Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam tentu bangga memiliki rumah ibadah atau masjid-masjid yang bagus dan mewah. Lebih-lebih, bila dihiasi kaligrafi Arab yang memanjakan mata. Dengan adanya hiasan tersebut, diharapkan mampu menambah semangat dan kekhusyukan setiap orang dalam beribadah. Sehingga jamaahpun merasa tak bosan untuk berlama-lama dalam rumah Tuhan itu.
Selain sebagai tempat yang sakral: tempat sujud, bercumbu, dan bermanjanya manusia kepada Sang Pencipta. Kini masjidpun sudah mengalami profanisasi yang cukup akut. Di mana pikiran-pikiran dunia yang sarat dengan muatan kongkalikong dan kepentingan undertable kian terlihat dengan transaksi angka-angka yang dilakukan dengan tangan terbuka.
Masjid-masjid pada Masa Nabi
Proses “politik masjid” itu memang bukan terjadi hari ini. Kemarin, satu hari yang lalu bahkan puluhan abad silam proses itu sudah terjadi. Untuk lebih meyakinkan, kita coba lihat dari perspektif sejarah. Bagaimana “sekuler”-nya masjid pada masa baginda Nabi Muhammad.
Dalam literatur sejarah Islam mainstream, masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah bersama sahabat dan pengikutnya adalah masjid Quba’, kala itu dibangun dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Yatsrib. Kemudian setelah sampai di Yastrib, baginda Nabi membangun rumah ibadah yang kita kenal sekarang dengan Masjid Nabawi itu. Lebih jauh, Nabi membangun “negara” Madinah yang amat masyhur dengan perangkat-perangkat modern kenegaraan saat itu. Tentu kita tidak bisa menafikan sudah ada “bilik-bilik Tuhan” yang diciptakan sebelumnya.
Dalam masa-masa selanjutnya, masjid menjadi tumpuan utama baginda Nabi dalam berdakwah. Konsolidasi dan rekonsiliasi umat banyak dilakukan di masjid. Termasuk membicarakan masalah ekonomi, pertanian, politik, dan perang yang umumnya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah Ketuhanan yang dianggap sakral tadi.
Sek.. Sek.. Muhammad ini Nabi pembaca! Utusan Tuhan langsung yang sabdanya jelas bukan berdasar hawa nafsu melainkan diwahyukan. Artinya, segala yang bersumber dari Nabi Muhammad pasti bernilai ibadah dan mengandung sakralitas, sekalipun sesuatu itu kita anggap sebagai hal-hal keduniaan. Jadi, masjid-masjid Nabi itu, walaupun sudah terkontaminasi kepentingan dunia, nilai sakralnya masih murni.
Objek Vital
Kita coba membuat tesis kecil-kecilan dengan menempatkan Nabi sebagai seorang politisi. Kita sudah mafhum dengan “politik masjid” Nabi dalam membangun negara Madinah dengan Piagam Madinahnya yang akomodatif untuk kepentingan bersama. Hal tersebut sesuai dengan wahyu yang diterimanya. Meskipun kerjanya bersifat keduniaan atau profan, namun sebagai seorang Nabi, maka secara otomatis yang dilakukannya adalah kerja-kerja ibadah dan ketuhanan atau yang kita anggap sakral tadi.
Jika kita tarik benang merahnya dalam kondisi “politik masjid” dari politisi hari ini, maka seakan-akan masjid sebagai objek vital untuk dipermainkan secara politis dan sarat ambisi kekuasaan.
Beberapa waktu lalu sempat heboh terkait keberhasilan Presiden Turki, Pak Erdogan, dalam mengubah sebuah tempat yang sebelumnya difungsikan sebagai museum dan gereja menjadi masjid. Apabila ditilik lebih jauh, erat kaitannya dengan invasi “politik masjid” ala Erdogan yang sudah lama mendarah daging untuk meraup dukungan, meminjam istilah Bernando J. Sujibto dalam opininya di Jawa Pos (17/7/2020).
Penyakit “politik masjid” seperti ini juga menjangkiti politisi tanah air yang saat ini marak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dibungkus serapi mungkin dengan angka-angka bantuan dan iming-iming renovasi dan pembangunan masjid baru.
Hal demikian seolah-olah memperlihatkan, bahwa sang politisi itu tidak terpaut dengan masjid dan salah satu manifestasi kehadirannya ditengah-tengah umat Islam yang menjadi lumbung pemilihnya kelak. Sebab, dengan indikator umat Islam sebagai mayoritas: masjid-lah yang paling “murah” dan ampuh untuk maraup dukungan dibandingkan dengan membagi-bagikan sembako kepada masyarakat. Akan tetapi, mesti diingat bahwa hal tersebut mencederai nilai demokrasi.
Ada Apa dengan Masjid?
Bantuan yang diberikan para politisi ini untuk masjid sangat marak terjadi menjelang pilkada dan pemilu. Apabila melihat gerak-geriknya, tentu setiap orang, termasuk saya merasa curiga dan skeptis dengan bantuan dan “kasih sayang” politisi tersebut.
“Lah wong kalo mau ya jauh-jauh hari juga bisa kan nyumbang buat masjid. Kok dekat pilkada gini baru kelihatan!” Kalau sudah begini, dalam pandangan saya, hanya ditujukan untuk meraup dukungan dan suara atau minimal menjadi investasinya untuk pilkada dalam waktu dekat. Persis dengan praktik Erdogan kala itu.
Apalagi bagi politisi yang sudah makan asam garam dunia dakwah Islam. Tentu mereka memiliki amunisi yang lebih banyak lagi untuk merayu umat. Dengan tampil diatas mimbar khutbah, ceramah, dan ritual keagamaan,mereka sudah memiliki modal yang cukup baik. Seakan-akan politisi semacam ini akan mampu menyelamatkan umat dari masa “kegelapan dunia”.
Sebagai contoh, dalam sebuah wawancara seorang politisi cum pendakwah mengakui, bahwa pendekatannya sebagai pendakwah lebih menjanjikan ketimbang mendekatkan masyarakat/konstituen lewan embel-embel politisi. Dengan demikian, mempolitisir agama menjadi salah satu cara yang ampuh untuk saat ini.
Praktik politisasi seperti uraian diatas, sudah menjadi agenda rutin setiap musim pilkada atau pemilu. Oleh karena itu, masyarakat harus benar-benar selektif dan hati-hati kepada para politisi semacam itu. Di sisi lain, mereka juga disokong dengan gelontoran dana bah taipan Timur Tengah untuk menyasar masjid-masjid yang menjadi kantong-kantong umat.
Jika demikian adanya, saya kira masjid kita sudah menjadi “masjid-masjid sekuler” yang dibangun atas niatan politik untuk memuluskan jalan politisi menuju singgasananya. Di sini lagi dan sekali lagi umat dan rakyat dikorbankan.
Karena sejatinya politisi bukanlah Nabi, yang perbuatan profannya bisa menjadi sakral. Sedangkan saya, kita, dan para politisi itu melaksanakan perbuatan profan belum tentu dianggap sebagai ibadah yang bernilai sakral. Sesungguhnya semua perbuatan tergantung pada niat. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang kita buat mesti diniatkan dengan tulus dan ikhlas.
Editor: Nirwansyah