Oleh: Ashad Kusuma Djaya
Agama sesungguhnya mengajarkan kebaikan dan jalan untuk mencapai keselamatan manusia. Dengan agama seharusnya kehidupan manusia menjadi tertata, semakin baik, dan semakin indah. Namun, akhir-akhir ini muncul ungkapan bahwa sekarang ini agama sering menjadi sumber konflik. Saya membagi dua jenis konflik ini, yaitu konflik berlatar belakang agama dan berbungkus agama.
Konflik Berlatar Belakang Agama
Konflik berlatar belakang agama muncul dalam dua bentuk, yaitu konflik antar agama dan konflik intern agama. Konflik antar agama terjadi seperti kasus pembakaran masjid oleh suatu sekte Kristen, perusakan gereja oleh sekelompok umat Islam, pelarangan aktivitas peribadatan agama lain ketika perayaan Nyepi, dan semacamnya. Sedang konflik intern agama, seperti pelarangan pengajian Wahabi, perusakan mushalla MTA, perebutan pengelolaan masjid oleh kaum muslimin lainnya, dan semacamnya.
Sering kali yang ‘dituduhkan’ sebagai pemicu konflik seperti ini adalah adanya keyakinan-keyakinan intoleran terhadap pluralitas yang ada di masyarakat. Mungkin yang dituduhkan itu ada benarnya, tapi perlu kajian yang lebih detail terhadap tuduhan seperti itu tentang mana-mana keyakinan yang intoleran pada masing-masing agama. Sebab, jika kita terlalu mudah menuduh sebuah ajaran agama itu intoleran, maka mungkin pada akhirnya kita akan memaksa seorang yang beragama mengubah keyakinan agamanya untuk mencegah terjadinya konflik. Dengan kata lain, kita memaksa paham agama kita kepada orang lain dengan dalih menghindari konflik. Sifat otoriter yang tersembunyi ini menjadi penyakit yang ada dalam cara berpikir pengusung pluralisme.
Ide-ide pluralisme seringkali tampak kontradiktif dalam sifat otoriternya atas dalil menghindari konflik. Dalam satu sisi pluralisme mengajak untuk setiap orang menghargai pluralitas, namun di sisi lain pluralisme memaksa orang untuk tidak boleh memiliki keyakinan yang berpotensi menimbulkan konflik. Semua proyek pluralisme bergerak dalam usaha mengubah keyakinan yang dianggap menjadi sumber konflik menjadi keyakinan yang jauh dari konflik. Dalam ide-ide pluralisme, ajaran tentang jihad seringkali mendapat kritikan tajam atau diganti semangatnya menjadi jihad yang penuh kedamaian.
Konflik Berbungkus Agama
Konflik berbungkus agama adalah konflik yang sesungguhnya memiliki latar belakang faktor-faktor di luar persoalan keyakinan agama, namun dibungkus dengan isu-isu yang bermuatan agama sehingga menarik dukungan kaum agama untuk terlibat dalam konflik tersebut. Contoh konflik ini antara lain ialah konflik rebutan warisan pesantren yang kemudian meledak menjadi konflik antar aliran agama. Contoh lain adalah penggunaan isu konflik agama untuk mencari bantuan dana yang justru selalu menciptakan konflik-konflik agama agar bantuan dana terus mengalir. Di sisi lain konflik ini juga bisa berujud pengaburan perlawanan ketimpangan sosial disamarkan sebagai persoalan SARA yang anti kebhinekaan sehingga mereka yang menggungat ketimpangan ini dicitrakan sebagai orang-orang yang anti kebhinekaan.
Dalam agama, seperti halnya Islam, terdapat spirit keadilan yang menolak berbagai ketimpangan sosial. Agama memiliki kekuatan pembebasan atas setiap dominasi dan hegemoni, yang ketika agama diekspresikan dalam jati diri yang seperti itu lantas kekuatan-kekuatan dominan menuduhnya sebagai intoleran. Kekuatan-kekuatan dominan itu membangun citra bahwa ide-ide pembebasan dan penolakan terhadap ketimpangan adalah gagasan intoleran yang menjadi sumber konflik.
Melampaui Pluralisme
Perspektif pluralisme tidak mampu melihat sepenuhnya persoalan konflik. Sebab ia hanya fokus mempermasalahkan perbedaan pendapat namun tak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapatan yang tidak adil. Dibutuhkan pikiran melampaui Pluralisme yang bisa mengelola perbedaan pendapat sebagai kekayaan alternatif serta menjembatani perbedaan pendapatan dengan program penyantunan dan pemberdayaan. Ide-ide pembebasan yang menjadi ruh dasar agama adalah sumber nilai bagi penyantunan dan pemberdayaan itu.
Prinsip kerja melampaui pluralisme ini dijalankan dengan terus mengalobrasi gagasan keadilan agama dan melakukan objektivikasi ajaran agama dalam idiom-idiom yang objektif sehingga bisa diterima seluruh kalangan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dialogis dan keadilan.
Pendekatan dialogis dilakukan untuk mengurangi prasangka-prasangka yang kadang menimbulkan perasaan terancam, baik yang dialami kaum mayoritas maupun minoritas. Selain itu, pendekatan ini menjadi jembatan untuk merumuskan aturan hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh pemeluk agama. Melalui pendekatan ini akan terbuka berbagai alternatif kebijakan yang memberi solusi atas potensi konflik yang mungkin muncul. Pendekatan ini bisa dimulai dari suatu keyakinan bahwa sesungguhnya agama itu selalu bisa memberi inspirasi bagi pemecahan masalah kemanusiaan yang terjadi.
Selanjutnya, pendekatan keadilan menjadi suatu pilar penting dalam mengatasi potensi konflik. Pendekatan ini terwujud dalam penegakan hukum yang seadil-adilnya. Hukum harus bisa mengayomi seluruh anggota masyarakat, baik kaum mayoritas, dan minoritas. Jangan sampai ada diktator mayoritas dan tirani minoriotas. Semua sama di mata hukum.
*) Penulis adalah inisiator Gerakan Saatnya Sebar Solusi