Review

Maradona, Bola, dan Agama

2 Mins read

Bapak saya dan saya punya kesamaan: gemar menonton bola. Saya masih ingat betul ketika saya masih kecil. Bapak mengajak saya menonton turnamen sepak bola di sebuah desa yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Nostalgia Kecintaan terhadap Bola

Seingat saya, waktu itu, kami berangkat ke sana dengan mengendarai angkot berwarna kuning, rombongan bersama para tetangga yang juga penggemar bola. Dengan perasaan berbunga-bunga, kami bersiap mendukung tim kebanggaan kami, yang tak lain adalah desa kami sendiri. Semenjak itu, tak hanya gemar menonton, saya juga hobi bermain bola.

Ketika saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD), saya bergabung dengan kesebelasan Sekolah Sepak Bola (SSB) di desa saya. Saya juga pernah mengikuti latihan di Stadion Krida Rembang saban hari minggu. Andai saja selepas lulus SD saya tidak dikirim untuk belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur. Barangkali, kini, saya menjadi partner Egi Maulana Vikri dan kawan-kawan di Timnas Indonesia.

Meski demikian, kecintaan saya terhadap bola tidak lantas meredup. Di pesantren, saya tetap bermain bola seperti sedia kala. Tak hanya itu, seminggu sekali, saya patungan bersama teman-teman untuk membeli koran Soccer dan tabloid Bola. Lantas, kami berebut poster untuk di pajang di dinding gothaan (kamar).

Jalan Lain ke Tulehu: Sepak Bola dan Ingatan yang Mengejar

Kecintaan saya terhadap sepak bola tentu saja juga dirasakan jutaan anak-anak Indonesia. Terutama anak-anak Tulehu, sebuah negeri besar di Jazirah Salahutu, sekitar tiga puluh lima kilometer dari Ambon. Tulehu, sejak dulu, memang dikenal sebagai kampung sepak bola. Banyak sekali jebolan pemain Timnas yang berasal dari Tulehu. Mulai dari Mustadi Lestaluhu, Ricky Ohorella, Abdul Lestaluhu, Alfin Tuasalamoni, Ramdani Lestaluhu, hingga Rizky Pellu. Dan masih banyak lagi. Bagi warga Tulehu, sepak bola bukan sekadar olahraga. Namun, sepak bola menjadi tradisi, kebanggaan yang mendarah daging.

Baca Juga  Islam itu Isinya Cinta, Bukan Kedengkian dan Amarah

Lewat novel Jalan Lain ke Tulehu: Sepak Bola dan Ingatan yang Mengejar (2014), Zen RS dengan epic menceritakan kehidupan masyarakat Tulehu yang tak bisa dilepaskan dengan bola. Tak hanya itu, novel dengan latar konflik Ambon 1999 ini juga menguak banyak hal seperti agama, budaya, dan sosial, melalui Gentur, wartawan asal Jakarta. Dalam situasi konflik antar umat Islam dan Nasrani yang sangat menegangkan, kerap kali Gentur berada dalam posisi pelik. Dari hampir dijeburkan hidup-hidup di tengah laut, hingga terpaksa mengaku sebagai Buddha untuk menyelamatkan nyawanya.

Di Tulehu, Gentur dipertemukan dengan Said, pelatih sepak bola. Ia tinggal bersama Said di rumahnya yang berlantai dua. Di sana, Gentur menyaksikan perseteruan panjang berlatar agama. Beda agama berarti siap untuk dipenggal kepalanya. Melalui pengamatan detail Gentur, ia dapat menyimpulkan bahwa perang saudara di tanah Ambon tersebut tidak karena persoalan agama saja. Namun, konflik ini sangat kompleks masalahnya, tak bisa dipisahkan dengan Belanda, Republik Maluku Selatan (RMS), dan bahkan peristiwa 1998. Konflik berdarah tersebut selalu melibatkan ingatan yang disunting, kenangan yang diedit, juga memori yang dihapus (hal. 178).

Terbentuknya Persaudaraan di Tengah Konflik Berdarah

Yang menarik dari novel ini adalah kecintaan masyarakat terhadap sepak bola mampu menjadi kekuatan untuk menyemai perdamaian. Lewat lapangan Matawaru, berbagai macam kelompok menyatukan diri ke dalam satu negeri bernama Tulehu. Sepak bola bukan sekadar permainan, melainkan menjadi rumah bersama yang mempertemukan berbagai macam orang yang berbeda, melebur menjadi satu menciptakan persekutuan dan persaudaraan.

Kisah tersebut tak jauh berbeda dengan peristiwa mutakhir. Belum lama ini, dunia juga disatukan kembali oleh sepak bola. Berita kepulangan Dewa Sepak Bola, Diego Armando Maradona, menyita perhatian dan membuat dunia berkabung. Lewat sepak bola dan Maradona, seolah dunia dipersatukan, dan menolak berbagai macam perbedaan.

Baca Juga  Menyoal Tren Hijrah Kekinian: Masak Hijrah Begitu?

Lewat buku ini, kita disuguhkan sejarah suram yang dapat menjadi bekal generasi mendatang, agar selalu memelihara persaudaraan dan perdamaian. Meski buku ini adalah novel, namun aroma kinerja jurnalismenya sangat kentara. Dan inilah yang menjadikan novel ini berbeda dengan novel-novel yang lain. Walhasil, buku ini menjadi novel yang kaya akan data.

Editor: Zahra

maradona bola dan agama buku jalan lain ke tulehu

Judul Buku: Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan yang Mengejar
Penulis: Zen RS
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tebal Buku: 304 halaman
Cetakan: Mei 2014
ISBN: 978-602-291-040-4

Nur Kholis
4 posts

About author
Mahasiswa asli Rembang yang kini belajar di prodi KPI IAIN Surakarta. Beberapa tulisan lainnya dapat dijumpai di alif.ID.
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds