Perspektif

Manusia di Tengah Ancaman Perbudakan Modern, Dimana Peran Agama?

4 Mins read

Tulisan ini bukan tentang pesimisme atau teori konspirasi tanpa dasar. Ini adalah sisi lain dari realitas yang jarang terungkap di permukaan, sesuatu yang mungkin tertutup dari pemberitaan media. Namun, inilah potret dunia yang perlu kita sadari sebelum terlambat.

Bukan untuk menebar ketakutan, tetapi sebagai terapi kejut agar kita berpikir, bangun, dan mengambil langkah sebelum tahun 2030 membawa perubahan yang tak terelakkan. Termasuk di dalamnya ancaman perbudakan modern dan juga agama sebagai entitas terpenting untuk membentengi manusia dari perbudakan modern.

Dunia Tidak Butuh Banyak Karyawan Lagi

Selama ini, kita diajari bahwa pendidikan yang baik berpotensi menghasilkan pekerjaan yang layak. Namun, sistem telah berubah. Otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) perlahan menggantikan peran manusia di berbagai sektor. Perusahaan kini lebih memilih AI yang bekerja tanpa lelah dibandingkan membayar karyawan dengan gaji dan tunjangan. Pekerjaan yang dulu membutuhkan 10 orang kini cukup dikerjakan oleh 2 orang yang menguasai teknologi.

Narasi bahwa “AI menciptakan lapangan kerja baru” hanya setengah benar karena lebih banyak pekerjaan lama yang menghilang. Jika kita masih berpikir bahwa sistem lama (sekolah – kuliah – kerja kantoran) adalah jaminan hidup aman, kita sedang berjalan menuju jurang tanpa sadar.

Perbudakan Digital: Ketika Manusia Adalah Produk

Media sosial tampak memberikan konten secara gratis, namun sebenarnya kitalah produk yang dijual kepada para pengiklan. Platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Google memanfaatkan data pribadi dan perhatian kita sebagai komoditas utama. Dari data dan atensi itulah mereka meraup triliunan dolar, sementara kita hanya menjadi konsumen pasif dalam ekosistem digital tersebut.

Setiap klik, like, dan waktu yang kita habiskan di platform mereka menghasilkan uang bagi mereka, bukan bagi kita. AI mereka terus belajar, mengontrol apa yang kita lihat, dan bahkan membentuk cara berpikir kita tanpa kita sadari. Jika tidak menyadari hal ini, kita akan terus menjadi budak digital.

Baca Juga  World Travel Holdings Will Be Honored Alongside Other Recipients

Sistem Pendidikan: Pabrik Buruh Modern

Mengapa kita diajarkan matematika, sejarah, dan sains, tapi tidak diajarkan tentang keuangan, investasi, atau membangun bisnis? Karena sistem pendidikan dirancang bukan untuk menciptakan pemimpin, melainkan buruh yang patuh dan mengandung semi perbudakan.

Sistem ini lahir dari Revolusi Industri, di mana orang dilatih menjadi pekerja pabrik. Pendidikan gratis hanyalah ilusi; kita membayarnya dengan waktu, tenaga, dan akhirnya bekerja untuk sistem yang dirancang oleh elite ekonomi.

Perang Sebenarnya Adalah Perebutan Sumber Daya

Banyak yang berpikir perang terjadi karena agama atau ideologi. Nyatanya, perang terbesar adalah perebutan sumber daya alam. Negara kaya minyak, gas, dan emas sering justru miskin karena sumber dayanya dikuasai pihak luar.

Ketika sumber daya dikuasai oleh segelintir orang, kekayaan dan kendali atas kehidupan sehari-hari kita perlahan-lahan terlepas dari tangan sendiri. Kita tak lagi memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihan, karena akses terhadap kebutuhan dasar dikendalikan oleh sistem yang mereka bangun. Pada akhirnya, kita hanya menjadi konsumen pasif yang bergantung, terus menerus menerima apa yang disediakan tanpa memiliki ruang untuk menuntut atau berinovasi.

Ilusi Uang: Ketika Nilai Dapat Dikontrol

Kenaikan harga barang yang tidak diimbangi dengan kenaikan gaji mencerminkan betapa konsep uang hanyalah ilusi yang dikendalikan oleh sistem perbankan global. Dahulu, uang memiliki nilai yang jelas karena dijamin oleh emas, namun kini nilainya hanya bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem. Ketika kepercayaan itu goyah, nilai uang pun mudah terdegradasi tanpa jaminan yang nyata.

Ironisnya, bank memiliki kewenangan untuk mencetak uang kapan saja sesuai kebijakan mereka. Sementara itu, masyarakat harus bekerja keras setiap hari hanya untuk mendapatkan uang yang nilainya terus tergerus inflasi. Ketimpangan ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem keuangan yang seolah menguntungkan segelintir pihak, sementara mayoritas terus berjuang untuk bertahan hidup.

Baca Juga  Melihat Fenomena Kekerasan terhadap Perempuan

Distraksi Massal: Agar Kita Tidak Sadar

Di era modern, kita hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai bentuk distraksi. Olahraga, gosip, hiburan, dan media sosial sering kali digunakan untuk menarik perhatian kita dari hal-hal yang lebih penting. Tanpa disadari, waktu dan energi kita habis untuk mengonsumsi konten yang sebenarnya tidak memberikan nilai berarti.

Selama kita terus terjebak dalam kesibukan yang tidak esensial, kesadaran terhadap isu-isu besar yang memengaruhi kehidupan kita pun semakin tumpul. Kita menjadi lebih mudah teralihkan dan kurang peka terhadap permasalahan sosial, ekonomi, atau politik yang tengah terjadi. Akibatnya, banyak perubahan besar berlangsung tanpa kita sadari, hingga dampaknya benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Krisis Kepemilikan Tanah: Ketika Rumah Makin Mustahil Dimiliki

Harga properti yang terus melambung dipicu oleh penguasaan lahan oleh segelintir orang yang memanfaatkan kesempatan untuk memainkan harga. Dengan mengontrol pasokan tanah, mereka menciptakan kelangkaan buatan yang mendorong harga semakin tinggi. Akibatnya, akses terhadap kepemilikan tanah dan rumah menjadi semakin sulit bagi masyarakat luas.

Anak muda menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak dalam situasi ini. Pendapatan mereka yang cenderung stagnan tidak mampu mengejar laju kenaikan harga properti yang semakin tidak terjangkau. Jika kondisi ini terus berlanjut, kepemilikan rumah bagi generasi muda bisa menjadi mimpi yang semakin sulit diwujudkan.

Kemiskinan Bukan Kegagalan, Tapi Bagian dari Sistem

Kemiskinan bukan sekadar akibat dari kegagalan individu, melainkan bagian dari sistem yang telah terbangun secara struktural. Bank menawarkan pinjaman dengan bunga yang memberatkan, menciptakan ketergantungan finansial yang sulit diputus. Di sisi lain, perusahaan terus mencari tenaga kerja murah demi menekan biaya produksi, sehingga mempertahankan kondisi ketimpangan.

Politikus pun turut berperan dengan menjual janji-janji yang sering kali tidak terealisasi, hanya untuk meraih dukungan. Bantuan sosial yang diberikan sering kali bukan untuk memberdayakan masyarakat agar keluar dari kemiskinan, melainkan untuk menjaga ketergantungan mereka terhadap sistem. Dengan demikian, ketimpangan terus berlanjut, menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

Baca Juga  Cara Nabi Muhammad Melawan Oligarki

Peran Agama di Tengah Perbudakan Sistem

Di tengah ketidakadilan dunia, agama menawarkan makna, pedoman hidup, dan ketahanan mental yang tidak bisa diberikan oleh sistem manusia.

  1. Agama Mencegah Kita Menjadi Budak Sistem
    Islam, misalnya, mengajarkan bahwa dunia ini hanya sementara. Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari)
    Orang yang memahami ini tidak akan tunduk pada eksploitasi sistem.
  2. Keyakinan Membuat Kita Kebal dari Manipulasi
    Ketika orang sibuk mencari validasi sosial, seorang yang beriman lebih peduli pada hubungannya dengan Allah.
  3. Agama Menawarkan Keadilan yang Tidak Bisa Dibeli
    Allah SWT berfirman: “Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)
  4. Agama Menawarkan Solusi Sosial yang Nyata
    • Zakat dan sedekah untuk mengurangi ketimpangan.
    • Sistem ekonomi Islam yang mencegah eksploitasi.
    • Nilai ukhuwah Islamiyah yang mendorong saling membantu.
  5. Spiritualitas Menjaga Kita dari Putus Asa
    Allah SWT berfirman: “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Agama Benteng Terakhir Perbudakan Modern

Jika kita hanya melihat dunia dari perspektif materialistis, kita akan terus menjadi korban sistem. Namun, dengan kembali kepada agama, kita akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi, mental yang lebih kuat, dan hidup yang lebih bermakna. Agama dapat menjadi benteng terakhir untuk menghalau manusia terjerumus pada perbudakan modern.

Sistem dunia boleh menekan kita, tetapi hati yang beriman tidak bisa diperbudak. Itulah mengapa agama bukan hanya solusi, tetapi juga benteng terakhir bagi manusia untuk tetap merdeka. Semoga menjadi refleksi kita semua. Wallahu a’lam.

Editor: Assalimi

M Ainul Yaqin Ahsan
6 posts

About author
Penulis dan Pegiat Literasi Minat Kajian Keislaman, Politik, dan Sosial
Articles
Related posts
Perspektif

Kenapa Puasa Tak Sebatas Ibadah Ritual Individual?

4 Mins read
Bulan Ramadan adalah momen sakral bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setiap individu Muslim yang telah memenuhi syarat keagamaan (mukallaf) diwajibkan untuk…
Perspektif

Legenda Datu-Datu: Cara Unik Dakwah Islam di Kalimantan Selatan

3 Mins read
Suku terbesar yang berdomisili di Provinsi Kalimantan Selatan adalah suku Banjar. Suku Banjar memiliki cerita rakyat yang cukup banyak dan beragam. Cerita…
Perspektif

Sejuta Cerita di Balik Iklan Sirup Marjan

2 Mins read
Kita sama-sama mengamini bahwa iklan Sirup Marjan adalah iklan yang ikonik, unik, visioner, dan limited edition. Ikonik karena penayangannya hanya pada bulan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *