Falsafah

Mencari Socrates di Indonesia

3 Mins read

Pengembaraan filsafat berarti pencarian makna hakiki. Memahami filsafat bisa dengan melacak sejarah, mengulik pemikiran para filsuf yang telah diabadikan lewat banyak tulisan dan perbincangan.

Tapi catatan ini tidak mengulas poin perbincangan para filsuf di masa lampau. Sekejab, sebagai bahan reflektif akan realitas sosial masyarakat global dan nasional, belajar ajaran Socrates nampak menjadi cahaya kecil. Meski hampir redup, tak lain demi mengulang kembali pertanyaan, apa yang salah dengan negeri ini dan bagaimana memijakkan posisi ditengah lautan kata dan banyak data.

Socrates dan Kaum Sofis

Tidak ada catatan tekstual yang dilahirkan oleh filsuf Socrates. Sebenarnya pemikiran-pemikirannya lebih banyak direkonstruksi oleh murid-muridnya, khususnya Plato.

Plato menyebutkan, gurunya itu meninggal pada kisaran tahun 399 SM, usianya berkisar 70 tahun. Dari sanalah kemudian muncul dugaan bahwa Socrates lahir pada sekitar tahun 470 SM. Lahir dari rahim ibunya yang berprofesi sebagai bidan dan ayahnya sebagai pemahat.

Keluarganya adalah keluarga yang kaya raya. Beberapa orang mencoba memvisualisasikan sosok filsuf ini. Alcibiades misalnya, menggambarkan Socrates sebagai sosok yang berperilaku pongah sebagaimana unggas air.

Perawakannya yang cenderung sederhana membuat ia sering disangka orang gila, tampak terbiasa memakai baju yang sama serta sering bertelanjang kaki jika bepergian. Ia adalah filsuf yang sampai pada titik kontemplasinya bahwa kebijaksanaan sejati adalah merasa tidak tahu apa-apa.

Hal lain yang mesti diketahui ialah bahwa Socrates lahir didahului oleh kehadiran kaum Sofis. Kaum Sofis adalah kelompok yang sejak zaman Yunani kuno telah dikenal sebagai kelompok yang tidak baik.

Kegemaran menghadirkan argumentasi dan kelihaian menyusun retorika membuat kaum Sofis kadang mampu membolak-balikkan kebenaran dan kesalahan. Sementara pandangannya yang lebih banyak menolak kebenaran objektif, membuat kaum ini lebih banyak mempengaruhi orang daripada menyakinkannya.

Baca Juga  Kedaulatan Bukan Tujuan, Quran Sebagai Petunjuk Hidup

Tak ayal, akhirnya kaum Sofis menyangka kebenaran pada hakikatnya bersifat relatif. Pada posisi ini, dampak negatif yang sesungguhnya dituntut bukan terletak pada masalah yang sedang diperbincangkan, namun pada ketidakmampuan kaum ini untuk memberikan solusi intelektual dalam menjawab problem-problem tersebut.

Dalam keadaan inilah, Socrates tiba dan mendobrak pemahaman, ia mencari dasar yang paling pasti bagi pengetahuan yang benar serta keputusan etis.

Socrates Vs Kaum Sofis

Socrates sering menggunakan metode aporetik dalam perbincangannya dengan kaum Sofis yang pada waktu itu mendaku kaumnya dapat memiliki kebenaran. Plato pernah mencatat di dalam bukunya, Republik.

Suatu waktu, Socrates bertanya kepada kaum Sofis “apa itu keadilan?”, lalu kaum Sofis menjawab “keadilan adalah mengembalikan pisau yang kita pinjam”, kemudian Socrates bertanya kembali “bagaimana jika pemilik pisau adalah orang gila saat pengembalian pisau tersebut?”, kaum sofis membalas “jika demikian, bukan itu keadilan. Keadilan adalah membela kawan serta mengabaikan lawan”, “bagaimana jika kawan itu salah? masihkah kita membela”, tanya Socrates.

Lalu kaum sofis yang terdesak lalu membuat definisi yang lain, “keadilan adalah apa yang dinyatakan penguasa”, namun Socrates menimpal kembali, “namun apakah penguasa tersebut telah bijaksana?”, demikian dialog tersebut berlanjut hingga perdebatan tak mendapatkan kesimpulan, kecuali keduanya tidak mengetahui apa-apa. Pada posisi inilah Socrates dikenal dengan adagiumnya: saya tidak tahu apa apa.

Keberadaan Socrates beserta pemikiran-pemikirannya memang sangat mengganggu kemapanan politik yang waktu itu didominasi oleh kaum Sofis. Arogansi yang dibangun lewat kebebalan akan suatu pengetahuan benar-benar didobrak oleh Socrates.

Di tengah-tengah kepongan pengetahuan, Socrates memunculkan kesimpulan bahwa kita tidak tahu apa-apa. Maka wajar situasi Masyarakat waktu itu banyak menolak kehadiran filsuf ini. Demikian hingga ia meninggal ketika meminum racun sebagai hukuman terhadapnya.

Baca Juga  Perbedaan Konsep Masyarakat Madani dan Civil Society

Kaum Sofis dan Realitas Indonesia

Dalam angka tahun, terlalu jauh memang untuk membandingkan Kaum Sofis dan realitas di Indonesia masa kini. Pun telah banyak perubahan yang signifikan dari keadaan dunia. Tetapi, sesungguhnya tabiat kaum Sofis adalah sifat yang selalu ada dalam realitas kemasyarakatan. Ia menjalar, mengganggu, dan mengacau.

Siapakah kaum Sofis di Indonesia? Saya tidak cukup berani untuk menuduh kelompok atau perseorangan. Namun beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan fatalnya kebenaran objektif. Orang-orang nampak terlalu sibuk mengadakan pembenaran sebesar-besarnya, mengaduk emosi, dan mempengaruhi daripada meyakinkan.

Di televisi, orang-orang berdebat habis-habisan, bukan dengan pikiran yang tenang lagi cerah, namun dengan gertakan dan demagog. Di masjid dan gereja, para agamawan menggelar ketakutan-ketakutan, umat dibabat ayat, dipukul nukilan, sementara penukil tak paham sebenar-benarnya subtansi bahasan, pun konsekuensi dari ucapannya.

Mendekati Pemilu dan Pilkada, demagog menjelma politisi. Mereka mengumbar janji, membangkitkan emosi. Jika tidak, digelarnya uang habis-habisan. Sementara kaum Sofis modern merangsek dalam akun-akun media sosial, mereka menebar informasi, bisa dalam teks bisa jua dalam visualisasi, namun Sofis modern memang tak suka kebijaksanaan.

Maka nyatalah akibatnya, dunia media sosial diisi informasi yang palsu atau dipalsukan, kita lalu mengenal istilah post-truth, hoax, bigot, hyper-realita atau istilah sejenisnya.

Dunia dan negara kita kurang lebih banyak diisi oleh kelompok yang mendaku diri paling benar, tak rela merunduk sejenak untuk menyadari betapa sedikit pengetahuan dalam pikiran setiap orang. Dalam keadaan inilah, kita bertanya, di manakah Socrates. Adakah dia di Indonesia?

Mencari Socrates di Indonesia

Nampaknya terlalu dini untuk menunjuk perseorangan sebagai yang paling bijaksana di negeri ini, atau memberi gelar paling “Socrates”. Namun kita sungguh membutuhkan sosoknya; ialah sesosok manusia yang tiba mendobrak arogansi pengetahuan, yang dalam keluasan cakrawala pengetahuannya masih merendah dan secara terus-menerus berupaya belajar.

Baca Juga  Kenapa Manusia Penuh Masalah?

Ia adalah orang atau individu yang berani mengatakan “aku tak tahu apa-apa”, adalah manusia yang berani diasingkan karena pendapat-pendapat objektif. Namun publik nampaknya diisi oleh orang yang selalu merasa tahu dan merasa paling benar.

Kita mencari Socrates pada tubuh politisi, namun lebih banyak politik dibajak keculasan, lalu kita melirik ilmuan, namun ilmuan menunjukkan sikap berbangga diri, kemudian kita mencari agamawan, agamawan merasa paling benar.

Saya tidak sedang menggeneralisir. Kita mencari Socrates di Indonesia, tapi sesungguhnya ia dekat dari diri kita; ialah kita sendiri. Mula-mula belajar banyak hal, berdiskusi banyak soal, menulis banyak permasalahan, namun bukan untuk merasa benar sendiri, mengejar kebijaksanaan tapi bukan untuk mendaku paling bijaksana.

Semoga Socrates adalah kita.

Editor: Yahya FR
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *