Perspektif

Malang sebagai Peradaban Perkampusan

4 Mins read
Oleh : Muh. Fadhir A.I. Lamase

 

Malang dikenal sebagai kota pendidikan. Hal itu ditandai dengan banyaknya perguruan tinggi lahir di kota ini. Pengistilahan itu lahir dari diskusi di forum kajian. Diutarakan oleh dosen sekaligus sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono. Dikenal secara luas pula Kota Malang sebagai peradaban perkampusan.

Konsepsi yang disampaikan beliau tentang peradaban perkampusan menggunakan pendekatan sejarah sebagaimana disiplin ilmu sejarahnya. Pertanyaan yang menarik, apakah peradaban di Kota Malang khususnya didaerah Malang barat lahir karena berdirinya kampus-kampus besar? Jawabannya akan terlihat dengan pendekatan kesejarahan Malang barat itu sendiri.

Filosofi Sejarah India

Landasan filosofis tentang tata letak peradaban Malang barat terkait dengan filosofi sejarah India. Sungai Sindhu yang sekarang lebih dikenal dengan sungai Indus adalah nama salah satu sungai besar di India. Terletak di sekitar daerah Punjab yang mana sekarang ini terbagi menjadi 2, sebagian di India dan sebagian di Pakistan. Bagi bangsa Yunani sungai ini mempunyai sejarah khusus sebagai di inti dari peradaban Veda kuno dan peradaban Lembah Sungai Indus.

Pada zaman prasejarah, di lembah Sungai Sindhu yang subur terdapat peradaban manusia. Peradaban manusia ini yang adalah kaum bangsa Arya ini masuk melalui celah-celah pegunungan Hindu Kush. Lalu menetap pertama kali di lembah Mohenjodaro dan Harappa di barat laut India. Di sinilah lahirnya agama Hindu yang akar katanya berasal dari nama sungai Sindhu tersebut.

Aliran Sungai Sindhu sendiri yang dengan aliran anak-anak sungai yang lain kemudian bertemu dan menyatu menjadi aliran Sungai Gangga di India Utara. Peradaban di India lahir di tempat beradanya sumber air, tak lain ialah sungai. Jadi peradabannya lahir di antara dua mata sungai.

Baca Juga  Haji Indonesia Beradab dan Bermartabat

Kesejarahan peradaban malang barat sebagai titik sentral peradaban berdasarkan pendekatan 4 fase peradaban. Pertama, ialah fase prasejarah. Pada fase ini malang barat telah menjadi pusat peradaban. Kedua, fase Hindu-Buddha. Ketiga, fase Islam. Terakhir ialah fase kemerdekaan dan peradaban perkampusan. Sehingga pusat peradaban di Malang barat bukan sejak kampus lahir di kota ini. Tetapi sejak Kota Malang berdiri.

Pembahasan dalam tulisan kali ini akan lebih spesifik membahas pada fase ke empat tentang peradaban perkampusan. Pada fase ini akan menjadi refleksi kita semua sejauh mana peradaban perkampusan berdampak pada keadaan sosial sekitarnya.

Kampus Lingkar Kampung

Banyak orang yang bingung dengan peristilahan “kampus lingkar kampung” persepsi awal yang muncul saya pastikan akan berbeda. Ada yang menganggap kampung yang mengelilingi kampus, ataupun sebaliknya kampus yang mengelilingi kampung. Kepastian akan konsep yang sesungguhnya akan terlihat setelah dicermati secara baik.

Dalam kampus lingkar kampung persepsi yang dimaksud ialah dua persepsi. Yakni kampus yang mengelilingi kampung. Betapa tidak, secara garis besar terdapat 6 kelurahan di malang barat yang  menjadi bagian dari titik sentral peradaban perkampusan; diantaranya Sumbersari, Tlogomas, Dinoyo, Lowokwaru, Ketawanggede dan Penanggungan.

Pemaknaan kata kampung beberapa dekade ini tersimplifikasi (disederhanakan). Seakan kampung hanyalah tempat lorong-lorong yang padat penduduknya. Kampung tidak seperti itu. Kandungan pokok di kampung ialah kebudayaanya.

Kampung kehilangan budayanya karena banyaknya pendatang tidak mampu menyesuaikan hal itu. Kampung gagap dengan adanya budaya baru masuk didalamnya. Banyak petani mengalami problem dengan surplus penduduk Kota Malang karena peradaban perkampusan.

Diantara budaya yang mati ialah gotong-royong. Kata gotong-royong sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Gotong-royong menjadi langkah untuk membangun kerja-kerja sosial dalam menyelesaikan dengan mudah. Itulah pentingnya gotong-royong dilakukan.

Baca Juga  Omnibus Law 'Musuh Besar' Pancasila

Khususnya gotong-royong antara masyarakat dan mahasiswa. Tetapi semua hal itu jarang kita temukan, Karena dari dosen dan mahasiswa terlalu disibukan dengan tuntutan akademik. Dosen dengan sertifikasinya dan mahasiswa dengan tugas akademiknya.

Semua itu membuat mereka lupa  akan  tanggung jawab. Mereka menjadi penghuni kampus yang tidak lagi mampu menjawab persoalan masyarakat secara utuh.

Tembok Berlin dan tembok Cina. Itulah perumpamaan masyarakat kampus dengan ruang lingkup perkampusan. Mengapa masyaraka pada umumnya berfikir bahwa wahana peradaban seperti kampus seakan bukan marwah mereka, bahkan mereka terasa asing jika memasuki daerah perkampusan. Seakan ada strata sosial yang timpang disitu.

Malang sebagai Peradaban Perkampusan

Konsep peradaban kampus seharusnya memiliki trickle down effect atau Memiliki dampak bagi lingkungannya. tetapi hal itu tidak kita dapatkan di kondisi sekarang. Kampus menjadi sangat ekslusif pada masyarakat. Bisa kita lihat berapa ribu sarjana yang dilahirkan lampus di setiap tahunnya. Mereka mengemban gelar sarjana dengan berbagai ilmu disiplinernya masing–masing. Tetapi sejauh apa dampak dari pengetahuan mereka saat proses menempuh pendidikan dan setelah usai.

Skripsi hanya menjadi tumpukan produk inteketual yang melangit dengan segala teorinya. Tapi tidak mampu menjawab secara kongkret problem masyarakat sekitar kampus. Dari menjawab persoalan pertanian, peternakan, dagang dan lain sebagainya.

Di mana peran kampus sebagai pusat peradaban baru yang lahir di tengah masyarakat? Mengapa kampus sibuk dengan dirinya sendiri? Seolah tidak tahu-menahu terkait persoalan di sekelilingnya. Jika hal ini terus terjadi, akan terjadi ketidak seimbangan dalam masyarakat dan mahasiswa dalam membangun peradaban baru.

Semua itu membutuhkan dialektika dalam pembahasannya. Predikat Malang sebagai peradaban perkampusan perlu mempertimbangan masyarakat di sekitar kampus. Pendiskusian para mahasiswa di kampusnya seharusnya membahas persoalan lingkungan di tempat sekitar mahasiswa hidup.

Baca Juga  Apple iPhone 11 Pro Max vs. Google Pixel 4 XL: Who Has the Better Camera?

Bahkan, para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi, baik intra dan ekstra bisa di katakana gagap dalam menyikapinya. Semuanya hanya berhenti di ruang pendiskusian, tetapi bingung secara praksis dan metodologi penyelesaian persoalan sekitarnya. Itulah realitas kampus sebagai pusat peradaban baru di tengah gemerlapnya problem sosial di sekitarnya.

Bisakah kampus mampu memancarkan perubahannya? seperti kampung Pare yang kita kenal sebagai kampung Inggris. Karena, penduduk sekitarnya pun terpancarkan hasil peradabannya.

Kemudian seperti kota Jombang, Kyai Hasim Asyari melihat fenonema kota di dearah sekitarnya adalah para petani tebu. Maka dia pun membuat pendidikan khusus petani tebu. KHA Ahmad Dahlan melihat pendidikan di kauman Jogjakarta banyak yang tidak mampu mengenyam dunia pendidikan karena latar belakang ekonomi. Maka ia mendirikan pendidikan bagi kaum lemah.

Kampus membutuhkan konsep baru sebagai satu titik peradaban masyarakat. Etos membangun itulah yang seharunya dimiliki oleh perkampusan hari ini. Bukan semata mata menjadikan kampus sebagai ladang bisnis baru tetapi menafikan kebermanfaatan bagi masyarakat itu sendiri. Kampus harus benar benar menjadi peradaban baru masyarakat Malang.

 

*) Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMM. Aktivis IMM Malang Raya & peneliti di Pegiat Riset Ekonomi (Perisai) Institute.
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds