Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Perilaku manusia pada dasarnya selalu dinamis. Dalam konteks perkembangan modern, perilaku tersebut mengikuti tren global. Sehingga tidak heran budaya ‘westernisasi’ semakin berkembang dan massif dalam masyarakat. Budaya semacam ini cenderung memiliki pola perilaku mengikuti gaya hidup (life style) budaya barat dan dalam banyak bentuk dilakukan untuk memenuhi kehendak diri.
Namun persoalan justru menyeruak ke ranah publik tatkala dalam tren global tersebut ruang untuk eksistensi perempuan mengalami kemunduran akibat tumbuhnya perilaku bullying yang kerap dilakukan oleh sebagian pihak. Dan mirisnya, ruang global yang dinamis tersebut malah terus menciptakan gap yang serius dan justru makin melanggengkan kepentingan pihak lain (laki-laki). Sementara perempuan makin tereliminasi dari tren global.
Eksistensi Perempuan dalam Media Sosial
Pertanyaan pun muncul ditengah menyeruaknya kondisi semacam itu, bagaimana sebetulnya tren global dan perilaku masyarakat modern menempatkan kelompok perempuan dalam ruang global yang dalam banyak bentuk justru kelompok perempuan mengalami alienasi akibat perilaku kelompok lain (laki-laki utamanya) memanfaatkan ruang global tersebut untuk membully kelompok perempuan? Bukankah ruang global dan tren yang mengikutinya dimanfaatkan oleh semua pihak tanpa garis demarkasi, tetapi disisi lain justru kelompok perempuan terdegradasi dari ruang global tersebut?
Di sini sebetulnya kemunduran peradaban semakin kencang dan gencar dialami kelompok perempuan. Meskipun pada permukaan kelompok perempuan belum merasakan secara langsung, namun pada aras bawah kondisi tersebut makin menguat. Anehnya, hal demikian malah absen dari logika banyak orang.
Perilaku bullying yang kerap menghantui kelompok perempuan merupakan suatu masalah yang serius jika tidak tertangani dengan baik. Dalam perkembangan modern, perilaku bullying yang semula dialami perempuan dalam ruang sosial mulai menyasar tatkala media sosial hadir sebagai bentuk ekspresi diri manusia.
Persoalan berbalik, ekspresi diri melalui media sosial nyatanya tidak memberikan dampak yang baik bagi perempuan. Dalam media sosial justru keberadaan perempuan kerap mengalami perilaku bullying akibat perilaku sepihak kelompok laki-laki yang menanamkan egoisme diri.
Hal ini dapat kita temukan dari beragam kalimat yang sangat bersinggungan dengan pribadi perempuan sebagai individu yang bebas. Misalnya, hinaan fisik atau body shaming (mempermalukan tubuh). Yang dalam banyak bentuk, salah satunya kata ‘gemuk’ yang biasa dilontarkan kepada perempuan. Menyebarnya penggunaan kata seperti ini dari pihak lain menyebabkan perempuan tidak nyaman dalam menggunakan media sosial apalagi untuk mengupload foto dirinya.
Sementara media sosial sebagai ruang ekspresi diri manusia hadir sebagai media yang memberikan ruang kesetaraan dalam memanfaatkan kemajuan. Namun tidak untuk perempuan, dalam banyak bentuk justru merekalah korban dari kekerasan verbal dari kelompok lain. Kehadiran media sosial tidak memberikan kepastian terhadap kelompok perempuan namun justru mendekap mereka dibawah kendali kepentingan pihak lain (laki-laki).
Dengan sendirinya ruang media sosial tidak lagi menempatkan ruang yang sehat bagi semua pihak (terutama perempuan) tetapi justru diperuntukan bagi kelompok lain. Sedangkan kondisi yang dialami perempuan makin terdegradasi dari ruang dimana seharusnya mereka diakui sebagai individu dan kelompok sosial.
Penghambat Eksistensi
Persoalan bullying terhadap perempuan makin menambah ruwet tatkala media sosial sebagai corong pengenalan identitas diri (laki-laki dan perempuan) hadir tidak lebih sebagai ruang yang menyumbat eksistensi perempuan, sementara eksistensi laki-laki langgeng dan bahkan melampaui hal apapun dalam media sosial.
Hal ini terjewantahkan dari beragam gambar atau foto bahkan video yang muncul di tengah media sosial seperti gambar aurat tubuh perempuan. Sementara tubuh menjadi identitas diri seorang perempuan, alih-laih malah dijadikan sebagai sebuah tontonan banyak pihak. Hal ini bukan saja menggerus keberadaan perempuan namun menghilangkan ruang ekspresi perempuan dalam ruang media. Mereka menjadi apatis bahkan murung menggunakan media sosial ketika gambar seperti itu muncul di media.
Anehnya persoalan demikian sangat jarang dan bahkan tidak kita sadari di media sosial. Sebetulnya dibalik perilaku semacam itu keberadaan perempuan dalam media sosial justru telah terdegradasi akibat kepentingan sepihak dari beberapa pihak. Kondisi ini hampir absen dari logika masyarakat modern, bahkan tidak pernah dibicarakan dengan serius untuk menyelesaikan persoalan semacam ini.
Tetapi sebenarnya ada pihak yang dirugikan dari bentuk perilaku yang tidak mencerminkan ruang etis bagi pihak lain. Di sinilah sebetulnya kita makin menjauh dari logika kesetaraan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai bagian dari peradaban.
Perilaku bullying yang kerap dialami perempuan, baik di sekolah maupun media sosial merupakan bentuk kekerasan yang tidak mencerminkan ruang kesetaraan. Malah yang ada menciptakan ketergerusan terhadap perempuan sebagai individu yang membutuhkan pengakuan dalam ruang sosial.
Di sana dengan logika yang bersumbu pada egoisme diri sebetulnya pihak perempuan rentan mengalami kondisi yang kurang etis akibat perilaku pihak lain. Sekat dengan sendirinya tumbuh dengan kuat dan massif didalam masyarakat yang menyebabkan kelompok perempuan tidak bebas memanfaatkan ruang dimana seharusnya mereka bebas.
Ruang Global untuk Semua
Di sini saya pikir, sekat sosial yang seringkali dialami perempuan merupakan pengejewantahan dari menguatnya logika patriarki yang bersumber pada kehendak untuk mengunggulkan diri seraya menundukan pihak lain (perempuan). Mirisnya, kondisi semacam ini tumbuh subur di media sosial dan menjadi suatu hal wajar tanpa memahami bahwa ada pihak lain yang dirugikan dari perilaku sepihak tersebut.
Bagi saya, kondisi semacam ini lahir dari sempitnya pemahaman sebagia orang terhadap peradaban perempuan serta eksistensi perempuan sebagai pihak yang harus dilindungi dan ditempatkan dalam ruang yang sama.
Pada akhirnya, ruang global tidak hadir hanya untuk melanggengkan kepentingan beberapa pihak namun mengakomodasi semua pihak, terkhusus perempuan. Perempuan harus memiliki ruang yang sama bahkan harus diakomodasi tanpa ada perilaku yang menggerus mereka dari ruang dimana mereka berada. Untuk itu sekat sosial yang kerap menghantui keberadaan perempuan harus dipatahkan melalui logika yang bersumbu pada kesetaraan dan kebebasan bagi semua pihak.
*) Mahasiswa Prodi Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Saat ini aktif sebagai kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang–Komisariat Merdeka. Inisiator Komunitas Payung Literasi (Kopalter).
Editor: Nabhan