Oleh: Azaki Khoirudin
Muhammad Iqbal seringkali dikenal sebagai seorang filosof, ahli hukum, pemikir politik, dan sebagai seorang penyair ulung (John L. Esposito: 213). Ia lahir di Sialkot, Punyab (sekarang termasuk wilayah Pakistan) pada tahun 1976 yang pada awalnya masih masuk wilayah India. Setelah Pakistan memisahkan diri dari India dan menyatakan diri sebagai negara merdeka, maka secara otomatis daerah tersebut masuk kedalam wilayah Pakistan.
Karena Iqbal meninggal sebelum proses pemisahan itu terjadi, maka banyak orang memasukkan Iqbal sebagai tokoh pembaharu dari India, bukan Pakistan (Fazlur Rahman, 1992: 13). Gubahan syair-syairnya hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia yang banyak ditulis dalam bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Inggris.
Kehendak Kreatif: antara Tuhan dan Manusia
Muhammad Iqbal dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Di antara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal. Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi.
Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif. Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan.
Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia.
Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai.
Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Filsafat Khudi (Ego) dan Hakikat Manusia
Muhammad Iqbal sendiri telah menulis, yang kemudian menjadi sebuah karya master peace-nya, The Reconstruction of religious thought in Islam. Karya ini merupakan tulisan Muhammad Iqbal terbesar dalam bidang pemikiran filsafatnya dalam bentuk prosa. Tema utama dalam buku ini adalah gagasan perlunya diadakannya rekonstruksi pemikiran keagamaan.
Ada tujuh hal yang dibahas dalam buku ini, pertama, tentang pengalaman keagamaan dan pengetahuan. Kedua, tentang pembuktian filsafat mengenai pengalaman keagamaan. Ketiga, tentang konsepsi Tuhan dan arti sholat. Keempat, tentang ego manusia yang merdeka dan abadi. Kelima, tentang jiwa kebudayaan Islam. Keenam, tentang prinsip-prinsip gerakan pembaharuan dalam Islam. Ketujuh, tentang kemungkinan-kemungkinan dalam agama.
Menurut Muhammad Iqbal dalam filsafat Khudi (ego) nya manusia dapat mengubah apa yang ada kearah yang semestinya ada, karena ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang lebih baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaikakan dengan masa sekarang.
Muhammad Iqbal tidak sepakat dengan pemikiran Plato dan idealisme yang pada umumnya menganggap bahwa ego manusia hanyalah bayangan jiwanya yang merupakan bagian dari jiwa yang abadi, sehingga ego manusia senantiasa berjuang untuk dapat bersatu pada dengan induknya.
Bagi Muhammad Iqbal pandangan semacam ini tidak dapat dijadikan cita moral dan agama serta cerminan dalam dunia pendidikan. Pemikiran semacam ini akan membunuh kebebasan dan kreatifitas manusia dalam pendidikan. Baginya, tujuan ego selalu berjuang untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan dirinya dalam realitasnya, sehingga menjadi kepribadian yang mantap dan kukuh sebagai manusia (M. Iqbal, 1966:4).
Muhammad Iqbal juga mengatakan bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-lahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada benda-benda mati.
Dan untuk membangun kembali (rekonstruksi) umat Islam yang telah terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas, menurut Iqbal perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas (M. Iqbal, 1966:119).
Muhammad Iqbal menjadikan hakikat ego atau individualitas sebagai dasarnya dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam (Hasyimsyah: 185).
Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif.
Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi. Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain.
Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).