Perspektif

Matinya Islam di Bali

2 Mins read

Semoga saja kalimat yang ada pada judul artikel ini tidak benar-benar terjadi. Saya begitu khawatir dengan perkembangan golongan Islam yang belum bijaksana dalam melihat perbedaan, khususnya orang Islam yang ada di Bali.

Begitupun seBaliknya, umat Hindu yang mulai resah dengan keberadaan orang-orang Islam. Rasa-rasanya, mereka harus membaca artikel saya yang berjudul Sejarah dan alasan Islam Diterima Masyarakat Bali pada portal ini.

Bagaimana Sebaiknya Beragama di Kalangan Minoritas?

Sewaktu saya mengikuti perkaderan IMM yang ada di Bali, seorang pemateri sempat menyampaikan perihal kehidupan muslim di Bali. Dengan bergelora dan penuh semangat, dia menyampaikan bahwa kita (umat Islam) ini bisa mati di Bali. Alasannya cukup simpel, yaitu beragama dengan tidak menggunakan kebijaksanaan

Apa itu kebijaksanaan yang dimaksud? Secara garis besar, saya memahaminya dengan berpikir yang kontekstual serta bersikap toleran. Kontekstual dalam artian mampu melihat kondisi sosial yang ada lalu menyelaraskan dengan teks-teks dalil yang ada. Adapun bersikap toleran adalah mampu menurunkan ego serta berdamai dengan perbedaan. Menurut beliau, dengan dua hal itu Islam akan terus eksis di Bali.

Jangan Terlalu Kaku

Sempat pemateri juga berkata bahwa ketika kita sangat berhati-hati di Bali, maka apapun yang ingin kita lakukan benar-benar akan sulit. Saya beri satu contoh supaya pembaca sekalian mengerti.

Ketika masa pembukaan acara DAMNAS, IMM Buleleng mengadakannya di gedung dengan gaya Bali, bahkan di dalamnya terdapat banyak spa.

Seperti pembaca sekalian ketahui, bangunan-bangunan di Bali kaya akan seni patung dan seni lukisnya. Nah, kalau saja teman-teman IMM kekeh dengan pendapat bahwa ruangan yang di dalamnya ada gambar dan patung tidak akan dimasuki malaikat, maka acara itu tidak akan pernah terlaksana. Pasalnya jarang sekali ada bangunan pemerintah yang tidak ada embel-embel patung dan seni lukisnya.

Baca Juga  Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Satu lagi, bila saya kekeh dengan dalil bahwa rumah tidak akan dimasuki malaikat karena ada anjing, maka sebenarnya rumah saya tidak pernah dimasuki malaikat. Ini dikarenakan anjing tetangga yang setiap hari bernaung di depan rumah. Tentu hal ini tidak bisa terelakkan, mengingat sekeliling saya adalah orang Hindu yang masing-maisng memiliki anjing. Bahkan ada yang lebih dari dua KK anjing per 1 rumahnya.

Melihat fakta-fakta tersebut, saya yakin pembaca sekalian sudah mampu memahami bagaimana kehidupan muslim di Bali. Dan mungkin hal ini hanya terjadi di sebagian kalangan muslim yang ada di Bali.

Sebagian lagi hidup dalam kelompok-kelompok umat Islam di satu wilayah. Maka dari itu Munculah fiqh minoritas oleh ulama kontemporer Yusuf al-Qardhawi, yang di mana isinya membahas tentang bagaimana muslim berkehidupan sesuai syariat dalam ruang minoritas.

Islam Itu Mudah dan Bisa Hidup di mana Saja

Seperti yang sudah di tuliskan oleh bapak Pradana Boy ZTF, bahwa agama Islam itu memudahkan para pemeluknya dengan berbagai kaidahnya.

Saya kembali ingin menegaskan bahwa Islam tak harus ada di bawah penguasa muslim untuk mampu beribadah. Jadi kita tak perlu repot-repot mendirikan negara Islam hanya sebatas ingin beribadah dan melaksanakan syariat Islam. Apalagi di bumi yang multi kultural seperti Indonesia, agaknya akan sangat sulit bila memaksa menerapkan nilai-nilai tersebut.

Cukuplah kita mempelajari sejarah umat masa lalu yang mampu berdialog dengan konteks zaman itu. Nabi mampu berdialog dengan kepercayaan masyarakat Madinah yang sangat beraneka ragam saat itu.

Sampai pada saat tercetuslah piagam Madinah yang berisikan perjanjian tentang hidup bernegara yang mampu diamini oleh berbagai pihak dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda.

Baca Juga  Sikap ke Palestina: Biden & Trump Sama Saja?

Bali Sebagai Role Model

Bali juga bisa menjadi role model bagi wilayah dengan rasa toleransi yang tinggi. Sudah menjadi pemandangan yang biasa bila umat Islam dan Hindu saling menjaga ketika masing-masing melaksanakan upacara keagamaannya.

Tak jarang juga mereka saling tegur sapa dan tukar doa ketika ada proses penguburan. Hal ini disebabkan karena pekuburan yang hanya dipisahkan tembok setinggi setengah meter saja.

Pada intinya sikap arif sangat dibutuhkan dalam beragama. Membuka mata dengan kondisi yang ada dan di sekitar dan kemudian di kontekskan dengan paham agama.

Editor: Yahya FR

Muhammad Iqbal
17 posts

About author
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Kader PK IMM Hajjah Nuriyah Shabran 2020
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *