Perspektif

Makna Sa’i: dari Hidup Optimis hingga Muliakan Air

4 Mins read

Setelah selesai tawaf, jamaah minum air Zam-zam yang tersedia di belakang area sekeliling Ka’bah. Sesudah itu menuju ke tempat sa’i. Sebuah arena lari-lari kecil, antara bukit Ṣhafa dan Marwah.  Setiap naik ke dataran sedikit tinggi Marwah, Nabi Muhammad Saw melihat Ka’bah (menghadap ke Baitullah). Itu kenapa para jemaah setiap naik ke dataran tinggi juga menghadap Ka’bah dengan penuh antusias.

Kini arena sa’i telah dibangun menyatu dengan area Masjidil Haram. Arena sa’i telah dibuat dua jalur. Tak perlu khawatir tabrakan saat berpapasan. Di sebelah kiri dan di sebelah kanan, tersedia jalur tengah, khusus untuk para jamaah yang berhalangan, termasuk lansia dan difabel dengan bantuan kereta dorong dengan dibantu oleh petugas Masjidil haram.

Perjuangan Hidup

Secara kebahasaan sa’i artinya ‘’berjalan’’ atau ‘’berusaha’’. Sa’i mengikuti jejak sejarah Hajar,  istri Nabi Ibrahim. Ketika berlari-lari mencarikan air minum untuk anaknya Ismail yang baru lahir. Pada akhir putaran ke tujuh, Hajar melihat anaknya menendang-nendang pasir. Di bawah kaki Ismail ditemukan sumber mata air yang besar. Mata air yang terus memancar ke segala arah itu kemudian dikumpulkan oleh Siti Hajar. Pada waktu itulah, Siti Hajar berucap, Kumpul! Kumpul! (Ibrani: Zam! Zam!). Hingga kemudian mata air yang merupakan anugerah dari tuhan itu dinamakan dengan Sumur Zam-zam (Muslim Nasution, 1999: 39-46). Sejak itu sampai sekarang dikenal sebutan air zam-zam yang biasa diminum jamaah haji dan umrah juga untuk dibawa kembali ke tanah air.

Kisah Siti Hajar berlari-lari kecil (sa’i) dari pegunungan Shafa dan Marwah kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji. Ritual sa’i bukan sekedar gerak mondar-mandir tanpa arah dan tujuan, seperti ketika Siti Hajar kebingungan bagaimana ia bertahan hidup untuk dapat menghidupi anaknya.

Baca Juga  Masa Depan Pendidikan di Era Pandemi

Air adalah sumber kehidupan, sedangkan artinya sa’i adalah usaha. Pesan moralnya gerak mondar-mandir, lari-lari kecil dari bukit Shafa dan Marwah, sampai terjadi tujuh kali adalah dalam rangka mencari kehidupan seorang harus berjuang sekuat tenaga. Perjuangan hidup itu melelahkan. Putus asa itu manusiawi, tetapi daya tahan bertahan hidup, ditambah dorongan tanggung jawab untuk menghidupi sang anak sering kali menjadi energi yang luar biasa dalam perjuangan.

Peristiwa itu menggambarkan bagaimana kasih sayang orang tua kepada anaknya dan ini harus menjadi teladan bagi kaum Muslimin. Tak jarang orang tua yang ekonominya tidak mampu, tetapi demi anak bisa melakukan ikhtiar apa saja supaya dapat bertahan hidup hingga sukses. Dimana di kehidupan saat ini, banyak orang tua berputus asa. Takut tidak bisa menghidupi anaknya, lalu anaknya dibuang, dijual, bahkan ada yang dibunuh. Sa’i mengajarkan cinta kasih orang tua kepada anak dan sikap hidup penuh optimisme. Untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kehidupan. Sa’i memberikan makna sikap optimistis dan usaha yang keras serta penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah SWT.

Sa’i dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah. Shafa (ikhlas), Marwah (bahagia): sesuatu yang dilakukan dengan keikhlasan insyaAllah berakhir dengan kebahagiaan. Ini artinya dalam menjalani bisnis, menjalani pekerjaan, seseorang harus memastikan diri bahwa dia memulainya dengan hal yang suci, baik, dan bersih. Pekerjaan yang diawali dengan hal yang baik, bersih, dan suci akan mengantarkannya kepada keberhasilan dan kesejahteraan.  Itulah makna Marwah, sebuah kondisi tercukupi dan terpenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, sa’i mengajarkan manusia tentang pentingnya berusaha dengan sekuat tenaga dalam hidup. Tanpa berusaha, kebahagiaan tak akan pernah ada. Jika kita sudah memiliki dasar, prinsip, dan cita-cita mulia, maka harus diperjuangkan dengan sabar dan tawakal.

Baca Juga  Refleksi Hari Proklamasi: Kesadaran Berkonstitusi itu Penting!

Muliakan Air

Menurut saya, oleh-oleh haji bukan sekedar membawa Air Zam-zam ke Indonesia untuk diminum keluarga dan teman-teman terdekat supaya dapat keberkahan. Dalam aktivitas sa’i, ada pesan moral lain yang bisa kita bawa pulang ke tanah air, yaitu supaya kita memuliakan air.

Air adalah sumber kehidupan. Islam menekankan pentingnya fungsi air dalam kehidupan. Hubungan air dan kehidupan diibaratkan dengan dua sisi dari satu koin mata uang. Air diciptakan Allah Swt untuk kehidupan dan tidak ada kehidupan tanpa air.  Tanpa asupan air yang memadai, semua makhluk hidup akan mati dalam beberapa hari. Memang, air disediakan Allah untuk diminum manusia dan hewan, dan tanaman.

Selain itu, air berfungsi sebagai sarana konservasi (pemeliharaan dan perlindungan) tanah. Air dapat meningkatkan kualitas tanah dari kering atau tandus menjadi subur, sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang dihasilkannya. Air juga berfungsi sebagai sarana penyucian dan kesehatan (sanitasi), karenanya kita harus perbanyak konsumsi air. Hal ini karena 2/3 berat tubuh kita merupakan cairan, baik dalam bentuk darah, air liur, maupun pelumas sendi tulang dan cairan sumsum tulang belakang, yang kesemuanya mengatur suhu badan manusia.

Karena itu kita hendaknya memuliakan air. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memelihara, merawat, dan menggunakannya secara hemat dan bijaksana. Untuk hidup bersih butuh air. Hidup sehat butuh air. Bersuci butuh air.  Air menjadi simbol untuk surga, ketakwaan, dan rahmat Tuhan. Surga selalu digambarkan sebagai tempat yang dijanjikan bagi orang bertakwa, penuh rahmat Tuhan karena mengalir di dalamnya aneka ragam sungai. Di antaranya sungai dari air, sungai dari air susu, sungai dari arak, dan sungai dari madu.

Baca Juga  Berdamai dengan Corona: Menyerah?

Alam (termasuk air) mempunyai wujud nyata, dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap, sunnatullah. Sebagai salah satu dari ketentuan-ketentuan hukum-Nya, setiap makhluk dengan makhluk lainnya saling berhubungan dalam hubungan yang harmoni dan seimbang. Demikian juga hubungan antara manusia dan alam, khususnya air harus dimuliakan!

Merawat air agar tetap menjadi sumberdaya alam yang berkualitas dan berkelanjutan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqashid syariah) yaitu hifzul bi’ah (menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan), yang juga berhubungan dengan tujuan lain yaitu merawat kesehatan jiwa dan raga (hifzun nafs), juga keberlanjutan generasi masa depan (hifzun nasl) dan tentunya juga menjaga agama (hifzud din). Bagi kaum beriman, menjaga air adalah suatu kemutlakan untuk dilakukan hari ini, supaya air tetap tersedia untuk digunakan di masa depan.

Editor: Soleh

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Kenapa Gagasan Cendekiawan Muslim Selalu Gagal Mendobrak Dominasi Barat?

3 Mins read
Dalam sejarah pemikiran Islam kontemporer, banyak cendekiawan yang berusaha mengkritik dan menggeser dominasi Barat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, hingga sosial-budaya. Tokoh-tokoh…
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds