Hazairin Pangeran Alamsyah Harahap atau biasa dikenal Hazairin bukan nama yang asing bagi masyarakat Indonesia. Terutama bagi para peminat atau pemerhati hukum, baik hukum umum maupun hukum Islam. Dia adalah salah seorang tokoh yang memelopori adanya pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Gelar ”Pangeran Alamsyah Harahap” didapatkannya ketika menjadi peneliti hukum adat Tapanuli Selatan.
Hazairin
Hazairin seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat pertama dari kalangan putra Indonesia. Lahir di Bukittinggi, 28 November 1906, putra dari Zakariya Bahri. Kakeknya adalah seorang ulama dan muballig asal Bengkulu. Pendidikan Agama sudah diperoleh Hazairin sejak kecil di lingkungan keluarga.
Kemudian ia menjalani pendidikan formal pertama di HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu 1920. Melanjutkan di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang pada 1924, kemudian meneruskannya lagi ke AMS (Algemene Middlebare Schooal) di Bandung 1927. Dan ia melanjutkan pendidikannya di Rechtskundige Hodeschool (Sekola Tinggi Hukum) di Batavia, lulus serta meraih gelar doktor di bidang hukum adat pada 29 Mei 1936.
Bakat dan intelektual Hazairin yang begitu luas membuatnya terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1946–1950, ia diangkat Pemerintah RI menjadi residen Bengkulu sekaligus menjadi wakil gubernur militer Sumatera Selatan sampai 1953.
Pada tahun 1953, Hazairin diangkat menjadi pegawai tinggi yang bertugas sebagai kepala bagian hukum sipil/perdata pada Kementerian Kehakiman. Setahun kemudian, dari Agustus 1953 sampai Oktober 1954, ia diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sostroamidjojo – Wongsosuseno – Muhammad Roem.
Kritik Teori Snouck Hurgronje
Suatu hal yang patut dicermati, sosok Hazairin dikenal sebagai orang yang menekuni pendidikannya di lembaga pendidikan umum. Ia tidak pernah tercatat belajar secara formal pada lembaga pendidikan Islam. Akan tetapi, justru ia mampu menjadi seorang pakar hukum Islam terkenal. Hal lain yang sangat penting untuk diketahui, nama Hazairin lebih populer di dunia perguruan tinggi (dunia ilmiah), ketimbang kiprahnya di pentas politik sebagai seorang politisi.
Tokoh yang mendapat gelar kehormatan dari Tapanuli Selatan ini adalah seorang yang begitu gigih di garda depan menyuarakan dan membela hukum Islam agar bisa dilaksanakan di bumi Nusantara. Hazairin tampil dengan suara keras mengritik teori Receptie Snouck Hurgronje yang diberi cap sebagai “teori Iblis.”
Ia juga mengritik usaha-usaha Hurgronje untuk menggusur eksistensi hukum Islam di bumi Indonesia. Karena dengan cara demikian, secara perlahan-lahan, akan menggerogoti wewenang Peradilan Agama. Menurut Hazairin, teori Hurgronje tersebut menghalang-halangi berlakunya hukum Islam di Indonesia seraya mengajak umat Islam untuk tidak mematuhinya. .
Membuka Pintu Ijtihad
Hazairin juga berusaha keras menggedor pintu Ijtihad yang sudah lama dikunci oleh umat Islam. Dia mengkritik sikap taklid ulama yang menjadi penyebab utama kebekuan pemikiran fiqh. Menurutnya, hukum fiqh diproduksi oleh para pakar hukum yang bekerja di belakang meja, bukan oleh praktisi hukum di lapangan, sehingga akibatnya fiqh tidak berkembang.
Dalam pandangan Hazairin, para ulama seolah-olah menganggap kitab-kitab itu begitu suci dan keramat, sehingga mampu menggantikan kedudukan al-Quran. Hanya dengan menghilangkan taklid dan membuka pintu Ijtihad, menurut Hazairin, umat Islam di Indonesia dapat dengan mudah dan sempurna mempertautkan hukum adat dengan kehendak Ilahi.
Mencermati kebekuan hukum fiqh, Hazairin mengatakan bahwa manusia tanpa sengaja telah menambah rukun iman, yakni beriman kepada Ulama masa lalu. Padahal pemikiran mereka itu tidak dapat menjamin kekal dan aktual sepanjang zaman. Ini berarti kelambatan berlakunya al-Qur’an di semua lini, tempat, dan zaman.
Mazhab Indonesia
Fiqh yang ada sekarang ini, menurut Hazairin, perlu dikaji ulang. Ia mencontohkan, kitab-kitab yang kita pelajari sekarang di Indonesia adalah kitab-kitab fiqh yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, merupakan ekspresi kultur di sekitar Timur Tengah. Selain sudah tua, kitab-kitab yang kita pelajari itu mengandung ekspresi Timur Tengah. Artinya, kitab-kitab fiqh itu bersifat partikularistik, lokal, dan bukan universal.
Maka dari itu, Hazairin menggagas pembentukan “Mazhab Indonesia.” Yaitu mazhab yang sesuai dengan soiso-kultural bangsa Indonesia dan kebutuhan zaman. Ia tampil memformulasikan pikiran-pikiran segarnya yang disesuaikan dengan watak dan budaya masyarakat Indonesia dan mengajukan berbagai konsepnya. Mulai dari bidang perkawinan, bidang kewarisan, pidana Islam, politik, hingga demokrasi Pancasila, dan lain-lain. Kesemuanya itu hasil pikiran-pikirannya yang ia tawarkan untuk memperkaya khazanah keilmuan Indonesia.
Mengenai bentuk Mazhab Indonesia yang diinginkannya, ia menyatakan bahwa mazhab ini adalah Mazhab Syafi’i yang diperbarui. Hazairin menyerukan agar pintu Ijtihad dibuka lebar dengan harapan akan lahir mujtahid-mujtahid Islam yang tangguh.
Pemikiran tentang Hukum Waris
Pemikiran Hazairin dalam hukum Islam antara lain mengenai asas bilateral dalam hukum kewarisan. Menurutnya, sistem kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam al-Quran adalah bilateral. Ia meyakini al-Quran anti kepada masyarakat yang unilateral, yakni masyarakat yang berklan-klan menurut sistem kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Jadi, al-Quran hanya meridlai masyarakat yang bilateral.
Keyakinan tersebut diperoleh setelah Hazairin mempelajari dengan seksama surat al-Nisa (4) ayat 23 dan 24, di mana ayat ini berbicara mengenai larangan-larangan perkawinan. Di dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang perkawinan cross cousins dan parallel cousins antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Hal ini mengandung makna bahwa tidaklah wajib melakukan perkawinan eksogami untuk mempertahankan klan (matrilineal dan patrilineal) dalam masyarakat unilateral serta tidak adanya larangan untuk melakukan perkawinan endogamy dalam klan atau usbahnya. Karena sistem kekeluargaan dalam al-Quran adalah bilateral, maka asas kewarisan yang merupakan bagian sistem kekeluargaan harus bilateral pula.
Tampaknya, ide itulah yang memotivasi diakomodirnya sistem bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni penempatan laki-laki dan perempuan secara serempak menjadi ahli waris. Seperti yang tertera dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam.
Tentang Ahli Waris Pengganti
Masih terkait dengan hukum kewarisan, Hazairin juga melontarkan pemikiran mengenai “Ahli Waris Pengganti.” Ide tersebut ia angkat dari perbendaharaan Hukum Adat Indonesia. Ide itu dianggap baru karena tidak ditemukan dalam hukum kewarisan versi fiqh. Hazairin dalam mengemukakan idenya didasarkan pada firman Allah surat al-Nisa ayat 33, “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. An-Nisa: 33).
Menurut Hazairin, bahwasanya terjemahan ayat tersebut adalah bahwa bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun. Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabun-nya. Jadi, bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti, bukan karena statusnya sebagai ahli waris yang memiliki hubungan langsung dengan si pewaris, tetapi semata-mata karena harta yang diterima itu sedianya merupakan bagian yang diterima ayah atau ibunya. Gagasan mengenai Ahli Waris Pengganti tersebut, juga telah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 185.
Pemikiran-pemikiran Hazairin terus dibicarakan dan diperbincangkan dalam berbagai kesempatan, baik oleh pemerhati hukum Islam dan hukum umum. Keinginan Hazairin untuk memperbaiki “wajah hukum” yang ada di tengah umat Islam Indonesia. Agar semaksimal mungkin disesuaikan dengan tuntunan al-Quran tanpa mengikuti adat istiadat masyarakat Arab yang tidak sesuai dengan budaya dan nilai yang hidup di Indonesia.
Editor: Arif