Baru-baru ini kita tengah dipertontonkan serangan brutal Israel terhadap Gaza, Palestina. Dari data yang dilansir berbagai media, Israel telah membunuh sebanyak 178 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan. Bahkan, menurut data Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), lebih dari 15.000 warga Palestina telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023, termasuk 6000 anak-anak dan 4000 wanita.
Kebengisan Israel atas Gaza merupakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa pada abad ke-21. Ia harus dipandang lebih dari sekadar peperangan biasa, melainkan krisis kemanusiaan. Padahal Islam sangat mewanti-wanti dan menekankan SOP dalam berperang, di antaranya haram membunuh wanita, anak-anak dan orang lanjut usia. Namun hal itu tidak berlaku bagi Israel misalnya.
Makna Qital dalam Al-Qur’an
Karena itu, dalam hal ini, penulis akan mengulas makna qital (berperang) dalam Islam dan bagaimana aturan mainnya. Secara leksikal, ada dua istilah yang kerapkali dirujuk dan dimaknai peperangan; qital dan jihad. Secara harfiah, qital berasal dari akar kata qatala-yuqatilu-qitalan, yang berarti membunuh. Kata qital di dalam Al-Quran lebih banyak dimaknai peperangan dalam arti fisik. Sedangkan jihad lebih dimaknai sebagai perjuangan dalam rangka meraih kebaikan. Jadi, makna qital lebih sempit ketimbang jihad.
Setidaknya makna ini tertuang dalam ayat di bawah ini,
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
Artinya: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 190).
Penafsiran At-Tabari
At-Tabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kaum mukmin untuk berperang di jalan Allah – yakni syariat-Nya yang telah Dia jabarkan dengan jelas dan agama-Nya yang telah Dia turunkan kepada hamba-hamba-Nya – untuk menaati-Ku dan apa-apa yang telah Aku perintahkan dalam agama-Ku.
Allah, lanjut At-Tabari, memerintahkan mereka agar menyeru “dengan tangan dan lisan mereka” orang-orang yang berpaling dari agama-Nya dengan pongah hingga mereka tunduk kepada-Nya atau membayar jizyah dengan sukarela jika mereka termasuk golongan ahli kitab.
Kemudian, makna “janganlah melakukan agresi atau melampaui batas”, menurut At-Tabari yang dikutip Asma Afsaruddin, berarti janganlah membunuh anak-anak atau wanita atau mereka yang membayar jizyah dari ahli Kitab atau kaum Majusi. Mereka yang melanggar batasan tersebut dan membolehkan apa yang telah Allah larang sehubungan dengan kelompok-kelompok tersebut itulah yang dimaksud dalam pernyataan “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Penafsiran Az-Zamakhsyari
Selain At-Tabari, mufasir lain juga turut menjabarkan pemaknaan ayat ini. Az-Zamakhsyari, misalnya, menerangkan bahwa Nabi tidak memerangi pihak yang tidak menyerangnya, dan memerangi pihak yang menyerangnya saja. Kedua, Nabi hanya memerangi orang-orang yang terlibat dalam peperangan dan tidak memerangi yang bukan kombatan seperti wanita, anak-anak, orang lanjut usia dan para rahib. Ketiga, Nabi memerangi orang-orang kafir karena kekafiran mereka sendiri sudah merupakan agresi, terlepas dari apakah mereka benar-benar berperang secara fisik atau tidak.
Menurut Asma Afsaruddin dalam Tafsir Dekonstruksi Jihad dan Syahid, Az-Zamakhsyari sendiri cenderung mengusung penafsiran ketiga tatkala ia menyatakan bahwa ayat di atas dinasakhkan oleh ayat Q.S. 9: 36 (yang menyatakan, perangilah segenap kaum musyrik). Kecenderungan Zamakhsyari pada penafsiran ketiga menandakan pandangannya yang lazim dianut para mufasir sezamannya, kontras dengan para ulama sebelumnya.
Ketentuan wa la ta’tadu dalam ayat di atas melarang kaum Muslim memulai peperangan atau menyerang orang yang tidak ikut berperang, seperti wanita, orang tua dan anak-anak, serta orang-orang yang melakukan perjanjian dengan kaum Muslim (‘ahd) dan melarang kaum Muslim melancarkan serangan mendadak tanpa maklumat resmi. Jika kaum Muslim diserang, mereka dibolehkan memerangi kaum kafir di mana saja mereka temui.
Yang menarik disoroti dalam penafsiran Zamakhsyari ini adalah penafsirannya mengenai kata fitnah dalam ayat berikutnya dan penuturannya soal perebutan makna yang dikandung istilah penting ini. Berbeda dengan sebagian besar mufasir seperti At-Tabari, Az-Zamakhsyari mengartikan fitnah sebagai cobaan dan ujian yang menimpa seseorang dan membuatnya menderita. Akan tetapi khusus dalam QS 2: 192, Az-Zamakhsyari menafsirkan fitnah sebagai politeisme (syirik) dan frasa “Agama hanya untuk Allah” berarti bahwa agama hanya untuk-Nya semata dan “setan tak punya bagian di dalamnya”.
Penafsiran Ar-Razi
Dalam menjawab mengapa seseorang mesti berperang, Ar-Razi memulainya dengan menjelaskan dari sisi historis (asbabun nuzul), bahwa ayat ini turun pada tahun al-Hudaibiyah dan menyinggung peristiwa-peristiwa besar pada tahun ini yang menjadi alasan untuk berperang. Soal bagaimana seseorang mesti berperang, pandangan Ar-Razi tidak jauh berbeda dengan Az-Zamakhsyari.
Lebih jauh, Ar-Razi juga menegaskan bahwa perintah Allah dalam ayat di atas ditujukan kepada kombatan yang aktual, bukan potensial. Jadi makna qital dalam ayat ini, menurut Ar-Razi, hanya membolehkan perang terhadap orang-orang yang benar-benar memulai peperangan dan bukan terhadap orang yang baru sanggup dan siap berperang tetapi belum melakukan aksinya.
Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan kelompok-kelompok ekstremisme, terorisme, misalnya yang mengobarkan perang secara membabi buta. Sebagaimana titah Nabi Saw, Ia sangat begitu hati-hati terutama menyangkut kematian nyawa seseorang sehingga Ar-Razi dan mufasir lainnya sangat memberi batasan dan selektif dalam memerangi seseorang. Ar-Razi, kata Afsaruddin, seakan ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa meski ayat di atas boleh jadi berarti bahwa perang mesti berlanjut sekalipun tentara musuh berhenti dan bertaubat, tetapi ayat berikutnya jelas (baca: QS 2: 192) menegaskan bahwa dalam situasi seperti itu, perintah untuk memerangi dan membunuh musuh menjadi gugur.
Pahamilah Secara Kontekstual
Dalam konteks ini, kita bisa melihat tindakan ekstremisme yang digencarkan para teroris dan ekstremis sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sesungguhnya bahwa Islam sangat menekankan selektivitas dalam memerangi seseorang dan membunuh nyawanya. Mereka, para teroris, sama sekali tidak mengenal aturan itu, tidak peduli apakah wanita, anak-anak, orang lanjut usia, bagi mereka harus ditumpas dan dibinasakan. Sama sekali tidak mencerminkan kemuliaan Islam sebagai agama pembawa pesan damai dan rahmah.
Karena itu, kita perlu memahami makna qital (berperang) dan jihad secara diakronis agar mengetahui konteks yang melatarinya. Sangat tidak mungkin atau di luar nalar jika Islam sebagai sebuah agama mengajarkan hal-hal yang bersifat kekerasan, tentu sangat kontras dengan Islam itu sendiri. Jadi, di sinilah pentingnya memahami teks suci (sacred text) tidak hanya tekstual, melainkan kontekstual. Artinya, makna itu bertumbuh-kembang di ruang sosial yang berkelindan dengan konteks yang melingkupinya.
Editor: Soleh