Masjid sebagai tempat ibadah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama Islam. Dalam beberapa hadis, masjid juga memiliki keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad Saw. Beberapa keutamaan yang didapatkan seperti saat mendatangi masjid untuk beribadah akan dihitung pahala pada perjalanannya. Selain itu, dalam beberapa hadis disebutkan bahwa beribadah di masjid juga terdapat beberapa keutamaan, terlebih pada masjid tertentu seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa, ataupun Masjid Quba.
Begitu juga masjid merupakan sebuah tempat yang turut mewarnai sejarah lahir, berkembang, dan menyebarnya Islam dari Arab Saudi hingga ke berbagai penjuru dunia. Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah, bangunan yang pertama kali Nabi Muhammad dirikan bersama para sahabat ialah masjid yang bernama Quba. Masjid tersebut sekaligus menjadi masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad.
Begitu pula ketika Nabi Muhammad menetap di Madinah. Masjid bernama Nabawi yang berada di dekat rumah Nabi Muhammad bukan hanya menjadi tempat ibadah ritual berupa salat saja, tetapi masjid juga menjadi tempat berkumpulnya Nabi Muhammad beserta para sahabat untuk menyampaikan ilmu, berdiskusi, dan hal lainnya. Tak berhenti pada masa Nabi Muhammad saja, masjid juga menjadi tempat sumber keilmuan dan peradaban pada beberapa masa setelahnya.
Mempertanyakan Inklusifitas Masjid Saat Ini
Mendapatkan akses secara penuh dalam beribadah dan mengikuti kegiatan keagamaan di masjid juga menjadi bagian dari hak muslim penyandang disabilitas. Jika merujuk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, keagamaan menjadi salah satu hak bagi penyandang disabilitas. Maka dari itu, masjid sebagai tempat ibadah sekaligus dapat menjadi ruang publik yang terbuka perlu menyediakan aksesibilitas berupa fasilitas bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas sebagai upaya mewujudkan tempat ibadah yang inklusif.
Hingga saat ini terdapat banyak masjid yang belum memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Hal ini dapat terjadi karena pemahaman keagamaan yang belum mencakup konsep inklusifitas, kurangnya peran tokoh agama dan pengurus masjid dalam menggerakan lingkungan ramah disabilitas, serta bangunan masjid yang belum aksesibel bagi penyandang disabilitas. Dengan memahami cara pandang terhadap penyandang disabilitas secara tepat dapat menjadi langkah awal terwujudnya inklusivitas termasuk dalam tempat ibadah.
Penyandang disabilitas bukanlah seseorang yang butuh untuk dikasihani atas kondisi disabilitas yang dimiliki, tetapi yang dibutuhkan penyandang disabilitas ialah sebuah aksesibilitas dan lingkungan yang inklusif. Maka dari itu, pemahaman yang tepat tentang disabilitas dalam mewujudkan inklusifitas menjadi bagian penting.
Melalui hal tersebut akan mendukung lingkungan yang jauh dari diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Kerjasama antara tokoh agama, pengurus masjid, dan jamaah ataupun masyarakat secara umum menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk mewujudkan inklusifitas.
***
Selain pemahaman yang tepat tentang penyandang disabilitas dan kesadaran pentingnya inklusifitas, mewujudkan inklusifitas juga tidak lepas dari fisik bangunan masjid. Hambatan bagi penyandang disabilitas untuk beribadah di masjid bukan terdapat pada kondisi disabilitas yang dimiliki, melainkan disebabkan oleh kurangnya aksesibilitas fasilitas masjid.
Pada umumnya bangunan masjid memiliki tangga yang tinggi. Maka dari itu perlu disediakannya fasilitas berupa jalan miring (ramp) sebagai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas daksa yang menggunakan kursi roda. Memberikan aksesibilitas dalam bentuk fisik dengan tersedianya guiding block yang terpasang secara tepat dan strategis menjadi sebuah fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas netra.
Begitu juga menyediakan tempat duduk pada ruang salat ataupun tempat wudu sebagai fasilitas masjid merupakan bentuk aksesibilitas bukan hanya bagi penyandang disabilitas tetapi juga lansia.
Selain berkaitan dengan fisik bangunan masjid, hingga saat ini terdapat banyak khutbah Jumat, khutbah dua hari raya, ataupun kajian keislaman yang belum menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) sebagai akses bagi penyandang disabilitas Tuli. Menghadirkan JBI pada kegiatan keagamaan menjadi salah satu hal yang penting untuk menyampaikan akses ilmu keagamaan bagi penyandang disabilitas Tuli. Melalui adanya JBI pada sebuah kegiatan peribadatan keagamaan menjadi bagian dalam memberikan hak bagi penyandang disabilitas Tuli.
Islam adalah Agama yang Inklusif, Ramah Disabilitas
Bukan seperti sebagian orang yang masih memahami bahwa penyandang disabilitas adalah hukuman atau azab dari Allah, Islam justru tidak sejalan dengan pernyataan tersebut. Islam mengajarkan adanya inklusifitas dan kesetaraan melalui firman Allah dalam Al-Qur’an dan sabda ataupun perilaku Nabi Muhammad.
Di saat beberapa orang mengatakan penyandang disabilitas itu manusia tidak sempurna, tetapi Allah telah menegaskan bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin: 4). Sejalan dengan hal itu, pada suatu hadis Nabi Muhammad telah bersabda bahwa Allah tidak menilai manusia dari fisik akan tetapi dari hati dan amalannya. (HR. Muslim).
Pada salah satu firman Allah dalam surat An-Nur ayat 61 juga menjadi salah satu dasar bahwa Islam mengajarkan inklusivitas dan kesetaraan. Allah berfirman:
لَّيْسَ عَلَى ٱلْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ
Artinya: “Tidak ada halangan bagi netra, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri…”
***
Selain itu, terdapat sebuah perilaku Nabi Muhammad terhadap penyandang disabilitas netra yang menjadi sebab turunnya firman Allah. Hal tersebut dikarenakan Nabi Muhammad berpaling dari sahabat penyandang disabilitas netra bernama Abdullah bin Ummi Maktum saat ingin bertanya perihal agama kepada Nabi Muhammad, akan tetapi Nabi Muhammad justru berpaling dan berfokus terlebih dahulu kepada pembesar kaum Quraisy karena dinilai akan berpengaruh besar dalam penyebaran Islam. Melalui perilaku Nabi Muhammad tersebut, beliau mendapat peringatan dari Allah melalui sebuah firman yang terdapat dalam surat ‘Abasa.
Pada kisah yang lain, Nabi Muhammad juga turut melibatkan secara aktif Abdullah bin Ummi Maktum untuk menjadi muazin (HR. Bukhari dan Muslim) dan pernah pula menjadi imam menggantikan Nabi Muhammad dalam salat berjamaah. (HR. Abu Daud). Perilaku Nabi Muhammad kepada sahabat penyandang disabilitas netra menjadi salah satu contoh bahwa Nabi Muhammad menjunjung kesetaraan termasuk bagi penyandang disabilitas.
Melalui beberapa ayat Al-Qur’an, hadis, ataupun perilaku Nabi Muhammad di atas dapat menjadi salah satu dasar bahwa Islam mengajarkan inklusifitas dalam kehidupan. Begitu juga dalam melibatkan secara aktif penyandang disabilitas di masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki sekaligus memberikan kesetaraan peran. Oleh karena itu, sudah sepatutnya ajaran tersebut diamalkan dengan saling bekerjasama untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif termasuk pada tempat ibadah.
Editor: Soleh
Semua orang bisa menjadi disabilitas sementara untuk selamanya karena faktor usia atau kecelakaan. Sudah waktunya menyesuaikan Permen PUPR no 14 tahun 2017 agar segera memenuhi hak disabilitas dalam mengakses tempat ibadah dengan mudah, nyaman, aman, dan secara mandiri.
Izin merevisi komentar sebelumnya.
Bukan “..bisa menjadi disabilitas sementara untuk selamanya..” tetapi “..bisa menjadi disabilitas untuk sementara waktu atau selamanya..”