Perspektif

Truk, Emak-emak dan Ruang Perjumpaan

3 Mins read

Mendengar kata truk dan emak-emak, secara tak langsung fikiran kita tertuju pada film yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Ya, tak lain adalah Film Tilik.

Film pendek Tilik sukses menarik banyak perhatian publik. Bahkan, Minggu pagi kemarin, salah satu stasiun televisi swasta menayangkan profil pemeran Ibu Tejo, salah satu karater utama Film Tilik di program berita pagi. Sosok yang diperankan oleh Siti Fauziah pun menjadi perhatian karena dianggap paling menonjol.

Sontak saja, film yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo menjadi trending topic dalam beragam perbincangan. Ekspresi seperti meme dan potongan ungkapan ditiru oleh warganet. Teman penulis sempat bercerita bahwa popularitas film tersebut juga terlihat dari banyaknya tulisan yang menyorotnya dari berbagai segi. Terutama ada anggapan bahwa film ini melanggengkan streotipe pada perempuan.

Sebagai film yang menarik perhatian publik, wajar kiranya jika kemudian beragam tanggapan muncul. Baik berupa kritik hingga pujian, salah satunya disampaikan oleh Joko Anwar. “Setting ceritanya cukup brilian. Sederhana tapi gigit,” tulis Joko Anwar.

Sebagai seorang sufi (suka film), sebuah anekdot yang kami gunakan sebagai legitimasi perilaku menonton yang kadang di luar batas, nurani penulis terdorong untuk ikut dalam perbincangan hangat film Tilik. Namun, sepertinya berfokus pada kerusakan ruang publik yang digambarkan film tersebut menjadi pilihan realistis bagi penulis, karena tidak memiliki kemampuan analisa mumpuni.

Truk Sebagai Moda

Sebelum lebih jauh, penulis ingin bercerita terlebih dahulu tentang moda transportasi. Sebab, poin tersebut menjadi bagian unik dalam film Tilik. Bagaimana tidak, penggunaan truk tentu menarik perhatian bagi sebagian besar penonton, terutama yang berasal dari kota.

Fungsi alat transportasi adalah memudahkan setiap orang untuk mendatangi satu tempat. Namun, fungsinya dapat bertambah menjadi ruang publik alternatif karena aktivitas masyarakat berkomunikasi di dalamnya.

Baca Juga  Muhammadiyah Selalu Independen di Tengah Polemik

Contohnya, di Banjarmasin. Angkutan kota (angkot) yang nasibnya hampir punah karena jumlah penumpang terus menurun, mendapatkan berkah dari pengajian di masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Dikarenakan angkot tersebut menjadi angkutan massal para ibu-ibu yang ingin hadir di sana.

Taksi Kuning, begitu masyarakat Banjar menyebut angkutan kota tersebut biasanya dicarter oleh sekelompok ibu-ibu untuk mengantarkan mereka ke pengajuan. Tidak saja sekali dalam seminggu, jadwal pengajian yang lebih besar bisa didatangi para emak-emak itu berkali-kali.

Menariknya, sepanjang perjalanan ke sebuah pengajian atau majelis taklim, para ibu-ibu juga sering bertukar informasi sampai gosip. Entah angkot atau truk yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai moda transportasi mereka dapat menjadi wadah mereka bertukar informasi.

Di sisi lain, dalam film Tilik, truk yang seharusnya dipergunakan sebagai angkutan barang malah difungsikan sebagai moda transportasi manusia. Namun, poin kesamaan dengan kasus angkot di Banjarmasin adalah sepanjang perjalanan ada perbincangan yang intens dalam kelompok ibu-ibu tersebut. Menariknya, dalam perjalanan yang tidak memakan waktu lama tersebut, masyarakat masih sempat bertukar banyak informasi.

Jika sebagian orang melihat perbincangan ibu-ibu di truk Gotrek dalam film Tilik sebagai stereotipe terhadap mereka karena sering mengghibah atau menggosip. Maka penulis melihatnya sebagai bagian dari model komunikasi di masyarakat. Sebab, dalam setiap perjumpaan, entah itu laki-laki atau perempuan, menggosip adalah model informasi yang dipertukarkan.

Ada sekian banyak informasi yang sering diajukan sekaligus diterima pada lawan bicara. Kesemuanya itu sebenarnya hanya sebagian dari pertarungan wacana  di masyarakat sebagai pembentukan atau penjaga ingatan kolektif di masyarakat.

Ruang Ingatan

Oleh sebab itu, angkot atau truk yang dipergunakan oleh emak-emak di atas tidak lagi dimaknai hanya sebagai moda transportasi. Namun juga berfungsi sebagai ruang perjumpaan atau ruang publik. Sebuah ruang yang juga memilik peran dalam memuat ingatan masyarakat hingga menentukan identitas kolektif.

Baca Juga  Menggagas Jurnalisme Mazhab Kritis

Karena keterbatasan wadah atau waktu untuk berjumpa fisik dalam masyarakat modern, angkot atau truk menjadi ruang publik. Di mana semua orang dapat berbagi cerita, gosip hingga pandangan politiknya secara demokratis tanpa harus takut sensor atau intervensi. Namun, film ini sejatinya memperlihatkan kerusakan ruang publik . Di antaranya dikarenakan sesaknya gosip dan intervensi orang lain atas informasi.

Jurgen Habermas pernah menuliskan sebuah petuah, “Negara demokrasi yang sehat ditentukan oleh ruang publik yang sehat.” Dia mengimpikan sebuah ruang publik yang ideal, di mana masyarakat bebas berpendapat dan menyatakan sikap apapun, tanpa intervensi serta terbebas dari tekanan.

Namun, yang terjadi saat ini, ruang publik kita belum sampai pada tahapan yang ideal. Masih banyak anggota masyarakat yang belum dapat berpendapat dengan bebas, atau belum mendapatkan akses ke ruang publik yang netral.

Kerusakan ruang publik kita tentu berdampak pada identitas dan memori kolektif kita yang turut rusak. Hal ini disebabkan informasi yang terekam oleh publik adalah barang yang sudah rusak. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita aktif dalam memperjuangkan menghadirkan ruang publik yang sehat dan  jauh dari informasi yang jahat.

Namun, penting untuk diingat, bahwa perbincangan dalam sebuah komunitas di sebuah ruang publik. Walau hanya obrolan di angkot atau truk, bisa menjadi wadah pertukaran informasi entah itu baik atau buruk. Tugas kita adalah menghadirkan ruang publik yang sehat, terbebas dari informasi satu corong saja, serta memunculkan beragam informasi sehat.

Jadi, bukan tugas kita menyalahkan kehadiran gibah atau gosip, namun kita juga bisa disalahkan karena gagal melawannya. Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Bu Tejo, “Dadi wong ki sing solutip ngono lo, yo.” (Jadi orang itu yang solutif gitu lo)

Baca Juga  Manusia Modern dan Peradaban Patriarki dalam Film Tilik

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin.

Editor: Sri/Nabhan

Supriansyah
5 posts

About author
Supriansyah sekarang bekerja sebagai peneliti di Kindai Institute Banjarmasin dan menetap di Banjarmasin. Dia menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Akidah Filsafat di IAIN Antasari Banjarmasin. Selain meneliti, dia juga sering menulis opini di berbagai media cetak dan daring, seperti Banjarmasin Post, islami.co, alif.id, dan detik.com. Dia memiliki minat kepenulisan dengan tema media, internet, studi kritis wacana hingga anak muda. Dia bisa disapa di akun media sosial, Twitter: @supribanjar atau Facebook: Supriansyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *