Di masyarakat, kita sering kita jumpai adanya Shalat Ied di tanah lapang/luas. Adapula yang shalat ied di masjid. Namun, terkadang hal tersebut diidentikkan terhadap suatu kelompok atau ormas Islam tertentu, sebut saja yang biasa shalat Ied di tanah lapang adalah Muhammadiyah, sedangkan Nahdlatul `Ulama lebih sering melaksanakan shalat Ied di masjid.
Padahal, pastinya ada kelompok ataupun ormas Islam yang lain (selain Muhammadiyah dan NU) yang juga mengadakan shalat Ied di lapangan maupun di masjid. Cuma kadang masyarakat kita seakan sudah terfokuskan dengan ormas Islam yang didirikan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy`ari tersebut. Sehingga, kadang adanya perbedaan dalam tata cara beribadah dikaitkan dengan salah satu dari kedua ormas tersebut, seperti halnya bilangan shalat Tarawih.
Lalu, sebenarnya manakah yang lebih utama? Shalat Ied di tanah yang lapang atau di dalam masjid? Meski shalat Ied atau datangnya Hari Raya masih lama, namun nampaknya menarik jika kita membahas ini yang mungkin juga sering dibahas di warung kopi ataupun pada kajian di masjid atau mushala.
Shalat Ied di Masjid
Masjid, merupakan tempat beribadah bagi umat Islam di belahan dunia manapun mereka berada. Kita sering menjumpai masjid dengan berbagai bentuk yang menarik, namun ada yang menarik lagi ketika kita harus berbicara membahas pelaksanaan shalat Ied di masjid.
Jika melihat dasarnya, pelaksanaan shalat Ied di dalam masjid dilakukan dengan melihat kapasitas masjid, mampu tidak menampung seluruh jamaah yang hadir untuk melaksanakan shalat.
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Imam As-Syafi’I, sekiranya masjid mampu menampung seluruh penduduk daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk melaksanakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama.
. أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama”.
Dan dari fatwa Imam As-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Baari, jilid 5, h. 283) telah membuat kesimpulan yang intinya bahwa permasalahan bergantung kepada kapasitas daya tampung masjid. Hal itu pula pernah di sampaikan dan HM Cholil Nafis MA, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU yang dikutip oleh NU Online.
Hal itulah yang menjadi dasar pelaksanaan shalat Id di masjid, jika kapasitas daya tampung masjid memenuhi dan dapat menampung seluruh jamaah. Selain itu, faktor masjid yang dinilai lebih terjamin kebersihannya dari berbagai kotoran, sehingga masjid menjadi tempat yang pas untuk dilaksanakannya shalat, termasuk shalat Ied.
Karena yang menjadi fokus utama adalah berkumpulnya umat untuk merayakan kemenangan, kebahagiaan, serta kebersamaan. Namun menurut penulis, akan terasa sulit sebuah masjid dapat menampung seluruh jamaah. Apalagi di desa-desa, melihat waktu shalat Tarawih saja, jamaah sudah meluber sampai serambi masjid.
Mungkin butuh perencanaan yang matang saat pembuatan masjid, dengan mencari tanah yang luas dengan perkiraan dapat menampung seluruh jamaah ketika shalat Id pada hari raya. Meski begitu, shalat Id di masjid tetaplah sah saja, walaupun menurut penulis kurang utama, karena penulis sendiri pernah shalat Id di masjid, namun karena saat itu hujan.
Shalat Ied di Tanah Lapang
Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu meriwayatkkan :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat idul Fitri atau Idul Adha keluar (menuju ke lapangan), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘Ied sebanyak dua rakaat, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan shalat lain sebelum dan setelahnya. [Riwayat Muslim, no. 884]
Dari hadits di atas, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Ied di tanah lapang, dan ini menjadi dasar bagi beberapa umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat Id di tanah lapang.
Shalat Ied di lapangan sudah lama diidentikan dengan Muhammadiyah, Muhammadiyah sendiri melaksanakan ibadah shalat Id di tanah lapang pada tahun 1926 melalui keputusan Kongres ke-15 di Surabaya pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim.
Menurut Ibnu Qudamah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar shalat ‘ied menuju tanah lapang (lapangan) dan beliau meninggalkan masjid. Begitu pula yang dilakukan oleh para khulafaurrasyidin setelah beliau.
Tidaklah Rasulullah meninggalkan tempat yang lebih baik (masjid An-Nabawi) yang sangat dekat dengan rumah Rasulullah. Dan Rasulullah berjalan mencari tempat shalat yang jauh dari rumahnya, kemudian memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu yang lebih utama (masjid), berarti kita dianjurkan bahkan diperintahkan untuk meneladani Rasulullah.
Tidak mungkin Rasulullah memerintahkan malah memiliki sisi kekurangan dan beliau larang malah lebih sempurna. Dan tidak pernah dinukil pula dari Rasulullah bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, kecuali jika ada uzur, demikian yang disepakati oleh para ulama.
Keutamaan Shalat Ied di Tanah Lapang daripada di Masjid
Umat Islam dari waktu ke waktu di seluruh penjuru negeri, keluar menuju tanah lapang di setiap hari raya untuk melaksanakan shalat Id. Mereka melaksanakan shalat Ied di tempat terbuka (tanah lapang), padahal di masjid mereka luas dan banyak pula yang menampung ribuan bahkan ratusan ribu jamaah.
Rasulullah melaksanakan shalat Ied di tanah lapang meski masjid beliau (Nabawi) memiliki keutamaan dibandingkan masjid lainnya. Sebagaimana shalat sunnah di rumah, tentu lebih utama daripada di masjid meski masjid mempunyai keutamaan lebih.
Bagi saudara muslim kita yang shalat Ied di masjid merupakan hal yang sah, sebagaimana Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika masjid suatu kampung itu luas, maka lebih baik shalat ‘ied dilaksanakan di masjid. Karena masjid adalah sebaik-baik tempat dan lebih suci.
Oleh karena itu ketika ‘ied, penduduk Makkah tetap melaksanakan shalat ‘ied di Masjidil Haram. Namun, bagi kita yang melaksanakan shalat Id di tempat terbuka, tanah lapang, atau lapangan, merupakan bentuk pengamalan dari apa yang telah di contohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melihat kisahnya, meski Rasulullah tinggal di Madinah, di samping masjid An-Nabawi, namun Rasulullah tidak melaksanakan shalat Ied di dalamnya. Sebaliknya, shalat itu dilakukan di padang pasir yang luas, sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat shalat istisqa’ dan lainnya.
Berlandaskan hadis di atas pula, maka kebanyakan ulama menetapkan bahwa shalat Ied harus dilakukan di tanah lapang, sesuai contoh dari Rasulullah tersebut. Namun, sebagian ulama lainnya tidak menjadikan padang pasir sebagai syarat sahnya shalat Ied. Bagi mereka, baik di masjid maupun di padang pasir, keduanya sah-sah saja untuk dijadikan tempat shalat Ied, meski tetap lebih utama bisa dilakukan di padang pasir sebagaimana Nabi Muhammad SAW lakukan dulu.
Selain itu, masjid dinilai sebagai tempat yang suci dan nyaman jika menjadi tempat pelaksanaan ibadah shalat. Namun, shalat di tanah lapang merupakan sunah dan di mana Rasulullah sendiri melaksanakan serta menyeru untuk melaksanakan shalat Ied di laksanakan di tanah lapang.
Ketika tanah lapang akan dijadikan tempat shalat Ied, pastinya kebersihan tempatnya sudah menjadi perhatian bagi panitia pelaksana. Jadi, tidak sembarang dalam memakai suatu tempat, apalagi untuk ibadah, sudah barang pasti segala aspek termasuk kebersihan menjadi perhatian utama penyelenggara.
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita meneladani apa yang dilakukan oleh Rasulullah, guna memperoleh keutamaan di dalamnya. Allah swt juga sudah menyampaikan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya;
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab/33: 21].
Adapun jika kita berbeda pendapat dengan teman kita perihal hal ini ataupun ibadah lainnya, mari kita debat dengan baik tanpa emosi, karena sesungguhnya menyampaikan hal yang baik haruslah dengan cara yang baik.
Di kondisi pandemi seperti sekarang ini, mungkin nantinya entah di masjid ataupun di lapangan akan besar kemungkinan tidak diadakannya shalat Id. Tapi, semoga Allah mempercepat pertolonganNya kepada kita semua, agar wabah COVID-19 ini segera dihilangkan Allah dari kehidupan kita, agar kita dapat beribadah dengan nyaman dan tentram.