MUI yang Gegabah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan Bandung Wetan mengeluarkan fatwa kontroversial mengenai “Penggunaan Masjid” Nomor 480/A/MUI-KB/I/2020. Fatwa ini langsung menjadi perbincangan di media social. Karena berisi himbauan untuk “memungsikan masjid-masjid” sebagai tempat ibadah.
Korban penggusuran Tamansari terkena imbas dari fatwa ini. Artinya, mereka dilarang untuk memanfaatkan bagian-bagian masjid selama masa-masa mengungsi berlangsung.
Dalam surat pengantarnya, dengan jelas disebutkan bahwa telah terjadi “penyalahgunaan fungsi masjid” akibat dari “Proyek Rumah Deret” Tamansari. Apa yang dimaksud dengan “penyalahgunaan” berkaitan dengan penggunaan masjid sebagai tempat beristirahat korban penggusuran?
Dalam Surat Pengantar Nomor 02/C.1.MUI/I/2020 tanggal 16 Januari yang ditandatangani H. Udja Surdja (Ketua Umum) dan H. Dadang Priatna (Sekretaris Umum) Dewan Pimpinan Majelis ‘Ulama Indonesia Kecamatan Bandung Wetan, diuraikan berikut:
“Sehubungan dengan telah terjadinya penyalahgunaan fungsi masjid yang berada di masjid Al-Islam RW 11 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan, dan hal ini terjadi dikarenakan dampak dari akan dibangunnya Proyek Rumah Deret yang berlokasi dimana masjid itu berada. Dengan keluarnya fatwa/penjelasan dimaksud, kami Majelis Ulama Indonesia/MUI Kecematan Bandung Wetan menganjurkan dan mengharapkan kepada seluruh Ketua Dewan Keluarga Masjid/DKM se-Kecematan Bandung Wetan untuk memungsikan masjid-masjidnya sebagiamana lajimnya/sesuai penjelasan/ fatwa MUI Kota Bandung, hal ini demi kemaslahatan dan kondusifnya umat”.
Bagaimana sebetulnya posisi masjid bagi urusan-urusan manusia dan lingkungan? Apakah masjid memang cuma sekedar “tempat ibadah salat”? Dua pertanyaan ini penting untuk dijawab. Sebab, dengan meningkatnya eskalasi kekerasan ruang hidup di kawasan urban dan pedesaan, fungsi masjid menjadi sangat vital bagi perlindungan hak-hak hidup manusia.
Masjid seharusnya justru menjadi tempat pertama yang memberi perlindungan bagi kaum miskin dan korban kekerasan negara. Tanpa fungsi radikal seperti itu, masjid hanyalah bangunan biasa.
Masjid Nabi: Suaka Bagi Orang Tergusur
Fatwa “Penggunaan Masjid” oleh MUI Bandung Wetan yang meletakkan posisi masjid sebagai “tempat ibadah salat” berpotensi mengacaukan makna masjid menjadi sangat sempit dan ahistoris.
Bahkan Nabi tidak pernah mengatakan masjid terlarang untuk urusan non-ibadah. Apalagi jika itu berurusan dengan orang-orang korban penggusuran. Andai Nabi melarang orang mengungsi di masjid, mengapa Nabi justru menyediakan tempat khusus bagi orang-orang yang tidak punya tempat tinggal di Masjid Nabawi yang disebut suffah?
Jelas konstruksi makna masjid sekadar tempat ibadah adalah upaya sangat bertentangan dengan prinsip pembelaan Islam terhadap kaum lemah.
Entah bagaimana makna masjid sebagai pusat ekosistem masyarakat muslim mengalami involusi makna dalam perkembangannya. Belajar dari desain masjid ala Nabi, masjid setidaknya harus terdiri dari dua bagian utama.
Pertama adalah bagian melaksanakan ritual salat. Kedua adalah suffah. Dalam perkembangan terkini, konsep suffah identik dengan selasar atau teras masjid yang biasanya digunakan musafir beristirahat.
Tapi suffah bukan sekedar selasar atau teras yang dikotomis dengan tempat salat. Barangkali lebih mudah membayangkan suffah sebagai keruangan khusus yang disediakan dan menjadi bagian dari masjid.
Karena Nabi mendirikan masjid Nabawi dalam skala kecil, suffah termasuk bagian masjid, bukan ekstra ruang seperti yang kita pahami saat ini.
Fungsi suffah yang paling utama adalah memberi naungan pada para sahabat Nabi yang tidak memiliki rumah. Mereka adalah rombongan yang turut serta maupun yang kemudian menyusul migrasi Nabi ke Madinah.
Ketika mereka tiba di Madinah, sebagian tidak punya tempat tinggal. Apalagi yang tidak punya relasi kekerabatan sama sekali dengan orang di Madinah. Meskipun rumah-rumah warga atau kaum anshor disediakan sebagai tempat mukim bagi rombongan itu, tetap saja jumlahnya terlampau banyak.
Maka, solusi dari Nabi yakni dengan memberi mereka tempat tinggal di masjid. Itulah spirit awal suffah masjid. Masjid Nabawi perlahan tumbuh sebagai pusat ekosistem masyarakat muslim di Madinah.
Dalam perkembangannya, suffah ini bahkan berevolusi menjadi konsep komunitas belajar yang pertama, dan dianggap sebagai cikal bakal konsep madrasah maupun universitas dalam tradisi Islam.
Fatwa Bisa Dilawan
Pada dasarnya, fatwa merupakan rekomendasi atau keputusan yang bersifat tidak mengikat. Fatwa bisa diterima atau tertolak oleh sebab-sebab karena justru mendatangkan bahaya dan ancaman.
Maka fatwa MUI Bandung Wetan mengenai Penggunaan Masjid itu bukan produk hukum final. Takmir masjid perlu kritis dan lebih berorientasi pada perspektif kepeduliaan sosial. Ketimbang mengikuti fatwa yang jelas-jelas justru menimbulkan masalah.
Apalagi fatwa itu sama sekali tidak disertai dengan jalan keluar bagaimana seharusnya mereka melindungi korban penggusuran. Apa bentuk solidaritas dewan masjid untuk korban penggusuran terutama bayi, anak-anak, perempuan, dan lansia? Maka fatwa ini jelas sama sekali tidak sesuai dengan prinsip maqashid Syariah.
Barangkali banyak yang tidak paham bahwa fatwa bukan produk yang mengikat dan tidak bisa dilawan. Apalagi terdapat dalil yang menunjukkan kerancuan fatwa. Selain sejarah kenabian mengenai fungsi masjid, dalam surat Al-Hajj ayat 40 Allah berfirman “Dan sesungguhnya Allah benar-benar menolong mereka itu, orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar..”
Potongan ayat 40 ini mengacu pada kondisi orang-orang yang hidup di tengah konflik sosial dan politik. Mereka diperbolehkan berperang karena menjadi korban pengusiran.
Kendati situasi naratifnya mengacu pada orang-orang yang harus berperang karena ditindas, ayat ini sebetulnya memperlihatkan bagaimana Allah menjamin hidup orang-orang yang terpinggirkan.
Dalam lintasan sejarah, mereka bisa siapa saja. Selama mereka menjadi yang terusir dari ruang hidupnya, maka Allah senantiasa menjadi penolong.
Fatwa MUI Bandung Wetan tentang Penggunaan Masjid ini adalah preseden buruk mengenai fungsi masjid. Sebetulnya, MUI atau dewan masjid yang berada tepat di tengah pusaran konflik urban harus taktis dan jeli memahami situasi.
Sebiasa mungkin tidak naif melihat persoalan. Penggusuran itu bukan sekadar isu penertiban atau modernisasi. Penggusuran juga bisa bermakna eksklusi sosial dan politik yang justru akan semakin sering terjadi di mana pun.
MUI dan dewan masjid punya banyak cara menempatkan posisi dalam dalam situasi konflik penggusuran. Sudah seharusnya turut serta memediasi persoalan warga, melindungi, dan memastikan tidak ada pelanggaran HAM. Atau setidaknya memberikan pendampingan dan dukungan moral.
Sebab, para pemuka sangat yang diharapkan berdiri paling depan dalam pembelaan kelompok mustad’afin justru akhir-akhir sangat lesu berhadapan dengan urusan manusia dan lingkungan.