Ada berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia yang beragam. Ada yang berpendapat sejak abad ke-7, abad ke-12 , abad ke-13, hingga abad ke-14. Terdapat juga klaim ditemukannya makam orang Islam di Barus sejak abad ke-7. Jika sejak abad ke-7 Masehi saja sudah ditemukan makam orang Islam, lalu kapan masuknya Islam ke Indonesia? Menurut Buya Hamka, Islam masuk ke Indonesia sejak awal kenabian. Prabu Siliwangi dan Raden Patah memiliki peranan penting dalam masuknya Islam ke Indonesia
Terlepas dari perbedaan pendapat masuknya Islam ke Indonesia, orientasi tulisan ini adalah data dari teori-teori tersebut karena tulisan ini hanya fokus pada ilmu sejarahnya. Negara kita ini sebetulnya tidak kekurangan orang pintar, hanya saja masih mental block. Terkadang jika sesuatu diucapkan bukan dari tokoh atau ustadz favoritnya, maka ilmunya ditolak begitu saja.
Masuknya Islam ke Jawa Barat
Orang yang pertama mendirikan Pesantren di Jawa Barat adalah Syekh Qura (Syekh Hasanuddin). Beliau berasal dari Negri Champa/China, tinggal di Karawang dan mendirikan Pesantren di Rengasdengklok. Beliau mempunyai santri, salah satunya Nyai Subanglarang.
Ajaran Islam dibawa oleh Syekh Qura (Syekh Hasanuddin) masuk ke Jawa Barat dengan mendirikan Pesantren di Rengasdengklok yang hingga kini masih ada. Menurut data dari KH. Said Aqil Siradj, nama Qura itu berasal dari kata qori karena suaranya sangat bagus dalam membaca al-Qur’an. Sedangkan menurut Ustad Adi Hidayat, nama Syekh Qura diambil dari tempat beliau belajar al-Qur’an ke Ummul Qura (Makkah).
Mendengar kabar Islam masuk ke wilayah kekuasaan Kerajaan Pandjadjaran. Prabu Siliwangi mendatangi Islam yang berada di Rengasdengklok Karawang. Sampai di pesantren Syekh Quro, ternyata ada santri yang sangat cantik bernama Nyai Subanglarang sedang membaca al-Qur’an. Tujuan Prabu Siliwangi yang tadinya mau menginterogasi Islam, justru jatuh hati kepada Nyai Subanglarang.
Singkat cerita, Prabu Siliwangi melamar Nyai Subanglarang. Syekh Qura sebagai guru dari Nyai Subanglarang memberi syarat pada Prabu Siliwangi jika ingin menikahi Nyai Subanglarang. Pertama, Prabu Siliwangi harus masuk Islam. Setelah setuju masuk Islam, Syekh Qura minta maskawinnya lintang kerti (tasbih). Namun di wilayah Nusantara tidak ada lintang kerti, adanya hanya di Makkah.
Bagi Prabu Siliwangi, mencari lintang kerti bukan suatu yang berat, konon beliau bisa terbang ke Makkah untuk mengambil lintang kerti tersebut. Tetapi ia gagal walau telah membaca mantra, menurut sebuah riwayat. Syekh Qura menegur Prabu Siliwangi yang sudah masuk Islam untuk membaca mantra diawali basmalah. Setelah membaca basmalah dan mantra, akhirnya dia terbang. Dari cerita ini, maka Islam masuk ke Nusantara tanpa kekerasan, tanpa perang, dengan toleran mengabungkan mantra terbang dengan bacaan basmalah (nilai Islam).
Asal Usul Sunan Gunung Djati hingga KH. Ahmad Dahlan
Setelah mendapatkan tasbih, Prabu Siliwangi kembali ke Syekh Qura dan terjadilah pernikahan antara Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang yang beragama Islam. Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang dikaruniai tiga anak penggerak dakwah Islam di Jawa Barat kelak, yaitu Walangsungsang (Abdullah Iman atau Prabu Cakrabuana), Rara Santang (Syarifah Mudaim), dan Prabu Kiansantang (Pangeran Sangara atau Syekh Rohmat Suci).
Walangsungsang dan Rarasantang pergi ke Makkah untuk haji, hingga Rarasantang bertemu dengan Syarif Abdullah dan menikah, dikaruniai anak bernama Syarif Hidayatullah. Setelah haji, nama Walangsungsang berganti menjadi Abdullah Iman. Saat ia pulang ke Nusantara, Abdullah Iman diberi daerah kekuasaan oleh ayahnya di Lemah Wungkuk/Caruban. Dari sini, Abdullah Iman mulai membimbing Desa Caruban.
Tak lama kemudian Rarasantang pulang ke Nusantara bersama dengan anaknya Syarif Hidayatullah. Rarasantang diberi daerah kekuasaan untuk membimbing di daerah Gunung Djati oleh ayahnya. Kelak, Syarif Hidayatullah dikenal juga sebagai Sunan Gunung Djati. Ayah Sunan Syarif Hidayatullah memiliki kakak bernama Maulana Ishaq. Dari Syekh Maulana Ishaq akan lahir keturunan pendiri ormas Islam di Indonesia, KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan.
Islam masuk ke Jawa Barat tanpa peperangan, tanpa kekerasan. Dengan kecantikan Nyai Subanglarang, Islam mampu menyebarkan Islam di wilayah Jawa Barat.
Masuknya Islam ke Jawa Tengah
Orang yang pertama kali membawa al-Qur’an di Jawa bernama Syekh Subakir di daerah Jepara. Di sana ada Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Ratu Shima. Walaupun Ratu Shima tidak masuk Islam, tetapi ia mempelajari isi al-Qur’an tentang keadilan. Ratu Shima terkenal dengan ratu paling adil oleh rakyatnya.
Pada suatu masa, Dinasti Tang China mengirimkan utusan untuk menemui Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Sampai di Singosari, utusan tersebut dipotong telinganya oleh Raja Kertanegara. Kaisar China marah, satu tahun kemudian Kaisar China mengirimkan pasukan kurang lebih 20.000 orang, yang dipimpin oleh tiga jendral muslim.
Saat Singosari sudah bubar dikalahkan, Kerajaan Doho Kediri yang hendak datang untuk balas dendam justru sudah tidak menemukannya. Bertemulah pasukan China tersebut dengan Raden Wijaya, memberi tahu bahwa Singosari sudah bubar digantikan oleh Doho Kediri. Terjadilah kerjasama antara Raden Wijaya dengan Pasukan China menyerang Doho Kediri. Singkat cerita, Kerajaan Doho Kediri kalah. Berdirilah Kerajaaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya/Brawijaya I .
Salah satu dari 600 istri Brawijaya V, keturunan Brawijaya I, bernama Dewi Retno. Dewi Retno mempunyai anak bernama Jin Bun. Namun karena di kalangan kerajaan Jin Bun kelihatan nakal, maka ia diusir oleh Kerajaaan ke daerah Ampel, Denta. Di daerah Ampel, Jin Bun yang konon akan bernama Raden Patah belajar agama Islam selama lima tahun kepada Sunan Ampel, kakak dari Syekh Murtaho dan keponakannya Abu Hurairah.
Dari Jin Bun Menjadi Raden Patah
Setelah belajar selama 5 tahun, Jin Bun berubah nama menjadi Raden Patah dengan semboyan ‘saya keturunan raja harus menjadi raja’. Raden Patah direstui oleh Sunan Ampel untuk mendirikan Kerajaan Demak Bintoro. Mendengar anaknya masuk Islam, Brawijaya V menghubungi anak yang bernama Arya Dillah untuk meminta pertimbangan. Tak disangka, Arya Dillah juga sudah masuk Islam dan berganti nama menjadi Fatahillah.
Rakyat jawa yang mayoritas pengikut Majapahit masih mengenal kasta-kasta, hingga rakyat jelata berucap ingsun saja tidak boleh. Kata ingsun hanya untuk para kelas atas, sedangkan rakyat jelatan bolehnya hanya menggunakan kawulo alit. Setelah Raden Fatah mendirikan Kerajaan Demak yang beragama Islam, dalam ajaran Islam diajarkan kulo niat ingsun. Mendengar ajaran Islam boleh menggunakan kata niat ingsun untuk semua kasta, beberapa rakyat Majapahit tertarik masuk Islam. Selama ikut Majapahit, rakyat jelata tidak boleh menggunakan kata ingsun.
Lama kelamaan, rakyat jawa pengikut Majapahit berbondong-bondong masuk Islam dan Kerajaan Majapahit kehilangan rakyatnya. Tanpa kekerasan, tanpa perang, rakyat jawa dengan sendirinya memeluk Islam. Saat Kerajaan Majapahit bubar, sementara Raja Brawijaya menyendiri di Gunung Lawu, menurut mitos. Masuknya Islam pada hati rakyat jawa terbantu dengan doanya santri yang diajarkan doa niat kulo niat ingsun.