Perspektif

Mampukah Hijrah dari Pandemi?

3 Mins read

Tahun Baru Hijriah 1442 yang menjadi pengingat tentang peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah memiliki pesan tersendiri. Pesan dari peristiwa hijrah tersebut hendaknya dimaknai dengan semangat menguatkan komunikasi pemimpin dengan rakyat. Selain itu, menguatkan ukhuwah atau persaudaraan antarumat juga perlu. Supaya mudah melakukan ikhtiar baru bersama dalam menanggulangi pandemi Covid-19 yang berkeadaban baru pula.

Hijrah Berarti Berpindah

Hijrah berarti berpindah. Peristiwa hijrah yang amat penting bagi perkembangan sejarah umat Islam dilakukan Nabi bersama para pengikutnya dari Makkah ke Yastrib (Madinah) pada 622 M. Sejak peristiwa hijrah itu, umat Islam sudah mulai menghitung kejadian-kejadian yang dialami dengan tahun Hijrah, yang menggantikan tahun Gajah atau lainnya.

Kemudian, pada masa khalifah Umar bin Khattab memerintah, ditetapkan secara resmi kalender atau penanggalan tahun Hijrah (Ensiklopedia Islam Indonesia-2002). Begitu besarnya arti dan dampak hijrah, maka umat Islam di Indonesia dihimbau merayakan Tahun Baru 1442 Hijriah, sekalipun dalam situasi pandemi Covid-19. Tentu perayaannya dapat dilakukan secara sederhana, penuh rasa syukur dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Sama seperti halnya dengan memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia Ke-75 tahun.

Ini sekaligus mengafirmasi dua momentum akbar hadir bersamaan di paruh Agustus 2020 yang tentu memberikan semangat baru. Kendati, 1 Muharram 1442 Hijriah diperingati tiga hari kemudian (17 Agustus-20 Agustus 2020).

Tuhan Menguji Manusia

Kali ini ada yang berbeda. Semangat hijrah didorong pekikan “Merdeka”! Merdeka untuk melakukan hijrah sebagai ikhtiar baru umat manusia. Memang ikhtiar baru sangat dibutuhkan bangsa ini agar kita bisa keluar dari ujian pandemi Covid-19. Setidaknya, tulisan ini sekaligus pula mengafirmasi bukti awal adanya semangat tersebut. Bangsa ini harus mampu keluar dari ujian yang datangnya dari Sang Maha Kuasa.

Baca Juga  Memutus Konflik Konservatisme Agama vs Kesombongan Ilmiah

Sesungguhnya pandemi korona yang disertai dengan kematian ribuan manusia di tanah air dan ratusan ribu manusia di dunia adalah untuk menguji manusia. Sebagaimana termaktub dalam QS al-Mulk [67]: 1-2: “Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun”.

Di balik kematian sebagai bagian ujian dari Allah dan tiada yang mengetahui di mana manusia akan mati (QS Luqman [3]:34), terdapat pula perintah kepada manusia agar wajib berusaha. Dengan demikian, semangat dan usaha untuk keluar dari dampak ujian pandemi yang belum tahu di mana terminal akhirnya adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana pesan dalam QS. Ali-Imran [3]:145: “setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah Swt, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”

Meneladani Semangat Hijrah

Untuk itu ikhtiar baru adalah semangat hijrah itu sendiri yang harus diteladani dalam penanggulangan pandemi Covid-19 oleh semua elemen yang ada. Di tengah pandemi tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ikhlas dan penuh sifat sukarela adalah bagian dari hijrah yang diharapkan menuju puncak keadaban baru manusia. Apabila mengikuti peristiwa hijrah yang dilakukan Nabi, terdapat pengabdian dan pengorbanan yang tinggi pada usaha yang dilaksanakan masa itu.

Nabi hijrah tidak sendiri melainkan bersama, bahkan mendapat ajakan yang kuat dari jamaah dan pengikutnya. Ada pula yang menerima tugas secara sukarela. Salah satunya Ali bin Abi Thalib. Beliau sebagai yang dicatat oleh sejarah ketika Rasulullah hendak berhijrah ke Yastrib (Madinah) dan para kafir Quraisy sudah mengepung rumahnya dengan maksud untuk membunuh.

Baca Juga  Qadar dan Sunnatullah dalam Wabah Covid-19

Ketika itu Rasulullah meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya. Supaya orang-orang yang hendak membunuh itu mengira bahwa yang sedang tidur adalah Rasulullah itu sendiri. Ini jelas adalah tugas yang amat berbahaya. Namun, Ali tetap melaksanakannya secara sukarela.

Tantangan Maraih Momentum Hijrah

Antara Nabi dan pengikutnya membangun komunikasi yang kuat. Rencana atau strategi disusun secara sistematis dan tidak berubah-ubah. Sehingga, menimbulkan rasa kepercayaan, pengabdian, pengorbanan serta rasa sukarela yang kuat dari kalangan bawah.

Akhirnya pengikut Nabi berhijrah dari Makkah yang biasa disebut Kaum Muhajirin. Sedangkan penduduk Yastrib yang menjadi penolong mereka disebut Kaum Anshor dan terdapat pula masyarakat Yahudi. Nabi tetap dielu-elukan ketika sampai di Yastrib. Pimpinan politik tertinggi pun dipercaya dan tetap berada di tangan Nabi. Karena itulah kota Yastrib diganti namanya menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), namun disingkat dengan nama Madinah.

Untuk itu, hijrah dengan semangat pengabdian, pengorbanan, rasa kepercayaan, dan sukarela yang tinggi merupakah suatu keniscayaan. Akan tetapi, di balik itu menjadi tantangan pula bagi manusia untuk menghadirkannya. Hal ini dikarenakan terlalu tingginya potensi perselisihan dan jarak antara elite dengan rakyat, begitupun antara elite dengan cendekiawan.

Akibatnya, ukhuwah antarumat menjadi rusak. Sehingga menghalangi upaya bersama untuk memanfaatkan momentum 1 Muharram 1442 untuk hijrah dari dampak pandemi. Meski sulit, kita tetap berharap ikhtiar baru yang mendorong melakukan hijrah dari dampak pandemi yang berkeadaban baru.

Editor: Nirwansyah

Avatar
2 posts

About author
Pendidikan terakhir S2 Ilmu Komunikasi dan saat ini pengajar Ilmu Komunikasi di UMSU Medan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds