Oleh: Ilham Ibrahim*
Al-Ghazali pernah membuat geger dunia Islam dengan diterbitkannya kitab Tahafut al-Falasifah yang isinya mengkritik keras para filsuf Islam. Kritikannya ditujukan kepada Ibnu Sina dan al-Farabi yang mulai terbuai dengan pemikiran retoris filsuf Yunani kuno. Siapa sangka terdapat benang merah tentang maqashid syariah dari al-Ghazali ke Syamsul Anwar.
Kitab tersebut kemudian tambah viral setelah Ibn Rusyd menerbitkan kitab polemis tandingan berjudul Tahafut al-Tahafut yang isinya mengkritik keras pemikiran filsafat al-Ghazali. Sejak saat itu al-Ghazali dikenal luas sebagai seorang filsuf dan teolog.
Al-Ghazali juga menulis kitab tasawuf yang tertampung dalam kitab Ihya Ulumuddin. Kitab tersebut disebut-sebut sebagai magnus opus “Hujjatul Islam” karena lahir dari perjalanan dan pergulatan spiritual sang imam yang amat panjang dan berliku-liku.
Di abad pertengahan, barangkali kitab ini menjadi buku best seller dan paling banyak dibaca umat Islam. Lantaran viralnya buku tersebut, ditambah di akhir hayatnya al-Ghazali lebih memilih jalan sunyi, pada akhirnya beliau dikenal luas sebagai seorang sufi.
Al-Ghazali, Ahli Hukum yang Terlupakan
Al-Ghazali merupakan ulama yang menarik dikaji lantaran keluasan ilmu yang dimilikinya: seorang teolog cemerlang yang menjadi penjaga gawang paham Asy’ari; seorang sufi yang mempraktekkan kehidupan tasawuf secara langsung dalam pengalaman eksistensial hidupnya; dan seorang filsuf yang berani melawan arus dan memandang sisi gelap filsafat Yunani.
Selain menulis Tahafut dan Ihya yang membahas teologi, filsafat dan tasawuf, al-Ghazali juga menulis kitab ushul fikih yang berjudul Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul. Kitab tersebut ditulis 20 tahun sebelum akhirnya sang imam meninggal dunia pada tahun 1111 M. Ketenarannya sebagai seorang teolog, sufi, dan filsuf membuat posisinya sebagai ahli hukum hampir luput dari perhatian.
Syamsul Anwar dalam penelitian doktoralnya ingin mengisi ruang kosong tersebut atas minimnya kajian pemikiran al-Ghazali dalam bidang hukum. Pada tahun 2015, penelitian tersebut kemudian diterbitkan Suara Muhammadiyah menjadi sebuah buku yang berjudul Pemikiran Usul Fikih al-Ghazali (450-505/1058-1111).
Al-Ghazali dan Maqashid al-Syariah
Sumbangan terbesar al-Ghazali dalam bidang hukum menurut Syamsul adalah konsepnya tentang Maqashid al-syariah (Anwar, 2015: 274-275). Al-Ghazali membedakan maqashid al-syariah menjadi tiga tingkatan: dlaruri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (tersier).
Menurut Syamsul, al-Ghazali tidak menjelaskan kriteria aspek-aspek mana saja yang termasuk pada ketiga tingkatan tersebut. Namun teori pertingkatan maqashid ini selanjutnya dikembangkan lebih canggih lagi oleh seorang teorikus mazhab Maliki imam al-Syatibi di dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam (Anwar, 2015: 266-267).
Syamsul melakukan koreksi terhadap tesis Abid al-Jabiri yang mengatakan bahwa pengembang introduksi teori maqashid al-syariah adalah al-Syatibi. Lebih jauh dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, al-Jabiri menganggap imam Syatibi telah memutus epistemologi metode ahli ushul fikih era imam al-Syafi’i (al-Jabiri, 1993: 530).
Menurutnya, pada era imam al-Syafi’i ushul fikih dibangun dari penafsiran teks-teks parsial-normatif. Hal ini mungkin yang membuat kitab ushul fikih era tersebut tebal dan berjilid-jilid, karena sebagian besar isinya memuat perdebatan linguistik dan hukum konkret yang melelahkan. Menurut al-Jabiri, kehadiran al-Syatibi memutus teori tersebut dan menyerukan agar perlunya membangun ushul fikih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai syariah (maqashid al-syariah) (al-Jabiri, 1993: 540).
Al-Jabiri menilai teori maqashid al-Syatibi yang diterapkan dalam bidang ushul fikih, terilhami dari teori maqashid Ibnu Rusyd yang menerapkannya dalam bidang akidah. Mungkin tesis al-Jabiri ini berangkat dari asumsi bahwa Ibnu Rusyd dan al-Syatibi merupakan dua jurist Maliki.
Namun menurut Syamsul, pandangan al-Jabiri ini tidak adil kepada al-Ghazali. Menurutnya, walaupun Ibnu Rusyd mengkritik keras al-Ghazali dalam bidang filsafat, namun sang Komentator Aristoteles ini merupakan penganggum sang Hujjatul Islam dalam bidang ushul fikih (Anwar, 2015: 279).
Ibnu Rusyd pernah membuat ringkasan kitab Mustashfa karya al-Ghazali dengan judul al-Daruri fi Ushul al-Fiqh. Karenanya boleh jadi teori maqashid Ibnu Rusyd yang diterapkannya dalam bidang akidah, secara tidak langsung terpengaruh oleh gagasan maqashid al-Ghazali.
Maqashid Syariah dari Al-Ghazali ke Syamsul Anwar
Dalam kaitannya dengan al-Syatibi, menurut Syamsul, harus diakui bahwa beliau memang memiliki peran besar dalam pengembangan teori maqashid ini. Namun tidaklah dapat diterima jika gagasan tersebut terinspirasi dari Ibnu Rusyd yang menerapkannya dalam akidah.
Syamsul menegaskan bahwa siapapun yang membaca secara cermat karya al-Syatibi dan al-Ghazali, akan dengan mudah disimpulkan bahwa teori maqashid ini berasal dari kitab Mustashfa dan Syifa’ al-Ghalil, dua karya al-Ghazali.
Apa yang dilakukan oleh al-Syatibi adalah pengembangan yang bersifat memperluas dan memperdalam gagasan al-Ghazali sehingga artikulasinya lebih komprehensif. Menurut Syamsul, kitab-kitab ushul fikih sebelum al-Ghazali, seperti al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya al-Juwaini dan al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh karya Abu Husain al-Bashri, teori tujuan hukum ini belum ditemukan. Sehingga Syamsul menegaskan bahwa teori maqashid al-syariah merupakan temuan orisinil al-Ghazali (Anwar, 2015: 280).
Dari penjelasan di atas memperlihatkan bahwa walaupun al-Syatibi memiliki background sebagai seorang jurist Maliki, tidak dapat dipungkiri beliau mengembangkan teori maqashid dari jurist Syafi’i yaitu al-Ghazali. Statusnya sebagai teorikus mazhab Maliki tidak membuat al-Syatibi lantas berjalan kaku hanya mengembangkan doktrin mazhabnya.
Begitu juga dengan al-Ghazali. Walau pun teori maqashid belum dikembangkan para Syafi’i, tapi al-Ghazali mengambil langkah berani untuk membuat kreativitas dalam diskursus ushul fikih.
Begitu pula dengan majelis tarjih terkait perkembangan maqashid syariah dari al-Ghazali ke Syamsul Anwar. Walaupun tidak terikat pada satu aliran mazhab, tapi mejelis tarjih berhasil mengembangkan metode ijtihad para ulama mazhab. Kendati tidak mengambil seluruh kesimpulan hukum taklifi maupun wad’i dari para imam mazhab, tapi majelis tarjih meminjam metode mereka dalam istibanth hukum.
Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah disebutkan secara eksplisit bahwa proses ijtihad majelis tarjih menggunakan metode-metode ijtihad yang telah ada (Anwar, 2018: 19). Jadi, anggapan bahwa majelis tarjih anti dengan mazhab benar-benar kesimpulan yang gegabah.
Mengambil Inspirasi dari al-Ghazali
Syamsul Anwar memberikan catatan mengenai pemikiran ushul fikih al-Ghazali terutama terkait teori induksi dan maqashidi. Menurutnya, al-Ghazali telah membuka jalan perpaduan akal dan wahyu. Namun beliau kurang memperhatikan aspek analisis empiris sebagai perwujudan dari akal dan wahyu duduk bersama (Anwar, 2015, 280). Menarik mengikuti perkembangan kajian maqashid syariah dari al-Ghazali ke Syamsul Anwar.
Dengan kata lain, teori induksi dan maqashid al-Ghazali sebetulnya membuka jalan pengembangan analisis empiris dalam diskursus hukum Islam. Artinya hukum Islam tidak hanya bersumber dari teks-teks al-Quran dan Hadis semata, tetapi juga berdasarkan pada pengalaman hidup manusia.
Namun menurut Syamsul, tulisan-tulisan al-Ghazali masih memperlihatkan dominasi analisis normatif-tekstual sebagaimana para fuqaha sebelumnya (Anwar, 2015: 280). Barangkali inilah yang menjadi alasan mengapa pelapisan norma dalam ushul fikih klasik hanya memiliki dua tingkatan: asas-asas umum (al-ushul al-kuliyyah); dan norma-norma konkret (al-ahkam al-far’iyyah).
Karena kurangnya porsi analisis empiris (yang meliputi rasio dan pengalaman) dalam diskursus ushul fikih klasik, prof. Syamsul menambahkan satu tingkatan lagi yang disebut dengan nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah).
Dengan demikian, tingkatan norma hukum Islam menjadi tiga lapis: pertama, nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). Tingkatan pertama ini berupa norma-norma abstrak yang merupakan nilai paling esensial dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, dan lain-lain.
Kedua, asas-asas umum (al-ushul al-kuliyyah). Tingkatan kedua ini tercermin dalam kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Ketiga, norma-norma konkret (al-ahkam al-far’iyyah). Pada tingkatan ketiga ini barulah kita sampai pada kesimpulan hukum taklifi dan ketentuan hukum wad’i.
Menurut Syamsul, ketiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkis dimana norma yang paling abstrak diturunkan ke norma yang semi-abstrak dan diturunkan lagi ke norma yang paling konkret (Anwar, 2015: 282). Misalnya (1) nilai dasar kemaslahatan, diturunkan menjadi (2) norma yang semi-abstrak seperti kaidah fikih yang berbunyi ‘kesukaran memberi kemudahan’ (al-masyaqqatu tajlib al-taysir), dan asas ini diturunkan lagi menjadi (3) hukum praktis, misalnya: bolehnya berbuka puasa bagi musafir. Konsep ini kemudian dikenal dalam manhaj tarjih dengan sebutan asumsi hirarkis.
Fikih Muhammadiyah
Gagasan asumsi hirarkis yang diperkenalkan Syamsul merupakan akumulasi dari berbagai bacaan, pengalaman, penelitian, diskusi, dan pergaulan yang dilakukan beliau. Tentu saja pemikiran al-Ghazali tentang maqashid memiliki peran yang tidak sedikit dalam mewujudnya teori pertingkatan norma/asumsi hirarkis ini. Jadi hal ini bukan temuan orisinil Syamul semata, namun berupa pengembangan dari berbagai sumber yang beliau teliti.
Muhammadiyah melalui majelis tarjih menggunakan asumsi hirarkis ini sebagai basis dalam membangun paradigma fikih Muhammadiyah. Menurut Niki Alma Febriana Fauzi, pemakaian asumsi hirarkis ini bisa dibilang baru dalam diskursus ushul fikih.
Fikih klasik umumnya berangkat dari teks parsial-normatif yang langsung memuat hukum-hukum konkret (Fauzi, 2019: 36). Karenanya, kitab-kitab yang mereka tulis kebanyakan berkutat pada perdebatan linguistik, dan perdebatan halal-haram.
Sementara dalam fikih Muhammadiyah, menurut Niki Alma, dibangun di atas serangkaian metodologi yang tersistem dan menyatu dengan sumber kewahyuan dan prinsip-prinsip hukum Islam.
Sehingga nalar fikih Muhammadiyah memiliki karakteristik khas. Dengan kentaranya apa yang disebut dengan teori pertingkatan norma atau dalam bahasa manhaj tarjih disebut sebagai hirarki norma (Fauzi, 2019: 36).
Dengan demikian, fikih dalam Muhammadiyah tidak diidentikkan sebagai sekumpulan hukum praktis yang bersifat furu’iyyah, melainkan totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berlapis.
Lapisan norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Dari jenjang norma ini terlahir karya-karya majelis tarjih seperti Fikih Air, Fikih Kebencanaan, dan lain-lain.
*) Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah