Perspektif

Belajar dari China: Strategi Jitu Menghadapi Corona

3 Mins read

Di tengah keseriusan pemerintah China mengatasi wabah virus Corona, banyak negara yang masih terkesan santai, bahkan bisa dibilang amat meremehkan. Misalnya reaksi pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Trump yang mengatakan, Amerika tidak mungkin terimbas wabah virus Covid-19. Demikian juga dengan negara-negara Uni Eropa. Beberapa pemimpin malah mendeklarasikan bahwa virus tersebut tidak berbahaya dan tidak akan sampai ke negara mereka.

Hal tersebut menjadi salah satu pemicu masyarakat apatis dan mengangap remeh persebaran virus Corona. Bahkan, ketika pemerintah sudah menetapkan bahaya virus Covid-19 ini, masyarakat masih banyak yang tidak mematuhinya. Seperti kasus di Italia, India, Amerika Serikat, dan banyak negara lain, termasuk di Indonesia. Ini karena sudah terlanjur dianggap lelucon, tidak serius.

Covid-19 Dianggap Remeh

Di Italia, India, dan Indonesia ketika dinyatakan hari libur untuk mengurangi interaksi antar manusia, banyak orang berbondong-bondong pulang kampung. Sedangkan di Amerika Serikat, bulan Maret adalah saat musim libur semester. Jadi, masyarakat telah menjadwalkan liburan jauh-jauh hari sebelumnya. Banyak pantai dan tempat wisata yang dipadati wisatawan. Dari sinilah terjadi penularan virus secara massal.

Setelah ribuan orang terjangkit, pemerintah segera menetapkan status tanggap darurat. Italia, Amerika, Malaysia, Spanyol, dan Perancis menetapkan lockdown bagi masyarakat di beberapa kota. Masyarakat pun mulai panik. Mereka memborong masker, hand sanitizer, juga sembako. Bahkan, di Italia, India, dan beberapa negara lain dikabarkan terjadi kerusuhan.

Arab Saudi sampai harus menghentikan jamaah umroh dan sedang mengevaluasi kemungkinan penundaan haji di tahun 2020. WHO telah memperingatkan jika potensi penyebaran Covid-19 sangat besar. Sehingga negara-negara di berbagai belahan dunia diminta mengantisipasinya. Ujungnya, akhir Februari 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pendemi Global.

Baca Juga  Ma Kyal Sin, Demokrasi, dan Restu Ayah

Respon Indonesia

Respon pejabat pemerintah Indonesia bisa dikatakan mirip Trump, Presiden Amerika. Meremehkan. Permasalahan kepanikan masyarakat maupun macetnya roda perekonomian mungkin menjadi alasan. Celotehan sebagian pejabat negeri ini yang mengatakan virus Covid-19 tidak akan bisa menyebar ke Indonesia karena udara panas, namun buktinya ribuan yang terkena.

Ada pejabat yang mengatakan virus akan mati jika musim penghujan reda. Bahkan, Wapres sebelum wabah mengatakan Indonesia kebal karena suka membaca qunut. Menteri lain mengatakan Indonesia tidak akan terjangkit karena suka makan nasi kucing. sikap meremehkan dan mengangap enteng wabah tentu bukan hal tepat.

Melihat kondisi perekonomian lesu, khususnya dunia pariwisata, pemerintah memberi stimulus ekonomi, dengan memberi diskon tiket pesawat dan juga subsidi bagi hotel maupun pengusaha didunia pariwisata. Bahkan menggaet influencer dengan mengelontorkan dana 72 milyar untuk menarik wisatawan. Keputusan yang ditentang para pekerja kesehatan dan akademisi. Di tengah negara lain waspada penyebaran virus, Indonesia malah memberi kemudahan bagi wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Banyak masyarakat di media sosial yang menyoroti, “bukan datang membawa uang, tapi membawa penyakit.”

Belajar dari China

Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dalam menangani wabah ini. Khususnya dari episentrum virus, yaitu China. Sejak awal virus ini menyebar, sekitar bulan Januari, pemerintah China sangat ketat. Mereka mengkarantina Wuhan dan memantau pergerakan orang dari perumahan, desa, kecamatan, bahkan sampai lintas negara. Dengan menggunakan teknologi, setiap orang dengan ponselnya diwajibkan mengupdate informasi kesehatan pribadi dan mobilitas perjalanan. Jika tidak sehat, maka dia harus berdiam diri dirumah.

Setiap mahasiswa mendapatkan surat resmi dari kampus. Surat itu berisi, mahasiswa harus patuh dan menaati aturan kampus bertanda tangan. Mahasiswa tidak boleh keluar kampus. Kecuali sangat mendesak, seperti pergi ke apotek atau belanja kebutuhan pokok. Itupun harus mendapatkan ijin.

Baca Juga  Covid-19: Menjadi Muslim Tanpa Masjid?

Pihak kampus selalu mengecek suhu badan dengan membagikan termometer kepada mahasiswa. Setiap pagi mereka harus melapor ke otoritas kampus. Soal kebutuhan pokok atau makan, kampus memfasilitasi restoran dan supermarket kampus tetap buka.

Setiap orang harus mengukur suhu badan ketika keluar rumah. Kebijakan keluar rumah diatur seminggu hanya 2 kali dalam satu keluarga. Satu orang yang keluar untuk membeli bahan pangan. Pemerintah mengerahkan tenaga medis ke central virus, yaitu di Wuhan. Pemerintah menggratiskan biaya sewa apartement dan listrik bagi daerah yang terdampak.

Strategi Ketat dan Disiplin

Masalah berita di China sangat tertutup dan hati-hati, di situ pemerintah menjaga kepanikan warga. Saat peningkatan jumlah penderita covid-19, masyarakat lebih disiplin. Masyarakat China patuh dengan aturan pemerintah. Kegiatan sekolah TK sampai Perguruan tinggi dilaksanakan dari rumah masing-masing secara online.

Pemerintah punya data sebaran virus. Di situ ada informasi (kasus baru, yang sembuh, yang meninggal, dan dugaan orang terpapar). Dokter dan kelurganya di jamin pemerintah selama Ccovid-19. Dokter ditempatkan di hotel selama Covid-19. Kementerian pertanian China menjamin ketahanan pangan. Ilmuwan China berlomba-lomba menemukan obat dan vaksin. Petugas kepolisian dan tentara tersebar di seluruh jalanan di China untuk mengamankan situasi.

Pemerintah China ingin meyakinkan kepada masyarakat bahwasanya pemerintah bisa mengatasi hal ini, melalui pembangunan rumah sakit, stimulus ekonomi, dan lain-lain. Tanpa harus menunggu ramai di media sosial. Dari situ, rasa percaya dan sikap optimis masyarakat kepada pemerintah tumbuh, pemerintah serius. Tidak ledha-ledhe, cengegesan atau gojek.  Suara pemerintah sangat diamini oleh rakyat China (kita tahu masyarakat China tidak bisa ngeyel ”protes”). Orang-orang kaya China dan punya duit, banyak yang mendonasikan untuk penanganan covid-19 dan membantu tetangga yang terdampak.

Baca Juga  Covid-19 Meluas, Kenapa Tidak Dilakukan Karantina Wilayah Saja ?

Sebagai negara komunis yang menerapkan sistem otoritarianisme, China dengan mudah mengkondisikan masyarakatnya. Sehingga kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat bisa dikendalikan. Bahkan, Kota Wuhan sebagai ibukota provinsi Hubei (pusat pendemi) di lockdown. Tidak ada yang protes.

Komunikasi krisis menghadapi pendemi Covid-19 berjalan dengan baik. Tidak ada kegaduhan antar pejabat pemerintah. Semua informasi satu pintu. Selain itu, tidak ada pemimpin maupun politisi yang sibuk mencari panggung. Begitu juga tidak ada pendukung pemerintah maupun oposisi yang sibuk perang tegar di media sosial.

Semoga wabah ini segera berakhir. Amin!

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Wakil Sekertaris PWM DIY, Mahasiswa Doktoral Universitas Shanghai, China
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *