Tawaf adalah berjalan pelan-pelan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. Tawaf dimulai dari Hajar Aswad. Tawaf adalah cita-cita lama yang selalu diimpikan seluruh manusia Muslim se-dunia. Bagi umat Islam, tawaf mengelilingi Ka’bah dan memandanginya adalah saat yang paling dirindukan dan ditunggu-tunggu. Dalam sehari semalam minimal lima kali umat Islam mengerjakan salat lima waktu, kaum Muslim selalu menghadapkan wajah, jiwa dan ruhnya ke arah kiblat.
Saat ibadah haji dan umrah, mereka benar-benar ada di hadapannya. Sebuah kesyukuran dan keharuan yang luar biasa. Mereka rela menabung berpuluh tahun untuk tercapainya cita-cita mulia ini. Saat tawaf, Ka’bah dikelilingi oleh lautan manusia yang penuh gairah kerinduan terhadap Allah Swt.
Tawaf bagai gerak alam raya. Ka’bah ibarat matahari di tengah, sedangkan manusia laksana bintang-bintang yang berjalan pada orbitnya dalam sistem tata surya. Ibarat bulan yang mengelilingi bumi, dan bumi yang mengelilingi matahari (Madjid, 1997: 8). Maknanya: hidup harus mengikuti gerak alam yang berputar pada orbitnya. Seluruh makhluk harus hidup pada Sang Khalik. Sebagai hamba harus tunduk dan patuh kepada Allah. Gerak hidup manusia bertujuan semata-mata hanya kepada Allah. Ibarat bumi berputar pada porosnya.
Tawaf merupakan bagian sistem hidup yang berdasarkan tauhid, sedangkan Ka’bah melambangkan ketidakberubahan dan keabadian Allah. Dalam tawaf manusia berputar dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Allah adalah pusat eksistensi, Dia adalah fokus dari kehidupan yang sementara ini. Sebaliknya, manusia adalah partikel yang bergerak mengitarinya. Keliling Ka’bah ibarat hidup berpusat pada Allah, sedangkan 7 kali bisa bermakna kehidupan sebagai nama 7 hari.
Berputar dan menyatulah bersama manusia mengitari Ka’bah. Karena jalan Allah adalah jalan manusia, maka untuk mendekati Allah maka harus mendekat pada manusia. Untuk mencapai puncak spiritualitas “dekat dengan Allah”, maka seorang hamba harus benar-benar terlibat pada problem kehidupan manusia di masyarakat. Jangan menjadi hamba mengisolasi diri yang hanya saleh secara ritual tetapi tidak aktual di masyarakat. Jangan hanya saleh individu, tapi tidak saleh sosial: tidak peduli lingkungan dan tidak mau terlibat kepentingan sosial.
Ketika tawaf, seorang hamba yang berihram telah melepas segala sifat individualistik. Hamba harus menyatu dengan arus lingkaran tawaf. Maknanya adalah, hidup terus berputar, bergerak, berpusat pada Allah (tauhid). Pada saat yang sama manusia harus menyatu dan terlibat dalam problem kehidupan manusia. Manusia aktif di kegiatan kemanusiaan, kedermawanan dan mengorbankan kepentingan diri sendiri dan harta yang dicintai. Inilah indikator “mabrur” itu.
Saat tawaf, seorang hamba lenyap dalam gelombang dan arus manusia yang sedang tawaf. Sang Ka’bah tetap, tak bergerak. Sementara arus manusia bergemuruh serba putih mengelilinginya. Semua orang berpakaian sama, semua kedudukannya sama di masyarakat. Maknanya: dalam hidup bermasyarakat tidak boleh menonjolkan pribadi (kepentingan maupun kehebatan), tetapi yang ditonjolkan adalah persamaan dan kepentingan bersama.
Jika seorang masih merasa lebih baik dan mementingkan diri sendiri, maka seorang itu bukan bagian dari tawaf. Seorang yang egois bukan bagian dari masyarakat. Di dalam masyarakat itu beda agama, beda suku, beda ras, beda karakter, beda karakter, beda kepentingan, dan beda pilihan politik. Manusia harus mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Di Ka’bah, mereka yang terlepas dari dirinya sendiri adalah manusia yang hidup dan bergerak secara bersamaan. Di Ka’bah kita diajarkan untuk membuktikan eksistensi dan menjadi abadi. Maka kita harus membunuh egoisme yang mementingkan diri sendiri. Dengan mementingkan orang lain, bersifat dermawan, bicara baik, menebar perdamaian kepada sesama, kita akan menemukan jati diri dan diterima oleh realitas: masyarakat.
Karena jalan Allah adalah jalan umat manusia, maka hendaknya jalan itu ditempuh secara berjamaah, tidak secara individu. Bersatulah dengan umat manusia, jangan berjuang sendirian. Maknanya, untuk mencapai tujuan mulia (Allah Swt), manusia tidak bisa berjuang sendiri-sendiri. Manusia harus berjamaah, berkomunitas, berorganisasi, dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kebaikan dan kemaslahatan di dunia dan di akhirat.
Dalam tawaf kita pun senantiasa berdoa ketika tawaf Rabbanā ātinā fi al-dunyā ḥasanah wa fi al-ākhirati ḥasanah, wa qinā ‘ażaba al-nār (Ya Allah ya Tuhan kami, anugerahilah kami kehidupan di dunia dengan penuh kebaikan dan begitu pula kehidupan di akhirat. Lindungilah kami dari sentuhan api neraka). Kita juga berdoa, inna hāżā al-baita baituka (Ya Allah, sesungguhnya rumah ini adalah rumah-Mu), wa al-ḥarāma haramuka (tanah haram, tanah mulia-Mu) wa al-amna amnuka (negeri yang aman, negeri aman-Mu), wa al-‘abda ‘abduka; wa ana ‘abduka, wa-bnu ‘abdika (setiap hamba adalah hamba-Mu, dan akupun hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu), Wa hāżā al-maqāmu wa aidz/ al-‘ā`iżu bika mina al-nār (tempat ini adalah tempat orang berlindung kepada-Mu dari neraka), fa ḥarrim luḥūmanā wa basyaratanā min al-nār (peliharalah daging dan kulitku/kami dari api neraka).
Doa mohon perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya ini selalu disampaikan berulang kali, terus menerus, karena mengingat janji setan dan iblis kepada Allah Sang Pencipta bahwa dia akan selalu mengganggu dan menggoda manusia kapan saja dan di mana pun manusia berada. Karenanya, manusia beriman perlu selalu mohon petunjuk, perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Agar selamat dunia dan akhirat, hidup harus mengikuti hukum Allah (agama), hukum alam (kaidah sains), dan hukum manusia (budaya masyarakat).
Itulah makna tawaf. Hidup harus ikut arus kehidupan yang terus bergerak dinamis. Jangan membuat standar hidup sendiri untuk menilai orang lain! Jangan bikin hukum sendiri untuk menghakimi orang lain. Jangan memaksakan pengetahuan sendiri menyalahkan yang lain. Hiduplah bersama keluarga, aktiflah di masyarakat. Perhatikan nilai dan budaya masyarakat. Jika hidup di Indonesia menyatulah dengan masyarakat Indonesia. Hidup bergotong royong. Hidup berjamaah. Bukan menyendiri, dan terasing dari problem kehidupan.
Editor: Soleh