Perspektif

Makna Arafah: Mengenal Diri, Mengenal Tuhan

3 Mins read

Di padang Arafah, diyakini sebagai tempat Nabi Adam berjumpa kembali dengan Hawa, setelah terlempar dari alam surga dan terpisah bertahun-tahun. Di padang Arafah ada dataran tinggi, perbukitan kecil disebut Jabal al-Raḥmah (dataran tinggi ‘kasih sayang’), tempat bertemunya kembali nabi Adam dan Hawa. Setelah Adam melanggar larangan Allah Swt, Adam mendapat peringatan: “Bukankah sudah Kularang kamu dari pohon itu, dan Kukatakan kepadamu bahwa setan adalah musuhmu yang nyata” (QS Al-A’raf: 22). Dalam ayat ini Adam sudah menyadari bahwa setan adalah musuh, tetapi ia masih tetap tergoda. Mendengar peringatan Tuhan, Adam kemudian berdoa, Mereka menjawab, “Tuhan! Kami telah menganiaya diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, pastilah kami termasuk orang yang merugi” (QS Al-A’raf: 23).

Jadi salah satu tujuan haji di Arafah adalah tapak tilas pengalaman spiritual Adam. Dengan merenungi diri sebagai anak Adam yang sangat potensial tergoda oleh setan (nafsu jahat), maka kita bertekad untuk bertobat dan selalu menjaga diri dari godaan setan. Dan kita akan membunuhnya ketika di Mina nanti.

Di “Jabal ar-Rahmah” sebuah bukit di mana Nabi Adam dan Siti Hawa dipertemukan kembali setelah sekian lamanya berpisah; dan taubat Nabi Adam As di kaki bukit tersebut diterima oleh Allah Swt. Dengan penuh kerendahan hati, para tamu Allah Swt berdo’a dan bermunajat serta berserah diri kepada-Nya. Setiap orang yang pergi ke lembah Arafah akan melakukan refleksi tentang jati dirinya, dan kemudian mengharapkan pengampunan dari Allah Swt atas dosa-dosanya.

Arafah itu sendiri bermakna pengakuan, pengenalan. Ketika di Arafah seorang hamba seharusnya menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanannya, menyadari keagungan Tuhan, menyadari kesalahan-kesalahannya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Sebagaimana penyesalan Nabi Adam dan Hawa yang menyesali perbuatannya saat bertemu di Arafah. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkan untuk menjadi arif (sadar), bijaksana, pandai menempatkan diri, dan menebar perdamaian.

Baca Juga  Merindukan Bersatunya Kembali Umat Islam

Dalam diri manusia terdapat bashirah (penglihatan qalbu), siapa yang dapat menggunakan penglihatan itu, maka akan beruntung. Dan siapa yang sampai saat ini tidak bisa menggunakan penglihatannya, dia rugi. Dalam QS Al-Isra: 72, dikatakan “Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar)”. Siapa yang tidak menyaksikan jati dirinnya di dunia, maka dia tidak akan menyaksikan jatidirinya di akhirat. Siapa jati diri kita? Yaitu ruh Allah yang ditiupkan ke jasad kita.

Dalam tasawuf dikenal ungkapan, Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu, (Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya). Siapa yang ‘arif pada nafs-nya—jiwanya. ‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”, “maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”.

Selama ini, tubuh yang kita gunakan untuk bekerja dan berprilaku telah jauh dari diri sejati. Hal ini karena jati diri kita dibentuk oleh keluarga, lingkungan, pengetahuan, norma, budaya, dengan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Jadi sejatinya, jati diri kita selama ini adalah “campuran”, bukan “murni”. Bukan jati diri asli.

Wukuf di Arafah adalah saatnya kembali ke jati diri. Secara jasadiyah kita dari bapak yang sama: Adam. Secara ruhaniyah berasal dari ruh Allah.  Jati diri kita yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsu, dari ikatan keduniawian, dan terbebas dari perbudakan syahwat. Itulah “nafs yang tenang” (Nafs Al-Muthma’innah). “Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah, irji’i ilaa rabbiki raa dhiyatam mardhiyah, Fadkhuli fii’ibadi, wadkhuli jannati” artinya “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan Hamba-hambaku. Dan masuklah kedalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30).

Baca Juga  Perjuangan Sunarti, Menabung 34 Tahun Untuk ke Tanah Suci

Di Arafah inilah kita bertaubat, perjalanan kembali pada Allah. Sebagaimana kata “taaba”, yang artinya kembali. Kembali kepada jati diri, asalmu. Manusia bukan tubuh yang dikasih jiwa, tapi jiwa yang difasilitasi tubuh. Aslinya kita adalah makhluk cahaya, kita adalah makhluk spiritual, ruhnya Tuhan. Pulang, kembali kepada Allah tidak perlu menunggu mati. Sekarang, jadikan momentum wukuf di Arafah untuk pulang: mi’raj spiritual.

Bagaimana cara kita kembali ke Allah? Di Arafah, kita memahami siapa diri kita, darimana diri kita, setelah ini kemana. Dengan demikian pertanyaan siapa Tuhanmu, tidak perlu dijawab setelah mati, tapi jawablah sekarang.

Dengan demikian pesan moralnya: orang yang wukuf di Arafah telah menggapai ma’rifat. Karena menyadari jati dirinya adalah makhluk spiritual yang merupakan ruh Allah dan akan kembali pada Allah, maka seseorang akan menjadi khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Dalam menjalani hidup kita berakhlak dengan akhlak Allah dengan cara berusaha untuk memiliki sifat dasar “Tuhan yang maha belas kasih”. Hamim Ilyas menyebutnya dengan “Tauhid Rahamutiyah”  sebagaimana dikatakan dalam QS. al-An’am, 6: 12: Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi.” Katakanlah: “Kepunyaan Allah.” Dia telah “menetapkan” atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang- orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.”Dalam ayat itu Allah menentukan (taqdir),  menetapkan (itsbat), mewajibkan (ijab), mengharuskan (fardl) dan tekad kuat (‘azm)  “rahma” sebagai kualitas diri-Nya.

Rahmah ialah riiqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi. Inilah kira-kira kualitas diri yang harus dimiliki oleh seorang yang telah wukuf di Arafah. Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik yang dalam an-Nahl, 16: 97 disebut hayah thayyibah. Indikator hidup baik menurut Hamim Ilyas (2022) terdapat dalam al-Baqarah, 2: 62 ada tiga: (1) lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya/ ar-rafahiyyah kulluha); (2) wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/as-salamu kulluha); dan (3) wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia bahagianya/as-sa’adatu kulluha) di dunia dan di akhirat.

Baca Juga  Hukum Main Game Online, Haram atau Mubah?

Editor: Soleh

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds