Perspektif

Masyarakat Adat Kajang dan Budaya Modern

4 Mins read

Ruang kebudayaan merupakan perkara ultim dalam kehidupan manusia. Kebudayaan memiliki interaksi dengan manusia, juga sekaligus menjadi fondasi atau dasar segala sesuatu yang bersangkutan dengan proses hidup manusia.

Manusia yang menciptakan kebudayaan, namun kemudian kebudayaan yang membentuk manusia (Maran, 2007). Hal demikian didukung pula oleh kemajuan kehidupan manusia saat ini yang identik dengan perkembangan teknologi dan gaya, serta pola hidup modern, sehingga corak budaya tradisional lambat laun mengalami proses degradasi.

Kendati demikian, di tengah arus globalisasi, masih terdapat beberapa kelompok atau lembaga masyarakat, khususnya komunitas-komunitas adat di suatu wilayah yang masih mempertahankan kebudayaan lamanya dari generasi ke generasi.

Suku Adat Ammatoa Kajang

Salah satu komunitas adat yang masih bertahan sampai pada era modernisasi seperti saat ini adalah komunitas atau suku adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Masyarakat adat Ammatoa Kajang sering disebut dengan “To Kajang”, artinya adalah orang Kajang. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang masih menjaga dan merawat pesan filosofi nenek moyang mereka yang tertuang dalam “Pasang ri’ Kajang”.

Di dalamnya tertuang pesan agar selalu hidup dengan nilai kebudayaan yang dianut. Pesan lainnya adalah agar menjaga diri dari intervensi kehidupan luar, seperti pola kehidupan budaya populer sebagai hasil produksi dari arena modernisasi.

Pasang merupakan sistem pengetahuan tradisional masyarakat Ammatoa yang ajarannya dipercaya bersumber dari Turie* A’rana (Tuhan) yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak generasi Ammatoa I (Too Mariolo) dan wajib diamalkan oleh setiap warga masyarakat.

Ammatoa sebagai falsafah hidup untuk kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya. Lambang ketaatan terhadap isi Pasang diwujudkan dalam kesederhanaan hidup yang dalam istilah setempat disebut pola hidup “Kamase-masea”. Hidup sederhana dan pasrah pada kesederhanaan merupakan hakikat dan inti dari Pasang (Disnawati, 2013).

Baca Juga  Rakry-Indy Dalam Belantara Media Sosial

Salah satu tata nilai yang termuat dalam Pasang adalah prinsip dalam berpenampilan. Misalnya keharusan bagi seluruh masyarakat adat maupun para pengunjung kawasan adat untuk mengenakan pakaian berwarna hitam. Konon, adat tersebut sebagai simbol kesetaraan, dan tidak menggunakan alas kaki sebagai penanda bahwa tidak ada jarak antara manusia dengan alam.

Sehingga, dari sana, manusia dan alam mampu saling berinteraksi. Adat tersebut juga sebagai bentuk maklumat, bahwasanya masyarakat adat Kajang tidak menghendaki intervensi dari luar (kehidupan modern).

Senada dengan itu, Judi Bary dalam “Ekologi Revolusioner”, menamai kedekatan manusia dengan alam sebagai fenomena biosentris atau ekologi dalam, yakni alam tercipta bukan untuk melayani manusia.

Lebih dari itu, ia hadir dan bersama dengan manusia. Kendati demikian, apa yang diistilahkan Bary memiliki keterkaitan dengan prinsip budaya masyarakat Adat Kajang yang terelaborasi dalam nilai kesederhanaan (kamase-masea) dan turut mendukung atensi serta empati masyarakat terhadap alam.

Kajang dan Kesehatan Modern yang Kontradiktif

Kesederhanaan sebagai pola utama kehidupan merupakan perkara yang terbilang sangat jarang digeluti manusia pada model kehidupan saat ini. Seperti kita ketahui bersama bahwa zaman yang kita hadapi dewasa ini merupakan zaman yang bergerak ke depan (modernisasi).

Perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat merupakan ciri mendasar dari proses modernisasi. Modernisme sebagai proses kemunculan industrialisme, kapitalisme, dan pengawasan yang mengacu kepada bentuk-bentuk kultural manusia yang terikat dengan modernisasi.

Proses modernisasi tentu meniscayakan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan masyarakat, baik dari segi ekonomi, pembangunan, hingga kesehatan.

Pada dunia kesehatan modern, proses perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Hal demikian tergambar melalui seperangkat alat kesehatan canggih yang berbasiskan teknologi. Tak hanya itu, kesehatan modern pun mendemonstrasikan cara hidup sehat bagi masyarakat. Seperti anjuran untuk memakai alas kaki (sandal dan sepatu) agar terhindar dari pelbagai penyakit.

Baca Juga  Peran Masyarakat Menyelesaikan Problem Ketimpangan

Anjuran tersebut tentu menuai kontroversi dan polemik bagi masyarakat khususnya adat Kajang yang memiliki kebiasaan tersendiri untuk tidak menggunakan alas kaki. Interelasi adat atau budaya Kajang dengan kesehatan modern sampai titik ini tampak kontradiktif.

Dalam pandangan sosiologi budaya, masyarakat dan kebudayaan dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat akan mengalami perubahan ataupun reproduksi budaya (Ritzer, 2012).

Dalam proses perubahan dan reproduksi budaya, tidak terlepas dari adanya berbagai faktor yang memengaruhinya. Adanya perubahan dan reproduksi budaya dalam suatu masyarakat akan berpengaruh juga terhadap perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang terkait. Seperti halnya budaya masyarakat adat Kajang dan kesehatan modern yang keduanya membangun pola interelasi kontradiktif.

Bourdieu, dalam sosiologi budayanya, menganalisis produksi dan reproduksi budaya. Dengan menggunakan konsep tentang habitus dan arena serta hubungan dialektis antara keduanya, ditemukan proses interelasi antara masyarakat adat Kajang dan kesehatan modern.

Budaya Lokal dan Modern

Beberapa jurnal penelitian dan artikel ilmiah lainnya menjadikan budaya lokal sebagai objek kajian. Namun, sebahagian hanya berhenti pada gambaran kebudayaan lokal. Hanya sedikit yang membahas tentang tantangan budaya lokal di tengah arus modernisasi, serta solusi demi keberlangsungan budaya lokal.

Pada dasarnya, corak kehidupan modern memiliki dua makna. Meminjam sekaligus mengafirmasi perkataan Nurcholish Majid tentang modernisasi, di satu sisi gaya hidup modern lebih bermakna kepada westernisasi. Sementara, di sisi lain bermakna sikap modern yang lebih kepada cara berpikir dinamis.

Prinsip Kamase-masea dalam budaya masyarakat adat Kajang terejawantahkan dalam bentuk sikap hidup bergelimang kesederhanaan dan lebih menjurus kepada penolakan terhadap budaya modernisasi yang kebarat-baratan. Akan tetapi, tetap bercorak modernisasi sebagai bentuk sikap berpikir yang dinamis.

Baca Juga  Rasisme Telah Mengoyak Kedamaian Hidup Manusia

Salah satu contohnya adalah masyarakat adat Kajang masih tetap membuka diri terhadap masyarakat luar tanah adat yang sering mengunjungi kawasan tanah adat. Hal demikian menunjukkan bahwa masyarakat adat Kajang tetap menjunjung tinggi kekerabatan antarmanusia.

Mempertahankan nilai-nilai budaya dan pola perilaku merupakan bentuk pelestarian budaya lokal yang sampai saat ini tak hentinya mendapat tekanan dan gangguan dari dunia luar. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan budaya modern dan globalisasi yang dikemas dalam berbagai bentuk media komunikasi dan informasi juga turut memengaruhi turunnya apresiasi masyarakat terhadap eksistensi kebudayaan.

Adanya proses urbanisasi dengan hadirnya masyarakat pendatang juga mengakibatkan hilangnya rasa kepemilikan terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki daerah tersebut.

Para pendatang lebih bangga terhadap nilai-nilai budaya dari mana mereka berasal, dan berupaya untuk mengembangkan di tempat yang didatanginya. Sehingga, lambat laun kebudayaan pendatang tersebut kemungkinan bisa dapat lebih berkembang dibandingkan kebudayaan asli daerah setempat.

Tak hanya masyarakat adat Kajang yang sampai hari ini mampu mempertahankan nilai-nilai budaya, beberapa masyarakat adat lainnya di Sulawesi Selatan juga melakukan hal yang sama. Namun, tak banyak yang mampu bertahan di atas gempuran kebudayaan modern. Oleh karenanya, kesadaran diri para generasi muda tentu menjadi syarat utama pelestarian budaya lokal di masa sekarang.

Editor: Lely N

3 posts

About author
Alumni Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds