Oleh: Alhafiz Atsari*
Pelabuhan Kuala Tanjung merupakan pelabuhan laut yang masih dalam proses pembangunan di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Indonesia. Pelabuhan ini ditargetkan menjadi pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia. Letak pelabuhan ini sangat strategis di mana terdapat perusahaan BUMN Pembangkit Tenaga Listrik Air (PLTA) dan peleburan aluminium yakni PT Inalum, PT Domba Mas dan PT Multimas.
Kehadiran pembangunan pelabuhan ini tentunya tidak terlalu mengejutkan masyarakat sekitar mengingat warga sudah hidup berdampingan dengan perusahaan besar seperti Inalum sejak medio 1970. Desa Kuala Tanjung sendiri merupakan salah satu pusat industri yang bakal berkembang dikarenakan integrasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei dengan pelabuhan tersebut. Produk-produk dari KEK Sei Mangkei akan secara langsung didistribusikan melalui pelabuhan tersebut.
Mantra Kesejahteraan Kuala Tanjung
Namun, di tengah laju pembangunan yang begitu pesat di Kuala Tanjung, apakah mantra-mantra kesejahteraan yang diumbar pemerintah telah dirasakan oleh nelayan dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari laut? Jawabannya tidak. Hanya secuil kecil saja masyarakat yang merasakan dampak pembangunan mega industri di kawasan tersebut. Faktor minimnya jenjang pendidikan yang dimiliki warga menjadi alasan utama terpinggirkannya mereka untuk bekerja disana.
Kita bisa menyaksikan pemukiman yang tertata yang berjarak sekitar 20 kilometer dari kawasan industri, fasilitas kesehatan dan pendidikan serta fasilitas publik lainnya yang sangat baik bagi para pekerja seperti di Inalum misalnya. Pada saat yang bersamaan, fasilitas dasar bagi keluarga nelayan dan masyarakat tentu sangat kontras.
Hal ini persis seperti yang digambarkan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) dalam buku Why Nation Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty di mana masyarakat yang hidup pada satu wilayah yang sama memiliki akses ekonomi dan politik yang jauh berbeda. Apakah semangat untuk mempercepat pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung hanya untuk mengakumulasi kekayaan bagi sekelompok orang? Atau justru memperbesar jurang ketimpangan dan meminggirkan kelompok nelayan kecil seperti Hernan Cortez mengekspansi penduduk Aztec pada abad ke-16 yang dengan ramah menyabut mereka?.
Tercerabut dari Laut
Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang umum dilakukan oleh sebagian penduduk asli Desa Lalang, Kuala Tanjung dan Kuala Indah. Kehadiran pelabuhan tersebut tentunya menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap aktivitas tangkap para nelayan khususnya nelayan tradisional dan kecil yang menggunakan perahun 5 PK atau 0-1 GT. Mereka melakukan aktivitas tangkap tidak lebih dari 1-3 mil di sekitar pelabuhan alur pelayaran kapal-kapal yang akan berlabuh atau pergi dari Pelabuhan Kuala Tanjung.
Kehadiran kapal-kapal pengangkut peti kemas yang melintasi area tangkap nelayan juga merugikan nelayan. Kerugian yang dialami nelayan biasanya diakibatkan tertabraknya jaring nelayan yang sudah ditabur di laut. Umumnya, rusaknya alat tangkap nelayan terjadi ketika kapal meninggalkan pelabuhan. Tidak ada pemberitahuan mengenai jadwal keberangkatan kapal menjadi masalah yang belum menemukan titik terang.
Kemudian, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl begitu masif di sekitar Selat Malaka yang juga merupakan daerah tangkap nelayan tradisional. Hal ini menyebabkan ruang tangkap mereka semakin terbatas. Pendeknya jarak tempuh nelayan yang menggunakan perahu 0-1 GT menyebabkan mereka hanya menggantungkan hasil laut di sekitar pesisir dengan harus berhati-hati dengan kapal-kapal peti kemas yang melintas. Ditambah larangan menangkap dan melintas di area yang telah ditetapkan oleh pengelola Pelabuhan Kuala Tanjung meskipun area tersebut potensial bagi nelayan.
Perluasan adalah Penggusuran?
Enam hari pasca pertemuan antara Wakil Gubernur Sumatera Utara dan Menteri BUMN yang khusus membahas percepatan realisasi Pelabuhan Kuala Tanjung, warga yang bermukim di Desa Kuala Indah memprotes sosialisasi pembebasan lahan untuk Pelabuhan Kuala Tanjung yang dilaksanakan di aula balai desa Kuala Indah. Warga menganggap sosialiasasi tersebut bersifat tertutup. Warga mencemaskan permukiman mereka di mana telah terjadi pengukuran sepihak.
Selain itu, terdapat 600 perahu yang bertambat labuh di desa itu dimana salah seorang nelayan rajungan sampai saat ini masih bisa mendapatkan 20-30 kilogram rajungan dalam sehari melaut. Dengan besarnya jumlah perahu yang bertambat labuh di desa tersebut, dapat dipastikan bahwa mayoritas 500 Kepala Keluarga (KK) berprofesi sebagai nelayan, juragan dan pengelola hasil perikanan.
Perempuan nelayan yang sehari-hari berprofesi sebagai pengumpul kerang di pinggir pantai mengkhawatirkan hilangnya lokasi tempat mereka mencari kerang sehari-hari. Dalam 2 jam, mereka mampu mengumpulkan kerang sebanyak 20 kilogram dan dijual dengan harga 3 ribu rupiah per kilogram. Peran mereka begitu penting ketika hasil tangkapan suami tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Berpikir Ulang
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berencana mengembangkan komoditas tanaman perkebunan; industri manufaktur yang terdiri dari industri makanan, minuman, dan industri karet; serta sektor perdagangan besar yang terintegrasi dengan kawasan industri Kuala Tanjung. Ada kebutuhan mendesak untuk membenahi kebutaan ekonomi mengenai pertumbuhan yang tanpa henti dan kita harus mengubah logika konsumerisme yang celaka ini.
Hal yang mungkin dilakukan adalah meredefinisi konsep-konsep seperti kemiskinan dan kekayaan dengan mendobrak lepas dari kategori-kategori ekonomi konvensional yang telah menghadirkan privatisasi dan sistem pasar atas sumber daya alam. Selanjutnya mendistribusi ulang sumber daya dengan memakai jejak ekologi sebagai tolok ukur keadilan. Lalu, merelokasi sistem produksi dan kewenangan pengambilan keputusan untuk membangun komunitas-komunitas lokal yang kuat dan partisipatif (Latouche, 2009).
*) Staf Advokasi dan Hubungan Internasional KNTI dan Pegiat Rumah Baca Komunitas.