Tafsir

Majaz Mursal: Kiasan yang Memperindah Al-Qur’an

3 Mins read

Di momen Idul Fitri ini, perkenankan saya secara khusus membahas bahasa yang bersumber dari sebuah bacaan paling lengkap dan indah sepanjang zaman: Al-Qur’an. Karena merupakan bacaan paling indah, tak heran kalau kitab suci umat Islam itu berisi rimba raya kata dan makna. Sebab, sebuah bacaan akan membuat pembaca nyaman berlama-lama bukan hanya karena kandungan isinya yang bernas, tapi juga stilistikanya yang menawan.

Itu pula yang dialami banyak orang ketika membaca sebuah novel. Karya sastra yang bikin betah pembacanya tidak sekadar mengandung nilai atau pelajaran yang didaktis. Lebih dari itu, harus disampaikan lewat sarana yang indah. Dulce et utile. Begitu Horatius memandang karya sastra yang paripurna. Dulce berarti sangat menyenangkan atau nikmat, dilihat dari perantinya. Sedangkan utile bermakna isinya bersifat mendidik, dipandang dari substansinya.

Bagaimana dengan Al-Qur’an? Bahasa dalam Al-Qur’an dapat menimbulkan efek tertentu bagi pembacanya, misalnya rasa tenteram dan tenang. Meskipun Al-Qur’an dibaca berulang-ulang, pembaca atau pendengarnya tidak akan jenuh. Bahkan, pendengar dapat merasakan keindahan lantunan ayat-ayat suci tersebut. Sebab, kata Tjokrowinoto, kitab suci Al-Qur’an ialah sesuatu yang indah dan benar.

Nah, salah satu peranti yang memperanggun kandungan Al-Qur’an itu bahasa kiasan. Al-Qur’an menyebutnya majaz mursal. Majaz mursal merupakan suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya. Menurut Muhammad Syamsudin Noor, majaz mursal sengaja digunakan untuk menunjukkan selain arti aslinya karena melihat persesuaian yang bukan penyerupaan serta adanya pertanda yang menunjukkan tidak menghendaki makna aslinya. Sebetulnya majaz mursal masih dibedakan atas lughawy dan aqliy. Tapi, tulisan ini cukup dibatasi pada wilayah majaz mursal (yang nanti mengerucut pada perumpamaan dan metafora). Dalam bahasa Indonesia, majaz mursal ini serupa dengan majas. Cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain.

Baca Juga  Manusia Unggul menurut Al-Qur’an

Menyamakan sesuatu dengan yang lain itu bisa berupa perumpamaan, bisa pula berwujud metafora. Perbedaannya, jika perumpamaan ditandai dengan kata tugas seperti, ibarat, bagaikan, seumpama, bak, dan laksana, metafora tidak. Metafora, menurut Kridalaksana, merupakan pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan dalam objek atau konsep itu.

Perumpamaan

Dwi Atmawanti, dalam tulisan Majas dalam Al-Qur’an, pernah meneliti bahasa-bahasa perumpamaan atau asosiasi dalam juz 30. Dalam surah An Naba ayat 10, misalnya, ia menemukan kalimat: dan Kami jadikan malam sebagai pakaian (waja’alna laila libasa). Ada perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainanyang sengaja dianggap sama. Kata malam disebut pakaian karena malam itu gelap menutup jagat sebagaimana pakaian  menutupi tubuh manusia.

Lalu, di surah Al Qariah ayat 4 juga terdapat majas perumpamaan dari bunyi Yauma yakununnasukal farasil mabsus: Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Jadi, manusia pada hari kiamat akan tercerai-berai dan lari tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri.

Al Fil ayat 105 juga mengandung majas asosiasi. Yaitu pada kalimat lalu Dia menjadikan  mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Bagian kalimat seperti daun-daun  yang  dimakan  (ulat) merupakan majas perumpamaan. Dalam konteks itu, keadaan manusia diumpamakan daun yang dimakan ulat.

Di dalam Al-Qur’an juga bertebaran frasa-frasa bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, dan gunung sebagai pasak. Semuanya mengandung maksud bahwa manusia tidak perlu takut tinggal di dunia ini karena Allah sudah menjanjikan bumi dan langit untuk dihuni. Dan, sebagaimana pasak yang digunakan untuk menahan atau mencencang sesuatu agar kukuh, gunung-gunung pun memiliki fungsi penting dalam menstabilkan kerak bumi.

Baca Juga  Mungkinkah Membuat Terjemah Resmi Al-Qur'an?

Metafora

Di luar majas asosiasi, Al-Qur’an juga memiliki majas metafora. Masih dalam artikel tadi, terdapat metafora pada surah Al Fajr. Salah satunya ada dalam ayat 30: dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak). Pasak di situ bukan bermakna leksikal sebagai sepotong besi atau kayu tidak berkepala untuk menyatukan dua bagian besi, kayu, atau bagian mesin. Tetapi mengacu pada pasukan bala tentara Fir’aun yang melimpah untuk menyeimbangkan kekuatan mereka.

Frasa Unta melewati lubang jarum juga mengandung metafora. Pertanyaan apakah unta bisa masuk ke dalam lubang jarum bukanlah sebuah canda. Allah SWT berfirman dalam sebuah ayat Alquran di surah Al A’raf ayat 40: ”Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan dan sombong kepada ayat-ayat Kami tidak akan dibukakan pintu-pintu langit. Dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum. Begitu balasan bagi orang-orang yang terkutuk.”

Unta masuk ke lubang jarum adalah sebuah ketidakmungkinan. Artinya, orang yang mendustakan dan sombong tidak akan bisa masuk surga. Ibaratnya adalah unta masuk ke lubang jarum. Sesuatu yang tidak masuk ke alam logika. Sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi.

Lalu, dalam surah Al Baqarah ayat 19, Allah juga menciptakan metafora nan indah lewat bunyi: ”Mereka menyumbat telinga dengan anak jarinya.” Kenapa menutup telinga? Sifat mereka, orang munafik ini, seperti berjalan pada malam hari yang gelap gulita diiringi hujan lebat dan disertai kilat dan petir. Maka, mereka menutup telinga dan jari-jari karena ketakutan. Setiap kali kilat menyambar, mereka dapat melihat jalan sehingga dapat berjalan. Namun, ketika kilat hilang, mereka kembali bingung. Maknanya, jika mengucapkan tauhid, orang munafik telah mendapat petunjuk. Namun, ketika ragu, mereka kembali bingung. Orang-orang ini menganggap dengan menutup telinga bisa menghindarkan diri dari bahaya.

Baca Juga  Hubungan QS. Ar-Ra'd: 29 dengan Psikologi Kebahagiaan

Itulah satu di antara bejibun alasan yang membuat orang takkan jemu membaca Al-Qur’an. Kita pun sering kali lebih bisa berlama-lama membaca novel atau cerpen yang sarat bahasa kiasan daripada, misalnya, buku teks pelajaran yang gaya bahasa dan diksi-diksinya hambar. Ya, jauh sebelum novel dan cerpen ada, Al-Qur’an lebih dulu hadir dengan kandungan majas yang indah, majaz mursal itu.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds