Barangkali tidak banyak yang tahu jika tepat 107 tahun yang lalu, 3 Maret 1913 – 3 Maret 2020, Solo menjadi titik sentral konsolidasi Syarikat Islam, organisasi yang menyemai kesadaran nasionalisme.
Mas Marco
Salah satu teks klasik yang bercerita tentang Solo tempo dulu, saat diselenggarakan perhelatan bersejarah itu adalah novel romantika percintaan karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo. Sebuah novel yang ditulis tahun 1916, sewaktu penulisnya berada dalam tahanan pemerintah kolonial karena aktivitas politiknya.
Sebagai seorang penulis yang juga aktivis pergerakan, tentu saja yang ingin dikisahkan sesungguhnya adalah kemeriahan kongres kaum pergerakan. Namun dengan sangat apik, Mas Marco menulis dalam kemasan romantika percintaan.
Tidak salah jika Rudolf Mrazek, Sejarawan Cornel University, menyebut Mas Marco ini sebagai pengarang terbaik dan jurnalis modern pertama yang lahir dari Hindia Belanda. Mas Marco disebut Mrazek sebagai perintis Lingua Franca. Karena dari ratusan tulisan yang ditemukan hampir semuanya ditulis dalam bahasa Melayu. Nyaris tidak ada tulisan Mas Marco yang menggunakan bahasa Jawa, bahasa ibunya. Kesadaran berbahasa yang luar biasa setelah berabad periode kolonial.
Novel Student Hidjo
Novel itu bercerita tentang romantika sepasang pemuda yang sedang merajut kasih berkat dijodohkan oleh orang tuanya. Hidjo seorang pemuda terpelajar anak Raden Potronoyo seorang saudagar di Solo dan Woengoe anak Regent Djarak. Kisah romantika terjadi di tengah keriuhan vergadering (kongres) Syarikat Islam (SI) di Solo tahun 1913 yang pusat keramainnya berada di Kebon Rojo atau Sriwedari.
Raden Potronojo menggunakan momentum keramaian tersebut untuk mengundang keluarga Regent Djarak. Tentu saja undangan ini untuk mempererat perjodohan diantara kedua priyayi Jawa. Regent Djarak dan anak perempuannya datang ke Solo meskipun mereka bukan anggota dari SI.
Sesampai di N.I.S (stasiun) Balapan Solo, keramaian sudah sangat terasa. Ratusan bestuur atau pemimpin SI dari berbagai cabang SI hadir dan bahkan ribuan leed (anggota) berduyun-duyun ke Solo. Berpuluh puluh, beratus ratus andong yang kebanyakan memasang bendera SI berjubel memenuhi sekitar stasiun balapan.
Di jalanan banyak orang orang yang tidak memperoleh tumpangan andong sehingga harus berjalan kaki. Semua mengarah ke Kampung Kabangan, tempat dilaksanakan vergadering hari pertama. Di hari kedua, vergadering dilaksanakan di Sriwedari.
Di vergadering hari kedua itulah Hidjo dan Woengoe hadir bersama ribuan anggota SI lainnya. Mas Marco menulis ada lebih dari tigapuluh ribu anggota leed memenuhi Sriwedari. Ramainya vergadering hingga untuk keamanan disiapkan petugas keamanan dari Beteng dan dari Magelang.
Di panggung utama terpasang bendera-bendera Jawa, bendera Turki dan bendera Belanda. Di situlah satu persatu para pemimpin SI berpidato membicarakan bagaimana kaum pribumi bangkit dan memiliki kesadaran yang tinggi sebagai bangsa yang memiliki kesamaan dengan siapapun. Setelah satu persatu pemimpin SI menyampaikan pidato, vergadering dibubarkan.
Inti dari pembicaraan dalam kongres SI tahun 1913, tulis Marco dalam novel tersebut, adalah menguatkan pribumi agar bangkit dan membela harkat dan martabatnya sendiri. Syarekat Islam, organisasi berbasis agama namun dalam perjuangannya membawa nilai nilai universal. Organisasi ini berkembang menjadi organisasi yang sangat politis.
Itulah sepotong cerita sejarah yang dikemas dalam sebuah novel.