Di masyarakat terutama di desa-desa masih berkembang tradisi setiap ada anggota keluarga yang meninggal dunia diadakan upacara nelungdino, mitungdino dan sebagainya. Pertanyaannya bagaimana hukumnya jika kita makan di rumah keluarga yang meninggal dunia pada acara-acara itu dan bagaimanakah hukumnya makan makanan yang diantar ke rumah kita, apakah haram untuk dimakan?
Di sini terdapat beberapa hadits mengenai makan-makan di rumah keluarga yang meninggal dunia, yaitu:
a. Hadits ‘Abdullah ibn Ja’far:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْىُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم: اصنعوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا طَعَامًا فَقَدْ أَتَا هُمْ أَمْرٌ يَشْغَلَهُمْ (رواه الخمسة)
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Ja’far ia berkata: tatkala datang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi bersabda: buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang musibah yang membuat mereka repot (Hadits riwayat lima orang ahli hadits)
b. Riwayat Imam Ahmad:
كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصْنَعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دفنه مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Artinya: Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan sesudah mayit ditanam (dikuburkan) adalah termasuk meratap
c. Riwayat Ibnu Majah:
رُوِىَ أَنَّ جَرِيْرً وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيْتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَ هَلْ يَجْتَمِعُوْنَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَ يَجْعَلُوْنَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَالِكَ النَّوْحُ (رواه ابن ماجة)
Artinya: Ketika Jarir datang kepada Umar ia ditanya: apakah mayit—kaummu—diratapi?, Jarir menjawab: tidak, Umar bertanya lagi, apakah mereka membuat makanan di keluarga mayit?, dijawab: benar, Umar berkata: itu ratapan.
Hadits pertama (a) menerangkan bahwa Nabi saw menganjurkan untuk membuat makanan bagi keluarga yang mengalami musibah kematian. Nomor dua dan tiga (b) dan (c) adalah atsar, pendapat para sahabat, yang melarang meratapi mayat, berkumpul di rumah duka dan membuat makanan.
Pada masa sekarang ini yang terjadi di masyarakat, anjuran Nabi di atas diwujudkan dalam bentuk para takziyah membawa barang/bahan mentah, seperti beras, gula, teh, mie, kelapa, garam dan lain-lain atau berwujud uang.
Apabila bahan-bahan tersebut dimasak dengan dibantu oleh para tetangga, lalu diberikan kepada para takziyah, perbuatan yang demikian rasanya tidak memberatkan/menyulitkan ahlul mayit, selama wajar-wajar saja dan tidak berlebih-lebihan, termasuk yang diantar ke rumah-rumah. Ibnu Qudamah berpendapat: apabila diperlukan karena pelayat datang dari jauh, tidak ada salahnya memberi makan kepada mereka.
Para sahabat melarang berkumpul dan makan-makan di rumah duka karena dikhawatirkan memberatkan ahlul mayit, karena hidupnya susah atau sedang mengalami kesusahan. Oleh karena itu kalau dalam berkumpul itu tidak melakukan hal-hal yang terlarang dan tidak dibatasi dalam waktu-waktu tertentu, seperti tiga harinya, tujuh harinya, empat puluh harinya dan lain-lain, maka tidak termasuk dalam kriteria meratap.