Feature

Pak Jasrianto dan ODGJ

2 Mins read

Beberapa waktu yang lalu, saya berkenalan dengan Pak Jasrianto. Dia guru di Pondok Pesantren KH. Ahmad Dahlan Teluk Kuantan. Apa yang menarik dari sosok yang satu ini? Jika profesi sebagai seorang guru itu sudah lumrah, sudah biasa bagi para aktivis Muhammadiyah. Apa yang membuat Pak Jasrianto berbeda dengan yang lain adalah kedekatan dan aktivitasnya bersama Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Selama 12 tahun terakhir, Pak Jasrianto menjalani aktivitas rutin merawat dan menyantuni ODGJ yang ada di Teluk Kuantan dan sekitarnya.

Dari Pak Jasrianto, saya mengetahui bahwa dalam seminggu ia bisa menemui empat, enam, bahkan dua belas ODGJ dalam satu minggu. Semua dari mereka adalah orang-orang yang sudah terbuang dan tak menentu sandang, pangan, dan papannya. ODGJ yang ia temui kemudian diberi makan, dimandikan, digantikan pakaiannya, bahkan dipotongkan kukunya.

Salah satu pernyataan Pak Jasrianto yang saya suka, “Sedangkan jenazah saja kita urus, kita mandikan, masa orang dengan gangguan jiwa yang nyata-nyata masih hidup mau kita biarkan?” Ketika saya tanyakan mengapa ODGJ yang ia santuni, bukan anak yatim, Pak Jasrianto pun memberikan jawaban yang menurut saya perspektifnya sangat menarik. “Kalau anak yatim, sudah banyak yang kasih makan. Kalau mereka minta sedekah, sulit bagi orang lain untuk berkata tidak. Tapi kalau orang dengan gangguan jiwa, siapa yang mau kasih makan? Kalau bukan diusir, ya orang yang dimintai makanan itu yang lari.”

Saya juga menanyakan apakah dirinya tidak takut ketika mendekati ODGJ? Apakah tidak was-was jika nanti disakiti? Jawaban Pak Jasrianto bagi saya sangat melegakan karena mematahkan mitos tentang ODGJ yang selama dipandang sebagai orang yang berbahaya. “Selama saya mendekati ODGJ, belum pernah sekalipun saya disakiti. Was-was pasti ada, tapi kenyataannya sampai saat ini saya tidak pernah dicederai. Toh, orang-orang yang membunuh dan memperkosa di TV itu kan bukan orang gila, tapi justru orang yang waras. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih berbahaya?” tuturnya.

Baca Juga  Masjid Quba, Masjid yang Pertama Kali Dibangun oleh Nabi SAW

Sebagai seorang guru pondok pesantren, Pak Jasrianto sebenarnya tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan jiwa, ia pun tidak terpapar oleh psikoedukasi literasi kesehatan mental. Semua ia lakukan atas nama kemanusiaan dan kasih sayang pada sesama.

Bagiku, Pak Jasrianto adalah sosok yang istimewa. Di tengah rendahnya literasi kesehatan mental masyarakat, Pak Jasrianto memiliki perspektif kesehatan mental yang  cukup baik. Ia memandang kasus ODGJ secara lebih positif dibanding orang – orang lain di lingkungannya.

Apa yang dilakukan oleh Pak Jasrianto membuatku teringat pada sosok bernama Nanti, ODGJ yang ada di Baserah sekitar 20 tahun yang lalu. Nanti dengan pakaiannya yang compang-camping sering mondar-mandir di depan Kantor Camat Kuantan Hilir. Dia bahkan sering bermalam di teras rumah kosong yang letaknya persis di depan rumah dinas camat Kuantan Hilir. Tapi pada masa itu, pemerintah belum memiliki perspektif kesehatan jiwa sehingga Nanti tidak diacuhkan dan tetap dibiarkan berkeliaran. Aku bahkan yakin Nanti tidak diperhitungkan sebagai warga negara karena status kejiwaannya. ODGJ bukan urusan pemerintah, begitu kira-kira. Jangankan kehilangan hak sebagai warga negara, pada masa itu, ketika kita kehilangan akal sehat, kita pun seolah kehilangan martabat sebagai manusia.

Saat ini, Indonesia sudah memiliki UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014. Pemerintah sudah semestinya memiliki paradigma kesehatan jiwa dan tidak lagi menganggap ODGJ  sebagai ranah yang tidak harus mereka garap. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan mental, di samping meningkatkan literasi kesehatan mental masyarakat dan menghapus stigma negatif terhadap ODGJ.

Amanah dari undang-undang kesehatan jiwa belum semua dapat diamalkan, termasuk penyediaan layanan kesehatan jiwa hingga ke daerah-daerah. Meskipun tahun ini ada banyak daerah yang membuka formasi tenaga kesehatan Psikolog Klinis, namun Kabupaten Kuantan Singingi tidak termasuk yang mengajukan formasi itu. Jika belum mampu menyediakan layanan kesehatan mental yang terjangkau oleh masyrakat, aku berharap pemkab Kuantan Singingi memberi perhatian dan dukungan kepada pejuang kesehatan mental seperti Pak Jasrianto.

Baca Juga  Warrior dan Praktik Diskriminasi

Pak Jasrianto selama ini melakukan perawatan kepada ODGJ secara swadaya, sudah selayaknya usaha ini mendapat dukungan dari pemerintah. Pemerintah harus mau berinvetasi dalam ranah kesehatan mental, sebab kata Vikram Patel, “There is no health without mental health.” Tidak ada sehat fisik tanpa kesehatan jiwa.

Avatar
7 posts

About author
Penulis, Psikolog Muda.
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *