reda, Perilaku Harus Beda

Kultur ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode penyelidikan dunia seperti ini memang tengah membawa banyak hasil.

Itu sebabnya, standarisasi kebenaran acapkali merujuk pada pemikiran logis-empiris-positivistik. Artinya, segala pengetahuan yang tidak dapat diteliti atau dibuktikan berdasarkan ilmu empiris-positivistik bukanlah suatu kebenaran hakiki, dalam hal ini kebenaran agama. Alhasil, manusia pada era ini tidak mau lagi diatur oleh agama, bahkan tak memerlukan agama dalam laku hidupnya dikarenakan kebenarannya bersifat abstrak dan tak bisa dibuktikan.

Walau begitu, segala kecanggihan dan kemudahan yang disuguhkan menjerumuskan manusia dalam krisis kehidupan yang kompleks dan bersifat global. Banyak di antara mereka yang mengalami disorientasi dan kehilangan arah.

***

Tak ayal, mereka menjadikan dunia sebagai tujuan hidup bahkan laku hidupnya ditujukan terhadap dunia semata. Akibatnya, mereka kehilangan kepekaan tentang yang “spiritual” atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Dengan bahasa lain, perhatian mereka atas agama dan nilai-nilai etika perlahan mulai memudar dan hilang bak ditelan bumi.

Mengutip Sayyed Hossein Nasr seorang intelektual muslim terkemuka yang ahli di bidang filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam asal Teheran, Iran, menyatakan bahwa akibat manusia modern yang terlalu mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam krisis spiritual. Akibatnya, mereka mengalami kehampaan, anomali, kegelisahan, disorientasi, ketidakbahagiaan, dan akhirnya bunuh diri.

Jadi, jelas bahwa pernyataan teman saya di atas kurang tepat atau keliru. Apalagi, sekadar berdalih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sampai kapan pun agama akan tetap relevan bahkan manusia senantiasa memerlukannya kendati zaman tengah mengalami perkembangan sangat pesat.

Baca Juga  Pengalaman Saya Mempraktikkan Moderasi Beragama

Mengapa demikian, sebab agama hadir berfungsi sebagai pembimbing hidup bagi umat manusia, penolong dalam kesukaran, penenteram batin, dan pengendali moral atau kontrol sosial.

Agama untuk Apa?

Mengutip KH Husein Muhammad dalam tulisannya bertajuk Agama Itu Untuk Apa? dengan menyitir pendapat Muhammad Abduh seorang tokoh pembaharu muslim menyatakan, semua agama hadir untuk membimbing manusia ke jalan hidup utama (mulia), menciptakan kehidupan sosial yang baik, menjalin persaudaraan, keadilan, kasih sayang dan cinta bukan untuk menciptakan kerusakan, membodohi, permusuhan, saling membenci dan kekerasan. Inilah tujuan utama dari semua agama.

Lebih jauh lagi, agama merupakan respons terhadap segala kebutuhan umat manusia. Yakni untuk mengatasi kegagalan yang timbul akibat ketidakmampuannya dalam memahami kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa di alam semesta yang rupa-rupanya tidak dapat diketahui dengan tepat, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dalam banyak hal, baik tampak maupun gaib.

Ini berarti, kebutuhan manusia akan agama bukan sekadar untuk kebaikan dirinya di hadapan Tuhan, melainkan juga membantu dalam memecahkan pelbagai problem yang kadang-kadang tak bisa dipahami dan dipecahkan. Wallahu A’lam

Saidun Fiddaraini
8 posts

About author
Santri di PP Nurul Jadid, Paiton
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *