Roehana jeli membaca situasi. Begitu lihat banyak orang berkumpul, ia akan mendatangi dan bersiap membacakan surat kabar atau buku di tangannya dengan suara lantang. Orang hanya bisa terheran dan berdecak kagum. Maklum, tak banyak anak perempuan yang mampu membaca dan menulis. Apalagi itu dilakukannya tanpa melewati pendidikan formal, sebagaimana kebanyakan orang terdidik.
Roehana tak menyadari, ulahnya yang dilakukan semenjak ia berusia 8 tahun adalah pangkal tumbuh jiwa Roehana selaku pendidik, yang diamalkannya lewat sekolah gadis Kerajinan Amai Setia dan diterakannya lewat surat kabar untuk perempuan Soenting Melaju. Dua hal yang kelak membuat Roehana disebut sebagai Suluh kaum Perempuan.
Siti Roehana adalah perempuan kelahiran Kotogadang, Minangkabau, Sumatera Barat. Ia anak pertama dari Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam, lahir 20 Desember 1884, bertepatan dengan tanggal 14 Shafar 1303, petang Ahad malam. Roehana memiliki lima saudara kandung dari satu ibu, dan 20 saudara tiri dari lima isteri ayahnya yang lain, karena Rasjad, ayahnya, menikah kembali setelah Kiam, ibu Roehana meninggal dunia.
Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, adalah saudara tiri Roehana yang berasal dari ibu yang lain bernama, Rabiah. Baik Roehana maupun Sjahrir bersambung saudara dengan Agus Salim, politisi sekaligus diplomat ulung. Ketiganya berasal dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk nagari dari puak Kato. Kakek Roehana dan Agus Salim, adalah dua bersaudara anak dari datuk Nagari.
Roehana Anak Ayah
Ayah Roehana yang berprofesi sebagai jaksa adalah pelaku rantau, seringkali karena tugas ia harus berpindah tempat tinggal. Mulai Alahan Panjang, Padang Panjang, Simpang Tonang Talu (Pasaman), Jambi, kembali ke Padang Panjang, balik lagi ke Jambi dan terakhir berlabuh di kota Medan.
Beruntung, selaku putri pertama, Roehana berkesempatan mengikuti ayahnya merantau semenjak berumur 10 bulan hingga 13 tahun, saat ibunya meninggal dan Roehana musti kembali ke Kotogadang mengasuh adik-adiknya. Roehana terbilang dekat dengan ayahnya, ia sering dijuluki saudaranya “Roehana anak ayah”, karena dianggap anak kesayangan.
Sedari kecil, memang sudah terlihat talenta Roehana yang berbeda dengan kawan-kawan seusianya. Ia gemar membaca buku dan surat kabar, menulis, serta berlatih kerajinan tangan sulam terawang. Semua dikuasainya dalam tempo yang cepat, meski tanpa bersekolah formal bahkan beberapa dipelajarinya secara otodidak. Kelebihan Roehana semakin mencolok saat ia berani menjadi guru kecil bagi teman, bahkan orang yang lebih tua darinya.
Roehana membuat sekolah ala Roehana kecil yang masih berusia 8 tahun, sedangkan ayahnya memenuhi kebutuhan alat tulis sekolah Roehana dan menyelakan waktu di malam hari untuk membacakan buku sastra di depan murid Roehana. Saat ditanya wartawan Api Pantjasila, yang sempat mewawancarai Roehana, yang saat itu telah berusia 82 tahun, Roehana mengakui bahwa ia tak pernah bersekolah untuk menjadi wartawan. Bahwa ayahnyalah yang mendidik Roehana dengan memberi surat kabar dan memesan buku jauh-jauh dari Singapura untuk dibaca, sedangkan bacaan itu ditulis dalam huruf Latin, Arab maupun Melayu.
Menikah dengan Abdoel Koeddoes
Usaha menjalankan sekolah digeluti Roehana sampai tak terasa ia telah berumur 24 tahun, padahal ia belum lagi menikah. Akhirnya, Roehana menikah dengan keponakan ayahnya yang bernama Abdul Koeddoes dengan gelar Pamuncak Sutan, putera Sutan Dinagari Laras Hoofd IV Koto, pada 1908.
Perkara menikah, Roehana memang tak berani keluar adat. Ia menikah dengan cara dijodohkan dan tetap pulang ka bako. artinya pihak perempuan dijodohkan dengan keluarga dari pihak ayahnya. beruntunglah Roehana mendapat suami seorang aktivis Insulinde. Abdoel Koeddoes adalah seorang berpendidikan hukum, tapi ia memilih menjadi seorang notaris independen karena tidak sudi bekerja pada pemerintah Belanda. Ia juga wartawan surat kabar Tjahaya Soematera yang gemar menulis di pelbagai surat kabar. Tulisan Abdoel Koeddoes memuat kritik dan bersifat memberontak pemerintah Hindia Belanda. Kelak, saat Roehana menekuni dunia surat kabar, Abdoel Koeddoes adalah orang yang mengoreksi tulisan Roehana agar enak dibaca.
Meski Roehana telah menikah, ia tetap mengajar dan mengurus sekolah. Sayang, orang justru melancarkan propaganda dengan menebar curiga, bahwa anak gadis mereka akan lupa mengurus pekerjaan rumah bila banyak menghabiskan waktu di rumah Roehana. Kepandaian baca tulis yang diajarkan Roehana, dikhawatirkan hanya berguna untuk menjalin hubungan dengan sinyo Belanda melalui surat.
Roehana dan suami juga dituding melibatkan muridnya dalam pergerakan politik, dan khawatir bila anaknya ditangkap karena dituduh melawan Belanda. Akibat hasutan, sampai-sampai muncul permintaan untuk menutup sekolahnya. Roehana lalu meninggalkan Kotogadang sementara waktu ke kampung Maninjau dan Padang Panjang selama tiga tahun.
Mendirikan Kerajinan Amai Setia
Pada 1911, ia kembali ke Kotogadang dan mendirikan perkumpulan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911. Sebagai permulaan, perkumpulan ini mendirikan sekolah untuk perempuan menggunakan rumah Roehana, yang diresmikan dengan mengundang pejabat Departemen Pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Hasilnya, sekolah KAS mendapat bantuan alat sekolah dan tenaga pengajar dari isteri pejabat Belanda.
Secara mengejutkan, penduduk yang dahulu mengecam sekolah Roehana, mendaftarkan anak mereka masuk sekolah KAS, bahkan ikut menyumbang alat tulis dan alat menjahit untuk kebutuhan belajar. Barangkali sekolah Kerajinan Amai Setia adalah master piece Roehana pada wilayah pendidikan.
Lewat sekolah KAS, Roehana Koeddoes ikut mempelopori home industry yang dikelola kaum perempuan. Bahkan hasil ketrampilan tangan anak asuh Roehana juga diikutkan dalam Internationale Tentoonstelling pada 1913 di Brussel, suatu ajang pameran hasil kerajinan rakyat yang diadakan setiap tahun, dan diikuti oleh peserta dari beberapa negara.
Pelopor Pers Perempuan Minangkabau
Roehana tak hanya memajukan kaumnya lewat pendidikan, karena bila hanya mengajar, perempuan yang bertambah pintar terbatas pada murid Roehana. Padahal ia ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan banyak perempuan. Surat kabar adalah jawabannya, ia meyakini bahwa surat kabar yang telah dibacanya semenjak kecil, sehingga ia menjadi cerdas meski tanpa bersekolah, adalah alat penyebar gagasan yang ampuh mempengaruhi fikiran perempuan.
Dalam anggapan Roehana, perubahan dapat dimulai semenjak dari fikirannya. Roehana mengibaratkan membaca surat kabar seperti meminum air laut. Semakin air diminum, justru semakin bertambah dahaga. Di Sumatera Barat memang bertebaran surat kabar. Usia pers di Sumatera barat relatif tua, semenjak 1859 telah terbit surat kabar bernama Sumatera Courant di Padang. Sayang sekali, maraknya surat kabar di Sumatera Barat tak diimbangi dengan keberadaan pers bagi kaum perempuan, meski tradisi Minang mengenal sistem matrilineal.
Akhirnya, Roehana berkirim surat pada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melaju, yang Roehana juga membacanya. Tertarik membaca surat Roehana, sampai sampai sang Datuk mendatangi langsung Roehana ke Kotogadang. Hasilnya, disepakati untuk menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Soenting Melaju di Padang. Soenting berarti “perempuan,” sedangkan Melaju dimaksudkan “tanah Melaju,” karena surat kabar ini diperuntukkan bagi perempuan di segenap tanah Melaju.
Roehana ditetapkan sebagai pemimpin redaksi surat kabar dengan redaktur pelaksana, Zubaidah Ratna Juwita, yang tak lain adalah anak Sutan Mahardja. Roehana tak perlu berpindah ke Padang, ia cukup mengirim tulisan dan mencari pembantu di lain daerah selain mengusahakan penulis perempuan, agar surat kabar tersebut benar-benar suara perempuan.
Pada 10 Juli 1912, Soenting Melaju terbit untuk pertama kali. Pada mulanya, Soenting Melaju terbit satu kali dalam sepekan. Beruntunglah Roehana, karena Soenting Melaju beredar hingga daerah Minangkabau, Sumatera, dan Jawa. Semakin Soenting Melaju dikenal, semakin banyak tulisan masuk dari kaum perempuan, bahkan SM memiliki koresponden hingga daerah Betawi dan Semarang.
Surat kabar ini memuat artikel, syair, tulisan sejarah maupun biografi tokoh. Roehana juga menambah isi korannya dengan berita dari luar negeri dan sejarah yang disadurnya dari majalah, buku ataupun suratkabar Belanda. Sedari awal, jamaknya orang Minang yang pandai bersyair maupun berpantun, Roehana juga suka dan mahir membuat syair. Selama sepekan, Roehana membuat dua tulisan yang dikirimkannya dari Kotogadang ke Padang.
Kebanyakan tulisan dalam surat kabar ini menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, entah untuk bekal mendidik anak, mahir mengurus keluarga, maupun hidup mandiri dan tak bergantung.
Rajin-rajinlah dan tetaplah hati saudara-saudara setiap hari menuntut ilmu. Karena ilmu itu telah bersendi kemajuan bagi pihak beberapa bangsa. Sungguh masa ini, sudah nyata abad ke-20 dan zaman kemajuan moga atas beberapa partij. Mulai laki-laki dan perempuan, sama akan dimajukan. Sebab kemajuan itu tak hanya pendapat pada pihak laki-laki saja. Pihak perempuan berkemajuan juga, bangsaku perempuan hendaknya juga dimajukan, jangan sekali ditinggalkan di belakang. Kepandaian itu amat berguna bagi saudara kami laki-laki juga perempuan. Sekali lagi anak perempuan harus terus disekolahkan.
Tulisan Roehana memang menggoyahkan peraturan adat yang mapan. “Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, merubah sikapnya mengenai perempuan”, kata Roehana ketika ditanya materi tulisan dalam surat kabar. Seakan menanti ajal, tak lama berdatangan surat-surat yang berisi caci maki, “jadi perempuan tak perlu banyak ulah, kenapa harus mencari perkara dengan pemikiran dan kegiatan yang tak penting.”
Soenting Melaju memang bukan surat kabar perempuan pertama di Indonesia, terdapat Poetri Hindia yang mendahului riwayat hidup SM, tetapi kepeloporan Roehana menjadi pembeda. Bila Poetri Hindia muncul atas prakarsa seorang lelaki bernama Tirto, yang telah menggawangi lebih dari 10 surat kabar, maka Soenting Melaju lahir atas inisiatif seorang perempuan bernama Roehana.
Sayangnya hanya satu, bahwa kelahiran Soenting Melaju justru disponsori oleh Datuk Sutan Maharadja, tetua pers tanah Minang, yang getol membela kaum adat hingga membuatnya kontroversial bahkan dijauhi ulama juga kaum pergerakan. Datuk Sutan Maharadja adalah seorang wartawan dengan tingkat chauvinisme tinggi. Pada tahun 1918, seorang pemimpin Jong Soematera Cabang Batavia menyebutnya sebagai “pianggang” (serangga penyengat), orang yang konservatif primitif, egois, penjilat atau pengejar bintang. Pemuda Mohammad Hatta menyebutnya sebagai pengkhianat. Oetoesan Melajoe bahkan disebut sebagai “fameuse likorgan” alias penjilat besar.
Kiprah di Luar Soenting Melaju
Riwayat Soenting Melaju berakhir setelah sembilan tahun terbit, pada 1921, karena jajaran redaksinya terlampau sibuk mengelola surat kabar lainnya. Roehana sendiri, tak hanya sibuk mengurus dan menulis pada Soenting Melaju. Menulis terlanjur menjadi urat nadi Roehana, bahkan saat Roehana kerap kali harus menjalani hidup secara rantau, ia tidak bisa lepas dari aktifitas menulis dan mengelola surat kabar.
Pada 1912, ia merintis Soenting Melaju, pada 1913 Roehana diminta untuk masuk dalam jajaran redaksi surat kabar Saudara Hindia, sebuah surat kabar dengan segmen pembaca umum, yang kebetulan terletak di Kotogadang. Tujuh tahun kemudian (1920), saat Roehana merantau ke Medan, sembari mengajar pada sekolah Dharma Putra, Roehana menulis pada surat kabar Perempuan Bergerak (PB).
PB bukan sembarang surat kabar. Yang luar biasa dari PB adalah keberhasilannya berjejaring dengan Europesche Vrouwen en Juffvroum (Forum Istri-istri dan Wanita (lajang) Eropa) untuk memberitakan kabar dan arus pergerakan feminisme di Eropa, sejak edisi Juni 1919. Dua dekade awal abad 20 adalah satu babak penting dalam pergerakan perempuan barat edisi pertama selain pada pertengahan dan akhir abad 19. Sebuah gerakan perempuan yang memilih fokus gerakan pada perjuangan hak suara bagi perempuan dan sedang menyaring gaungnya.
Sayang, hanya tiga tahun ia tinggal di Medan, dan berarti hanya sedikit waktu Roehana bisa bergabung dalam surat kabar Perempuan Bergerak. Roehana harus kembali ke kampung halaman untuk kali ketiga. Di sana ia diminta menjadi redaktur pada surat kabar Radio, yang diterbitkan Cina Melayu di Padang, sehingga lagi-lagi Roehana harus melakoni apa yang dahulu dilakukannya dengan Soenting Melaju: mengirim tulisan dari Kotogadang ke Padang. Selain itu ia juga menulis pada surat kabar Tjahaya Sumatera.
Roehana sempat tak disebut dalam sejarah, padahal Yayasan Kerajinan Amai Setia yang didirikannya masih bernafas hingga kini. Soenting Melaju memang tak lagi terbit dan telah tersimpan dalam bentuk mikrofilm di Perpustakaan Nasional. Tapi siapa bisa mengingkari, di situ semangat Roehana membuat surat kabar perempuan bermula, hingga ia dijuluki pelopor pers perempuan sekaligus menjadi salah satu pemula jurnalis perempuan.
Syair untuk Kaum Perempuan
Roehana berpulang, pada 17 Agustus 1972, saat berumur 88 tahun. Ia dikebumikan di pemakaman Umum Karet, Jakarta. Dua tahun setelahnya, Roehana mendapat penghargaan selaku wartawati pertama dari pemerintah daerah Sumatera Barat. Gelar Pahlawan mungkin tak penting bagi Roehana, ia sudah merasa puas bila perempuan mau mengamalkan syairnya,
Ayolah mari ke taman Sunting
Hamburkan benih yang penting-penting
Anyam menganyam, gunting menggunting
Halus dan kasar dahan dan ranting
Perempuan harus menggerakkan diri
Patutlah pula mengeluarkan peri
Penarah nan kesat nak hilang duri
Penghentian gunjing sehari hari
Akan menjadi tiru teladan
Anak padusi nak jan nyo edan
Ajak sekolah maju ke medan
Ajaklah hormat merendahkan badan.
Editor: Arif