Sebentar lagi perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di seluruh Indonesia akan dilaksanakan bulan September mendatang. Sampai saat ini, money politic atau politik uang masih menjadi faktor dominan bagi masyarakat dalam menetukan pilihan di perhelatan pesta demokrasi atau pemilihan umum. Baik itu dalam memilih calon legislative, maupun eksekutif.
Padahal, faktanya politik uang tidak pernah membuat kehidupan masyarakat semakin kaya, apalagi sejahtera. Tetapi sebaliknya, malah membuat masyarakat semakin miskin dan bodoh. Karena mereka tidak pernah diajari bagaimana cara menjadi orang yang cerdas dan mandiri.
Sebaliknya, malah diajari menjadi orang yang miskin, buta literasi, dan bermental pengemis. Terbesit pertanyaan, mungkin memang itulah tujuan utama para politisi dan partai politik, untuk membodohkan masyarakat, dan selamanya bermental pengemis? Itukah calon yang selama ini kita bela mati-matian? Apakah kita rela selamanya menjadi orang yang bodoh, terbelakang, dan miskin? Penulis yakin, semua manusia ingin ada perbaikan dalam hidupnya!
Money Politik yang Mewabah
Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, pada bulan Februari lalu, merilis temuan hasil penelitian. Hasil penelitian itu mengungkap fakta bahwa di Jawa Timur, ada sekitar 66, 50 % orang menerima money politic. Serta menganggapnya sebagai sebuah hal yang wajar.
Dan paling ironis, hanya ada 1,87 % orang yang menolak politik uang tersebut. Secara nasional, ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada 8 Februari 2019, melaksanakan forum diskusi Pemilu.
Mereka menghadirkan pengamat politik dari lembaga SPD dan Indikator politik. Mereka pun juga mengungkap fenomena yang sama. Dalam paparanya, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz mengungkapkan bahwa pada pemilu 2019, ia melihat adanya peningkatan money politic, jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2014.
Tabiat yang Tak Baik
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi juga mengaku miris dengan praktik money politik yang tidak kunjung hilang. Apalagi Indonesia berada di peringkat tiga besar dunia dengan tingkat money politic yang sangat tinggi. Dari pengamatan penulis, ada beberapa faktor dominan yang menjadi pemicu munculnya fenomena tersebut, seperti kemiskinan, krisis kepercayaan, dan matinya pendidikan politik.
Sebagai seorang aktivis sosial yang sering berinteraksi secara langsung dengan politikus dan masyarakat, penulis sering mendengar celoteh dari mereka tentang pertanyaan menjelang palaksanaan Pemilu. Seperti bertanya tentang siapa dia (calon), partai apa, diberi apa, dan berapa?
Fenomena tersebut tentu menjadi keprihatinan bersama, karena dari kebiasaan prilaku transaksional tersebut, tidak akan pernah menghasilkan kepemimpinan yang baik. Mayoritas dari masyarakat tidak percaya dengan para calon karena mereka jenuh. Pasti setelah berhasil memperoleh kekuasaan, mereka lupa dengan janjinya.
Pertanyaannya, jika sadar begitu, mengapa kesalahan yang sama di ulang kembali?. Tentu jawabanya hanya satu; pendidikan politik tidak berjalan.
Politik Uang dan Korupsi
Fenomena politik uang diatas, tentu akan berakibat pada penyelewengan kekuasaan, baik itu jual beli jabatan, gratifikasi maupun korupsi secara langsung. Sedangkan, dari sekian banyak kasus korupsi yang berhasil di ungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap ada sebanyak 60% lebih pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani berasal dari kalangan politikus.
Alasan utamanya, karena biaya politik yang sangat mahal. Sementara, data penanganan perkara KPK pada tahun 2018 mengungkapkan sekitar 61,17% orang pelaku, diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik, yaitu 69 anggota DPR, 149 anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut.
Hilangnya Pendidikan Politik
Peran partai politik dan politisi manjadi paling dominan dalam proses perbaikan pola berfikir masyarakat dalam menentukan pilihan. Untuk merubah kebiasaan transaksional menjadi rasional aspiratif.
Namun, sampai hari ini, tidak ada yang berperan melaksanakan kerja tersebut. Semua parpol maupun politisi hanya pandai bersilat lidah memberikan pendidikan politik. Tapi nyatanya, tujuan mereka hanya ingin melanggengkan kekuasaan dan tidak berani kalah dalam pertarungan.
Jadilah pragmatisme dan money politic menjadi pilihan. Dimana, pilihan itulah yang mengantarkan pemerintahan di negeri ini tidak pernah bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Karena bukan itu tujuan mereka, tetapi kekayaan dan balik modal menjadi tujuan utama para politisi! Merancang perbaikan dan solusi dari segala kebuntuhan, kemiskinan, dan kesenjangan?.
Rasional Apresiatif
Penulis ingin memberikan gambaran singkat tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang benar. Konsep ini, harus menjadi pijakan bagi seluruh masyarakat dalam menentukan pilihan.
Karena, dengan inilah pemimpin yang berkualitas, berintegritas, dan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat umum menjadi tujuan utama, daripada individu maupun kelompoknya. Gambaran singkat tentang memilih secara rasional aspiratif, adalah sebuah tindakan dan sikap menentukan, memutuskan sebuah pilihan dalam setiap pemilu dengan menggunakan akal sehat, berpijak pada aspirasi yang dibutuhkan, dan bukan dengan menggadaikan masa depan dengan uang recehan.
Mungkin gagasan ini, terkesan terlalu tinggi dan mustahil untuk bisa diwujudkan. Apalagi jika melihat pragmatisme masyarakat yang sudah mendarah daging. Prinsip wani piro dan oleh opo, masih menjadi bangunan berpikir masyarakat umum.
Seorang calon yang menawarkan solusi dari segala kebuntuhan, ditertawakan. Lalu tidak mendapat ruang dihati rakyat. Mungkin memang krisis kepercayaan dan mental pengemis sudah menggurita.
Berbagai macam jenis dan sebutan politik uang, semakin meluas di semua kalangan. Seperti istilah sedekah politik, serangan fajar, uang pengganti kerja dan sebagainya. Sementara dari setiap pelaksanaan Pemilu politik uang, sangat menentukan pilihan masing-masing pasangan calon. Ini yang menjadi keprihatinan kita bersama. Fenomena tersebut, masih terlihat sangat wajar bagi masyarakat di berbagai wilayah.
.