Terkadang ada kemarahan – kemarahan yang bagi kita absurd tetapi malah menimpa kita. Dan terkadang kita dipaksa untuk memaafkan kemarahan itu, karena kita sedang berhadapan dengan orang yang tidak paham bahwa kemarahannya itu tidak pantas. Bahkan kalau memang terpaksa ada kemarahan bukan dia yang seharusnya marah, tetapi kita. Saya punya beberapa kisah tentang itu.
Di suatu pagi, di hari minggu pada masa pandemi ini, selepas penyemprotan disinfektan di rumah – rumah warga dusun, saya mandi. Setelah mandi saya diberitahu oleh orangtua saya, bahwa tadi ketika saya mandi ada seseorang yang menelpon saya dan marah – marah. Dia marah kepada saya, tetapi di telepon itu marah – marahnya jadi tidak hanya kepada saya, tetapi juga merambat kepada orangtua saya. Saya segera tahu kenapa ia marah – marah.
Sebelumnya, setelah penyemprotan disinfektan, ia meminta uang kepada saya—saya ketua pemuda dan membawa uang kas pemuda, karena bendahara saya yang sebelumnya membawa uang tersebut mengundurkan diri—untuk membeli round up, sebuah obat untuk mematikan rumput. Minggu itu adalah jadwal bersih – bersih rumput di kuburan. Tetapi karena ada penyemprotan disinfektan massal saya memutuskan untuk libur dulu. Orang yang marah – marah tadi, tetap memaksa ingin ada kerja bakti bersih – bersih rumput kuburan, minimal menyemprotnya dengan round up supaya rumput – rumput mati.
Saya tidak segera memberikan uang kepadanya. Harapan saya, inisiatifnya yang sepihak tidak usah ditindaklanjuti saja. Pertama, karena saya tidak membawa uang tersebut. Uang tersebut ada di rumah. Kedua, ketika dimintai uang saya sedang istirahat setelah menyemprot disinfektan yang cukup melelahkan itu. Ketiga, saya tidak setuju dengan inisiatif satu pihaknya untuk tetap membersihkan kuburan, apalagi melihat para pemuda yang saat itu sedang kecapekan setelah penyemprotan disinfektan masal.
Tetapi ia tiba – tiba marah. Dengan muka kesal dan mengucapkan kalimat tidak enak, ia pergi ke toko yang menjual round up. Siapapun saja, yang ada di tempat itu akan tahu bahwa kemarahannya membuat banyak orang tidak nyaman. Merespon ketidaknyamanan itu saya jadi terbawa perasaan dan berkomentar. Intinya komentar saya berbunyi, “Sudah diamkan saja orang seperti itu.” Beberapa menit kemudian saya pulang karena kegiatan penyemprotan disinfektan telah selesai dan makan minum konsumsi yang disediakan memang dirasa sudah cukup.
Sampai rumah saya mandi. Saat itulah kejadian tak mengenakkan itu terjadi. Saya tidak tahu, siapa yang mengadukan komentar saya padanya. Saya tahu, jenis orang seperti yang memarahi saya itu adalah jenis orang yang tidak bisa diajak diskusi. Daripada tidak selesai masalahnya, saya pergi menemui orang tersebut. Kemudian saya minta maaf kepada orang itu.
***
Kali lain, di sebuah lampu perempatan berlampu lalu lintas, ketika lampu menyala pada warna merah, saya yang hendak belok kiri dan kebetulan di tiang lampu lalu lintas tidak ada keterangan belok kiri jalan terus, saya berhenti di posisi kiri. Saya agak kaget, karena tidak lama kemudian ada sebuah truk yang mengklakson saya. Saya diam saja. Tetapi truk tersebut tetap mengklakson saya. Saya berpikir, ini sopirnya tidak paham aturan lalu lintas atau bagaimana ya?
Akhirnya, daripada klakson itu semakin berisik dan mengganggu, saya merasa lebih baik minggir dan mempersilakan truk itu lewat. Apakah truk itu membawa sesuatu yang memang segera harus sampai, seperti ambulans membawa jenazah misalnya? Tidak! Truk itu hanya membawa tebu yang akan dibawa ke pabrik gula yang jaraknya sekira 100 meter dari perempatan itu.
***
Di kali lain lagi, saya lewat di sebuah perempatan besar berlampu lalu lintas. Lampu menyala pada warna merah. Saya hendak belok kiri. Karena ada tulisan belok kiri jalan terus, tentu saja saya memutuskan untuk langsung belok kiri. Kalau saya berhenti berarti saya salah. Tetapi ketika hendak belok kiri ada orang lain yang berhenti di posisi kiri. Saya mengklakson orang itu. Orang itu tetap saja berhenti di posisi kiri dan menutupi jalan. Saya yang jadi merasa tidak enak akhirnya berhenti. Saya menunggu sampai lampu hijau menyala dan orang itu berjalan, baru saya belok kiri.
***
Kemarahan itu ada dua macam. Pertama kemarahan yang egois. Kedua kemarahan yang tegas. Kemarahan yang egois itu biasanya muncul karena diri sendiri merasa dirugikan. Kemarahan yang tegas itu muncul karena orang lain yang dirugikan.
Di dalam lingkup sosial kita ini, sebagaimana yang pernah saya alami, dan mungkin pernah saya lakukan entah sadar atau tidak, kemarahan yang egois lebih mendominasi. Saya kira, inilah yang membuat kemaslahatan sulit dicapai.
Pendidikan, salah satu fungsinya adalah mendidik manusia supaya manusia bisa mengendalikan egonya. Dari pengendalian ego inilah manusia bisa bekerjasama satu sama lain untuk mengelola kehidupan dengan baik.
Indonesia adalah negara dengan rakyat yang mayoritas memeluk suatu agama. Di dalam agama banyak sekali khasanah yang mengajarkan manusia untuk mengendalikan diri, sabar, ikhlas. Agama berkelindan dengan pendidikan. Maka di sekolah ada pendidikan agama.
Anehnya, pendidikan dan agama di negeri ini ternyata masih belum cukup untuk paling tidak membuat manusia tak serampangan mengeluarkan kemarahan – kemarahannya yang egois. Dan khusus untuk umat Islam, saya kira kita harus mengingat kembali bahwa dulu di masa perjuangan Nabi Muhammad, banyak ludah – ludah dari orang banyak yang menjadi saksi—karena menempel di tubuh beliau—kesabaran dan keikhlasan beliau dalam memperjuangkan kemanusiaan.