Pagi ini (29/3) saya mengunggah sebuah foto di Instagram pribadi saya, menceritakan suasana tadi malam saat saya mengaji Yasin dan berdoa bersama anak-anak di rumah. Malam tadi, tepat tanggal 15 bulan Sya’ban adalah malam Nisfu Sya’ban, pertengahan bulan Sya’ban.
Warga Nahdliyin biasanya memperingatinya dengan membaca surat Yasin, shalawat dan doa. Tujuannya tentu saja baik, sebagai bentuk rasa syukur telah sampai di bulan Sya’ban sekaligus berharap semoga sisa tahun berikutnya diberkati dengan kesehatan, keselamatan, dan rezeki yang melimpah.
Bagi Muhammadiyah, Nisfu Sya’ban tak ada dalilnya, tak ada petunjuk Nabi yang menyarankan memperingati malam 15 Sya’ban secara khusus dengan doa-doa atau ritual tertentu. Memang ada hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah bersujud panjang di malam pertengahan bulan Sya’ban, menyebut nisfu Sya’ban sebagai malam yang istimewa di mana dosa-dosa diampuni dan doa-doa dikabulakan (hadits riwayat Imam al-Baihaqi).
Tetapi konon hadits itu tidak cukup kuat untuk melegitimasi ritual khusus, sementara menambah-nambah dalam hal ibadah adalah perbuatan bid’ah. Demi kehati-hatian itulah, Muhammadiyah tidak menyarankan menggelar Yasinan dan doa di malam Nisfu Sya’ban itu.
Mana yang benar dan mana yang tidak, tentu itu urusan para ulama yang faqih. Saya tidak paham betul urusan hukumnya. Alasan saya membaca Yasin semalam, termasuk doa dan shalawat, ditemani anak-anak, adalah karena saya merasa itu waktu yang tepat saja. Sekalian mengajarkan pada anak-anak bahwa waktu punya sakralitasnya sendiri.
Ada panggilan batin yang mengajak saya untuk berdoa dan mengaji semalam, kebetulan saja malam itu adalah malam Nisfu Sya’ban. Apalagi siangnya ibu saya menelepon, “Jangan lupa nanti malam berdoa, ajak istri dan anak-anak.”. Saya merasa pesan ibu itu baik untuk saya jalankan.
Masalah timbul ketika seorang pembaca mengomentari foto di Instagram saya. “Abang ini NU atau Muhammadiyah?” Saya tersenyum simpul membaca pertanyaan itu. Ada yang menggelitik pikiran saya. Masih relevankan divisi-divisi NU dan Muhammadiyah berdasarkan apa yang kita amalkan sehari-hari?
Karena bisa jadi banyak warga Muhammadiyah seperti saya, kader yang dididik di lembaga pendidikan Muhammadiyah namun menjalankan ibadah dengan cara orang NU, karena berangkat dari akar keluarga Nahdliyin yang kuat. Sementara kadang kita tidak mengerti semua dalil, perbedaan-perbedaan madzhab, ilmu fiqh dan tarjih.
Komentar itu akhirnya saya jawan sekenanya saja, “Malam NU, siang Muhammadiyah.” Di sana saya menyadari satu hal: Barangkali ini bisa menjadi fusi atau sintesis baru bagi cara kita membangun kembali Islam tengah Indonesia yang belakangan mulai terancam radikalisme kaum kanan. Kita bisa meminjam asketisme beragama yang romantik dan syahdu ala NU, tetapi di saat bersamaan bergerak dengan progresifitas dan kemoderenan Muhammadiyah.
Sebenarnya saya tidak bermaksud memberi penilaian yang kaku untuk keduanya. Muhammadiyah bisa jadi sangat romantik di satu sisi dan NU bisa sangat progresif di sisi yang lain. Tetapi karakter keduanya yang menggambarkan dua corak kaum Muslim Indonesia yang berbeda, pedesaan dan perkotaan, kerap digambarkan dengan sarung dan celana, peci dan dasi, pesantren dan universitas, akan menarik jika dikolaborasikan.
Era di mana NU dan Muhammadiyah dipertentangkan dan bersaing sudah harus berakhir, karakter masyarakat zaman ini membutuhkan fusi sinergis dari keduanya. Indonesia butuh NU dan Muhammadiyah sekaligus, tak bisa dipilih.
Saya teringat ajakan Buya Syafi’i Maarif untuk memikirkan Islam Indonesia Pasca-NU dan Muhammadiyah. Yang lebih relevan dengan spirit zaman ini dan sesuai dengan karakter generasi baru yang tidak menyukai formalisme yang kaku, struktural dengan otoritas yang bersifat vertikal.
Kaum milenial dan Gen Z mengandaikan cara beragama yang lebih fluid, egaliter, dan tidak saling menghakimi. Karakter generasi muda yang membentuk model masyarakat baru kelak, tidak ingin dianggap termasuk NU tapi bukan Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya.
Gejala munculnya sentimen MuhammadiNU, NUhammadiyah, Muhammadiyah Sarungan, dan seterusnya adalah bukti konkret dari menguatnya kebutuhan ini. Mereka yang menginginkan relasi yang lebih inklusif dan tidak saling meng-exclude.
Ini bisa jadi juga bagian dari konsekuensi zaman: Output dari keluarga Nahdliyin yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah atau universitas Muhammadiyah. Kader-kader murni Muhammadiyah yang turun ke bawah dan merasa ‘pulang’ diterima di kampung-kampung NU.
Contohnya ya seperti saya ini. Berangkat dari keluarga Nahdliyin yang kuat, tetapi jadi kader persyarikatan karena sekolah di pesantren Muhammadiyah sejak tsanawiyah, aliyah, hingga perguruan tinggi.
Saat puasa, saya tarawih 11 rakaat, tapi kalau lebaran rukyatul hilal NU jatuh lebih dulu, saya ikut keluarga merayakannya. Karena opor ayam ibu tak bisa dilewatkan begitu saja. Saya tidak pernah mendebat keluarga karena perbedaan urusan fiqh, karena ada empati di sana. Keluarga sendiri.
Mungkin inilah model beragama yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Tidak kaku dan saling menghakimi, tidak merasa paling benar sendiri, karena sejatinya kita mengerti pada semuanya ada maksud baik, ada positif dan negatifnya. Kita beragama dengan empati yang sangat besar.
Mau pake sarung dan peci oke, perlu berjas dan berdasi juga bisa. Ngerti dunia pesantren, tapi tak ketinggalan juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Bisa yasinan, shalawatan, tapi tak gentar juga bicara di forum-forum atau seminar internasional. Malam NU, siang Muhammadiyah.
Siapa lebih hebat? Tidak ada. Karena dalam ber-Indonesia, kita semua saudara. Ya, barangkali ini modelnya. Malam NU, siang Muhammadiyah.
Editor: Yusuf