Tajdida

Majelis Tarjih dan Pergeseran Orientasi Muhammadiyah (Bagian 2)

3 Mins read

Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Anggapan tentang pergeseran orientasi Muhammadiyah apabila dilihat secara historis sesungguhnya dapat dimaklumi jika dilihat dari factor kelahiran Majelis Tarjih dalam tulisan saya sebelumnya yakni https://ibtimes.id/jelang-100-tahun-majelis-tarjih/. Pada bagian kedua ini saya ingin menyatakan bahwa pergeseran tersebut menurut Achmad Jainuri bukan merupakan bentuk perubahan orientasi ideologi, tapi lebih kepada penekanan mana yang lebih dibutuhkan, tepat dan prioritas untuk dilakukan (Jainuri, 1997). Dalam hal ini Jainuri menulis,

“Consequently, the practical religious and social programs of the Muhammadiyah were interchangeable facets of its agenda, one taking priority over the other whenever the actual state of affairs in the country dictated this to be necessary. Therefore by understanding properly the dynamics of this shift in emphasis (from social to religious affairs and vice versa), it did not signify a change in its ideological orientation, but rather, a change in the emphasis that it placed on certain affairs at certain times. In other words, if the movement was constantly moving from the field of religion to that of education and vice versa, these moves were not changes in its ideology, but in the ways of helping Muslims in any way that it could.”

Ini setidaknya membuktikan bahwa dalam ideologi Muhammadiyah sendiri, orientasi perserikatan dapat berubah sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan mana yang lebih prioritas dan maslahat.

Kembali kepada pemikiran tarjih di Muhammadiyah. Setelah Majelis Tarjih berdiri, ia kerap dikenal sebagai Majelis yang konservatif. Selain karena hanya mengurusi hal-hal keagamaan dan sangat fiqh oriented, produk ijtihadnya tersebut juga sangat menghujam di benak para warga Muhammadiyah saat itu (dan tampaknya hingga kini). Tidak sedikit warga Muhammadiyah menjadikan HPT (Himpunan Putusan Tarjih) semacam kitab suci kedua setelah al-Quran. Masa-masa ini berlangsung cukup panjang.

Baca Juga  Muhammadiyah "Umat Terbaik", Bukan "Umat Terbanyak"

Sampai pada akhirnya Muhammadiyah memilih pemimpin baru mereka yang lebih memiliki sikap progresif dalam hal pemikiran. Konsekuensinya ketua dan para anggota Majelis Tarjih pun dipilih orang-orang yang menurut pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu memiliki sikap progresif. Ahmad Najib Burhani menyebut bahwa perubahan orientasi Muhammadiyah ke arah progresif ditandai dengan terpilihnya M. Amien Rais sebagai Ketua Umum. Setelah itu dilanjutkan oleh kepemipinan Ahmad Syafii Ma’arif. Pada dua periode kepempinan inilah Majelis Tarjih mendapat suntikan banyak anggota-anggota baru progresif-liberal. Pada periode ini pula nama majelis ini berubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI).

Setelah pada masa-masa awal Majelis Tarjih sering dianggap sebagai Majelis konservatif, pada tahap berikutnya ini Majelis Tarjih dianggap sebagai Majelis yang dihuni oleh orang-orang liberal. Akar tuduhan ini tidak lain karena Majelis Tarjih pada waktu itu meluncurkan buku Tafsir Tematik Al-Quran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, sebuah buku kontroversial yang memicu polemik di lingkungan Muhammadiyah (Burhani, 2014). Kecaman keras datang kepada Majelis Tarjih dan pengurusnya. Permintaan agar buku itu dicabut dari publik berdatangan dari berbagai pihak.

Dalam suatu perkualiahan di PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah), salah satu dosen pernah berujar bahwa bagaimana bisa Majelis Tarjih diketuai oleh orang liberal. Begitu kurang lebih intinya. Fakta ini menggambarkan betapa Majelis Tarjih pernah dituding sebagai majelis liberal pada masanya.

Era selanjutnya, ketika pimpinan Majelis Tarjih berganti, corak pemikiran keagamaannya pun memiliki karakter tersendiri. Pada era ini pula nama majelis ini kembali berganti, menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid. Nama ini bertahan hingga sekarang. Pemikiran tarjih di era ini barangkali dapat disebut sebagai penengah dari dua corak tarjih sebelumnya. Jika di awal berdirinya hingga beberapa tahun berikutnya tarjih diidentikkan sebagai majelis yang konservatif, lalu beralih menjadi majelis yang progresif-liberal, di era ini Majelis Tarjih bergerak ke tengah menyeimbangkan dan menengahi dua kutub corak tarjih tersebut.

Baca Juga  Islamic Moderation in Indonesia: Muhammadiyah’s Experience

Di era ini, soal-soal keagamaan praktis tetap dibahas, tapi isu-isu progresif juga terus digencarkan. Soal-soal keagamaan praktis misalnya adalah tentang taharah, salat, zakat, ibadah haji, dan lain sebagainya. Di samping tentu isu-isu kekinian dan progresif menjadi concern Majelis Tarjih di era ini, seperti fikih anti korupsi, fikih air, fikih tata kelola, fikih informasi, fikih perlindungan anak, dan yang tidak kalah menarik akan dibahas dalam munas selanjutnya adalah fikih difabel, fikih demokrasi, dan lain-lain.

Terminologi “fikih” dalam produk tarjih tersebut tentu berbeda dengan konsep fikih klasik. Syamsul Anwar dalam berbagai kesempatan dan tulisannya seringkali menjelaskan konsep fikih Muhammadiyah itu. Menurutnya yang menjadikan konsep fikih Muhammadiyah berbeda dengan konsep fikih klasik adalah adanya perjenjangan norma dalam konsepsinya. Fikih Muhammadiyah dibangun di atas tiga norma berjenjang (al-qiyam al-asasiyyah, al-usul al-kulliyyah, dan al-ahkam al-far’iyyah), di mana satu norma dengan norma lainnya saling berhubungan dan memayungi satu sama lain (Anwar, 2016 dan 2018).

Corak pemikiran tarjih pada era ini tampaknya merupakan hasil dari penghayatan mendalam para pimpinan dan anggotanya terhadap makna tajdid dalam frasa nama majelis ini. Seperti diketahui, tajdid dalam manhaj tarjih Muhammadiyah memiliki dua makna, yakni purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi (pemurnian) berlaku dalam ranah akidah dan ibadah, sementara dinamisasi dalam hal muamalah duniawiah (Anwar, 2018). Dua makna ini berjalan secara bersamaan dan tidak saling mendahului dan mengungguli satu sama lain.

Menjelang satu abad usianya, Majelis Tarjih akan terus menyempurnakan manhajnya dan menghasilkan banyak produk pemikiran keagamaan. Pada kesempatan sidang pleno Ramadan lalu, Syamsul Anwar mengutarakan mimpinya pada saat usia Majelis Tarjih nanti genap seabad. Ia bermimpi di hari itu mudah-mudahan ada hadiah istimewa dari Majelis Tarjih untuk umat Islam, yaitu Tafsir al-Tanwir 30 Juz dan kitab Fikih Islam Berkemajuan yang berisi kompllasi produk-produk tarjih dari awal hingga usianya genap satu abad. Sebuah mimpi besar, yang membutukan tekad dan kesungguhan. Semoga!

Baca Juga  Diskursus “Akal Sehat” di Muhammadiyah

 

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds