IBTimes.ID – Ulil Abshar Abdalla adalah pengampu ngaji Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Sebelumnya, Ulil adalah sosok yang kontroversial. Ia adalah pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah komunitas yang menjadi bulan-bulanan oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Karena JIL, Ulil pernah mendapatkan fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam.
Kini, dalam beberapa tahun terakhir, Ulil lebih banyak mengkaji kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Kitab Ihya adalah salah satu mahakarya Imam Ghazali yang identik dengan tasawuf. Hal ini membuat banyak orang berpikir bahwa Ulil telah berubah, dari yang sebelumnya menjadi pelopor Islam liberal, menjadi pegiat tasawuf.
Namun, apakah Ulil benar-benar berubah? Ulil menyebut bahwa dirinya tengah kembali lagi ke tradisi. Namun, ia tidak kembali lagi ke tradisi dengan kacamata lama, melainkan kembali lagi ke tradisi dengan kacamata yang baru. Menurutnya, tradisi bisa dilihat dari berbagai kacamata.
Ulil tumbuh di dalam pesantren. Namun, sejak berada di pesantren pula, ia sudah mulai sering mempertanyakan ajaran-ajaran Islam yang tidak rasional. Saat itu, ia tidak berani mempertanyakan hal-hal tersebut secara terbuka.
Dalam perkembangannya, ia bergelut dengan berbagai sumber bacaan yang liberal, yang mempertanyakan ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak lagi kontekstual. Ia juga dipengaruhi oleh Cak Nur, Gus Dur, Munawir Sjadzali, Masdar Farid, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, dan lain-lain.
“Orang-orang itu mempengaruhi saya. Saya kemudian merasa tidak puas dengan pemahaman keislaman saya yang saya terima dari tradisi pesantren. Saya mempersoalkan itu. Pengalaman beragama yang cenderung mempersoalkan seperti ini juga akan menjadi corak beragama generasi muda sekarang,” ujar Ulil.
Hal tersebut ia sampaikan dalam perayaan Ulil Abshar Abdalla ke 55. Dalam memperingati ultahnya, Caknurian Urban Sufism Society menggelar perayaan dengan tema Ulil Abshar Abdalla & Transformasi Manusia Rohani pada Selasa (11/1). Kegiatan tersebut digelar secara hybrid online & offline.
Menurut Ulil, dengan mengkaji Ihya, ia kembali kepada tradisi dengan berbagai pengalaman yang penuh dengan pemberontakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak kontekstual. Ia kembali kepada tradisi dengan kesadaran bahwa tradisi adalah sesuatu yang tidak boleh diterima begitu saja. Maka, ketika membaca Ihya, ia juga berhadapan dengan sejumlah pertanyaan dan masalah.
“Kita tahu, Al-Ghazali itu hidup di abad kesepuluh. Kita dengan Al-Ghazali terpisah waktu yang cukup panjang. Jadi kita tidak bisa membaca Al-Ghazali dengan seolah-olah tidak ada masalah atau tidak ada pertanyaan sama sekali,” tegas Ulil.
Ulil masih memiliki semangat untuk mempersoalkan. Semangat ini adalah semangat yang berharga. Semangat ini, imbuhnya, telah ada sejak periode JIL. Namun, bedanya, JIL tidak memiliki perhatian yang lebih terhadap tradisi.
Ulil menyebut bahwa di dalam tradisi, ada hal-hal yang bisa dikembangkan, ada hal-hal yang bisa dikritik, bahkan ada hal-hal yang bisa dibuang karena tidak lagi relevan. Menurutnya, tugas umat Islam sekarang adalah membuat tradisi menjadi relevan dengan zaman dan relevan untuk umat Islam.
“Karena ada yang membaca tradisi seolah-olah tradisi itu tidak memiliki konteks. Mengutip Al-Jabiri, tradisi perlu dibaca sesuai dengan konteksnya dan harus dibawa ke konteks kita sehingga relevan. Maka, tradisi perlu dibaca ulang,” tutup Ulil.
Reporter: Yusuf