Oleh: Mohamad Ali (Ayah Hana)
Senin petang tanggal 13 Mei 2019, saya menghadiri dan mengambil hasil Ujian Nasional (UN) ananda Hana Amanatul Ummah (panggil: Hana) di SMA Muhammadiyah Program Khusus (SMA Muhammadiyah PK) Kottabarat Solo.
Peristiwa demikian mestinya biasa saja; seorang ayah mengambil hasil UN anaknya. Tidak ada yang aneh. Esai ini pun tidak mengabadikan peristiwa itu, tetapi menukik lebih dalam disebaliknya. Persisnya, mengungkap keikhlasan dan keberanian seorang anak yang bersedia menjadi martir untuk kelahiran suatu sekolah baru.
Dia tercatat dua kali menjadi murid di sekolah baru, alias menjadi angkatan pertama, yakni SD Muhammadiyah Plus Malangjiwan, Colomadu, Karangannyar (2007-2013) dan SMA Muhammadiyah PK Kottabarat (2016-2019), serta diselingi SMP Muhammadiyah PK Kottabarat (2013-2016).
Perlu dicatat bahwa SD Muhammadiyah Plus Malangjiwan sebelumnya adalah sekolah nyaris mati; tiap rombongan belajar hanya berisi satu (1) sampai lima (5) orang murid. Pasca inovasi dengan tambahan kata “Plus” pada 2007 pelan tapi pasti sekolahan ini tumbuh.
Berkat kegigihan dan keuletan para pengelola, saat ini menjelma menjadi sekolah favorit, nilai UASBN sudah nangkring di urutan pertama Kecamatan Colomadu, bahkan tahun ini dari beberapa kali latihan UASBN berada di peringkat satu kabupaten Karanganyar.
Sementara itu, hasil UN angkatan pertama SMA Muhammadiyah PK Kottabarat rata-rata sekolah mencapai: 72, 32, sebuah hasil yang menggembirakan dan masuk dalam sekolah berkategori B. Meski rilis resmi belum keluar, hampir dipastikan sekolah ini masuk urutan keenam nilai UN tertinggi SMA negeri- swasta di kota Solo.
Ini suatu capaian bersejarah bagi Muhammadiyah. Sebab, meski SMA Muhammadiyah telah ada sejak zaman Belanda, tapi sejauh data yang saya peroleh, belum pernah ada yang mampu menembus rangking ke-6 .
Ringkasnya, kedua sekolah itu merupakan sekolah baru yang tengah tumbuh dan bila ditangani dengan benar sangat potensial berkembang menjadi sekolah berkemajuan (the improving school). Sekolah yang pertama nyaris mati, kemudian hidup kembali dengan nyawa baru, sedangkan yang kedua benar-benar sekolah baru.
Tentu tidak sedikit pihak-pihak yang turut berbuat dalam melahirkan sekolah baru itu. Hanya saja, pada kesempatan kali ini ditampilkan dari sudut (seorang) siswa.
Ciri khas sekolah Muhammadiyah adalah tumbuh dari bawah. Memulai dengan fasilitas sangat terbatas dan kepercayaan masyarakat pun sangat minim. Oleh karena itu, siapapun yang pernah mengalami (atau setidaknya mampu berempati) “berjibaku” dalam proses babad alas membangun sekolah Muhammadiyah dapat merasakan betapa sulitnya menapaki lika-liku proses perintisan.
Dalam situasi serba terbatas demikian, ketika tahun pertama ada pendaftar, seolah-olah memperoleh “durian runtuh”, yang tentu akan dikenang sepanjang perjalanan sekolah.
Dalam situasi demikian, tidak berlebihan bila angkatan pertama disebut sebagai martir. Disebut martir karena dia rela menderita demi kemajuan sekolah Muhammadiyah. Namun demikian, keikhlasannya menjadi seorang martir malah justru menumbuhkan jiwa kejuangan.
Dia harus melangkah dan belajar keras di tengah keterbatasan fasilitas. Mungkin agak berlebih bila kegigihannya dianalogikan dengan kisah (Nabi) Ismail a.s. yang merelakan dirinya di”korbankan”kan (baca: menjadi martir). Alih-alih meninggal, tetapi malah hidup dengan kepribadian yang tangguh.
Hana (dan teman-teman seangkatannya) telah dua kali menjadi martir demi kelahiran sekolah baru, SD Muhammadiyah Plus Malangjiwan dan SMA Muhammadiyah PK Kottabarat.
Meski menjadi martir, ketika saya tanya, “apakah kamu menjalani hari-hari sekolah dengan penuh gembiraan”? Jawabnya singkat, “ya.. riang gembira’. Tentu ini pengakuan yang benar-benar menantang, menjadi seorang martir yang menggembirakan.
Karena menjalani hari-hari di sekolah dengan penuh kegembiraan dan keikhlasan, maka hasil belajarnya pun cukup menggembirakan. Dia berhasil mencapai nilai rata-rata 8,75 (350). Semoga nilai itu bisa menjadi modal awal untuk mengetuk pintu gerbang perguruan tinggi yang dicita-citakan.
Ketika saya tanya, “mau kuliah dimana”? Dengan santai dia menjawab: “mengikuti jejak kakak di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta”. Semoga dapat meraih cita-cita yang dipancangkan. Aamiin.