Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, kata tersebut masih sangat ramai menjadi perbincangan di semua kalangan masyarakat terutama buruh. Aksi demonstran buruh yang dilakukan pada senin 20 Januari 2020 di depan Gedung DPR. Aksi kaum buruh itu merupakan salah satu upaya penolakan agar RUU Cipta Lapangan Kerja tidak disahkan.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI menyatakan ada sembilan alasan untuk menolak draf tersebut. di antaranya (katadata.co.id, 2020) hilangnya ketentuan upah minimum kabupaten/kota, masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian, Omnibus law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.
Selanjutnya, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar peraturan dihapuskan, aturan mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif, lalu Omnibus Law Cilaka dianggap akan membuat karyawan kontrak sulit diangkat menjadi karyawan tetap, kemudian penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar, mempermudah PHK serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh.
Poin yang disampaikan KSPI merupakan problematika yang sering disampaikan aksi buruh setiap 1 Mei Hari Buruh Internasional atau yang disebut May Day. Dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, justru membuat kesejahteraan buruh semakin tertindas.
Niat pemerintah mengusulkan Omnibus Law bertujuan untuk mempermudah investasi dengan memotong regulasi yang menyulitkan investor. Namun pemerintah tidak memperhatikan dari sisi kemanusiaan kaum buruh. Jika penguasa dan pengusaha bersatu dalam ketidakadilan, maka kaum buruh akan terus tertindas.
Sisi Lain Masalah Kaum Buruh
Definisi angkatan kerja menurut Sumarsono (2009) adalah bagian penduduk yang mampu dan bersedia melakukan pekerjaan. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (2010), angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2019 berjumlah 136,18 juta orang. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 2,24 juta. Penduduk yang bekerja berjumlah 129,36 juta, angka pengangguran berjumlah 6,82 juta, dan jumlah buruh / karyawan / pegawai sebanyak 50,62 juta orang (BPS, 2019).
Menurut data tersebut, memang jumlah pengangguran di Indonesia versi Badan Pusat Statistik telah mengalami penurunan yang signifikan. Tetapi setiap tahun selalu ada penambahan sekitar satu hingga dua juta penduduk setiap tahunnya.
Dari data di atas jumlah angkatan kerja berusia muda (19-24 tahun) berjumlah 21,53 juta atau sekitar 6,3%. Jumlah yang banyak bagi angkatan kerja usia muda. Persaingan antara angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan cukup ketat. Baik angkatan kerja muda ataupun bukan, ini disebabkan banyak pengusaha yang menentukan persyaratan sama untuk semua angkatan kerja.
Ada beberapa catatan penulis yang merupakan ketidakadilan bagi angkatan kerja muda. Pertama, angkatan kerja muda cenderung sulit mendapatkan pekerjaan karena syarat yang ditentukan oleh perusahaan cukup berat.
Banyak perusahaan yang memiliki syarat calon pekerja adalah orang yang sudah berpengalaman bekerja minimal satu tahun. Sedangkan banyak angkatan kerja yang baru lulus SMK sederajat dan belum mempunyai pengalaman kerja.
Walaupun beberapa perusahaan tidak mencantumkan syarat harus berpengalaman kerja, terdapat persyaratan lain yang memberatkan seperti minimal tinggi badan minimal 170 cm atau nilai ujian nasional dengan rata-rata minimal nilai tujuh. Ini cukup memberatkan karena banyak persyaratan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga yang terjadi adalah meningkatnya angka pengangguran.
***
Kedua, sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) yang berkepanjangan. Ini sering terjadi di beberapa perusahaan yang melakukan sistem PKWT “abadi” dengan melakukan cleansing data setelah 2 tahun bekerja. Karena menurut UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 59 ayat 3, PKWT paling lama hanya dilakukan selama 2 tahun.
Tentu sistem PKWT ini sangat merugikan pekerja, terutama angkatan kerja muda. Karena PKWT tidak bisa mendapatkan fasilitas seperti pekerja yang berstatus “karyawan tetap”. Pekerja PKWT dapat di PHK kapan saja tanpa uang pesangon yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Kedua catatan tersebut banyak ditemukan oleh angkatan kerja muda yang sedang mencari pekerjaan ataupun sudah bekerja. Belum lagi perihal pungutan liar yang sempat penulis singgung di tulisan sebelumnya (lihat kartu pra kerja : efektifkah atasi pengangguran, Ibtimes.id). Tidak sedikit calon pekerja harus membayar tiga hingga enam juta rupiah kepada oknum agar lulus seleksi dan diterima sebagai karyawan kontrak.
Kejadian ini harus diperhatikan pemerintah sebagai pemangku kebijakan, karena masih banyak perusahaan yang nakal tidak mematuhi regulasi yang telah diterbitkan pemerintah baik pusat ataupun daerah.
Menunggu Keberpihakan Pemerintah
Setiap tanggal 1 Mei, tidak sedikit pekerja/buruh yang berharap agar pemerintah dapat memperhatikan mereka dengan kebijakan yang pro terhadap masyarakat khususnya pekerja/buruh. Setiap kali mereka turun aksi tuntutannya selalu sama tetapi tidak pernah dikabulkan oleh pemerintah.
Jika pemerintah akan berpihak kepada buruh, pemerintah harus melakukan beberapa hal yang menurut penulis akan memilik dampak besar terhadap dunia tenaga kerja. Pertama, pemerintah harus membuat regulasi terkait syarat calon pekerja yang akan melamar di suatu perusahaan, regulasi yang dibuat harus sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi di lapangan.
Contohnya jika Ujian Nasional dihapuskan, maka pemerintah juga harus melakukan tinjauan kepada perusahaan yang masih memakai nilai Ujian Nasional sebagai syarat para calon pekerja. Selain itu jika perusahaan tetap ingin syarat berpengalaman diberlakukan. Perusahaan dan pemerintah wajib untuk menyediakan pelatihan sesuai keahlian yang dibutuhkan.
Kedua, Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan yang nakal dengan memberikan sanksi kepada yang bersangkutan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003. Sehingga tidak ada lagi istilah “PKWT abadi” ataupun pelanggaran perusahaan lainnya yang merugikan pekerja/buruh khususnya pekerja usia muda.
Sebetulnya jika pemerintah ingin berpihak kepada pekerja/buruh, pemerintah cukup melaksanakan regulasi yang ada secara efektif dan juga tegas, sehingga penyerapan tenaga kerja dapat dilakukan secara maksimal. Daripada membuat aturan baru yang justru mendukung pengusaha untuk menindas kaum buruh.
Besar harapan penulis jika pemerintah dapat memaksimalkan UU Nomor 13 tahun 2003 serta menghapus pasal bermasalah dalam RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai tanggung jawab pemerintah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Selamat Hari Buruh Internasional.