Hari ini, saat saya mendengar masa perpanjangan Bekerja Dari Rumah atau Work From Home (WFH) sampai 4 April 2020 bukannya senang. Namun, saya merasa ada kesedihan yang entah kenapa terasa menggumpal dalam diri saya.
Saya toh, sebenarnya, masih bisa bekerja dari rumah. Masih dapat gaji bulanan dari kampus. Berbeda misalnya dengan para pekerja informal yang hidup tidak bergantung pada gaji bulanan, dan mengharuskan mereka tetap bekerja di luar di saat pemerintah mendorong pekerjaan dilakukan di rumah.
Itu tentu realitas menyedihkan, bukan. Di sisi lain, kita masih memperdebatkan apakah corona berbahaya atau tidak. Yang lain, malah lebih ekstrem lagi, tidak takut mati karena kematian hanya seizin penciptanya.
Lalu, apakah kita bisa melewati tragedi ini? Pertanyaan seperti ini selalu menggangu pikiran saya, akhir-akhir ini.
Saya toh bukan orang yang pesimistis. Di saat orang-orang ngeyelan dan kepala batu sulit diajak diskusi, saya dan beberapa teman masih berjuang sebisanya untuk melakukan penyadaran agar tidak beraktifitas dalam kerumunan. Melayani mereka berbedat bahkan menggunakan dalil dan ilmu. Toh mereka masih saja ngeyel, dan memilih dalih percaya pada masing-masing keyakinan saja.
Masalahnya memang sangat komplit. Belum lagi kita akan memasuki bulan Ramadan dan Idul Fitri. Kita bisa membayangkan berapa juta manusia yang akan terpapar virus ini jika saja mudik itu benar-benar terjadi jika pemerintah, di satu sisi, gagal mengontrol virus corona, dan di sisi lain masyarakat bersikap masa bodoh dengan virus ini.
Kita toh sudah tahu bahwa ada puluhan orang yang meninggal di Indonesia karena covid-19 bahkan para dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya harus menebus nyawa mereka akibat kerelaan mereka berada di garda terdepan melawan virus corona, di tengah kesulitan mereka mendapatkan alat pelunding diri.
Tindakan perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya jelas tindakan altruistik. Yang mereka lawan adalah egoisme virus yang tentu tidak mengenal istilah solidaritas dan kemanusiaan. Tulisan “kami bekerja di RS untukmu. Kalian bekerja di rumah untuk kami” adalah ungkapan altruisme. Mendahulukan kepentingan orang daripada kepentingan diri sendiri. Kenyataannya, sebagian dari kita enggan mengerti. Bahwa spesies manusia bisa musnah karena egoisme.
Keegoisan di tengah wabah Corona tentu bisa dilacak dengan sangat mudah. Misalnya, egoisme para anggota DPR dan keluarganya yang lebih cepat dilakukan rapid test Covid-19. Padahal yang lebih membutuhkan adalah petugas kesehatan yang merawat pasin Covid-19, dan masyarakat yang selama ini kesulitan mendapatkan tes.
Saya bisa menduga, realitas-realitas itulah yang membuat kesedihan itu menumpuk.
Gambaran-gambaran di atas, meminjam istilah Victor Frankl, adalah serangkaian tragedi kehidupan. Kita sudah berada apa yang dia sebut sebagai penderitaan, rasa bersalah, dan kematian.
Kita menderita karena dampak Corona terhadap kehidupan sangat luar biasa. Kita perlu merasa bersalah sebagai manusia yang tidak mampu melawan virus ini, dan egoisme diri kita. Dan, kita sudah menyaksiakan puluhan kematian di indonesia bahkan puluhan ribu di dunia akibat Corona. Lengkap sudah tragedi kehidupan.
Masihkah Ada Optimisme di Tengah Tragedi Corona di Indonesia?
Ada tiga poin, menurut Victor Frankl, yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan optimisme dan menemukan makna hidup di tengah tragedi.
Pertama, melalui pekerjaan atau perbuatan. Pekerjaan tentu bisa apa saja sesuai kadar kemampuannya. Bagi ahli vaksin ya berusaha menemukan vaksin, perawat dan dokter tentu bekerja merawat pasien, sedangkan untuk pemerintah bergerak cepat mengontrol dan memberikan kebijakan yang tepat, yang lain bisa bekerja di rumah, menjaga jarak, dan seterusnya. Bahwa semua perbuatan yang kita lakukan saat ini tujuannya adalah untuk melawan virus Corona. Itulah tujuan besar hidup kita sekarang.
Kedua, melakukan kebaikan. Kita perlu melakukan kebaikan misalnya membantu keluarga yang terdampak virus corona. Bisa secara personal atau diorganisir seperti membuka donasi atau sumbangan suka rela untuk korban Covid-19 dan keluarga, dan juga untuk membantu membelikan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Ketiga, menghadapi penderitaan. Penderitaan ini bukan hanya dialami oleh pasien positif Covid-19, namun masyarakat yang juga terdampak. Masyarakat yang menjalani work from home tentu mengalami beban psikis, mengalami kecemasan dan juga takut terpapar virus. Mahasiswa yang menjalani belajar online, dan semua orang yang terdampak.
Bagaimanapun, kita perlu tahu penderitaan ini ada jalan keluarnya. Bahwa kita tahu cara memutus rantai persebaran virus ini dengan cara jaga jarak (social distancing), mengisolasi diri dan tetap di rumah. Cara-cara itu meski terasa berat dan menderita, tetap harus dijalankan. Karena, berani menghadapi penderitaan saat ini adalah jalan keluar dari tragedi pandemi Corona.
Jadi, apakah kita masih optimis?