Tafsir

Meluruskan Pemahaman Konsep “Khilafah”

5 Mins read

Islam Rahmatah lil ‘Alamin ibarat sebuah bangunan yang dibangun di atas 3 (tiga) landasan (tanah bagi bangunan), yaitu: pertama, “Tauhid Rahamutiyah”, maksudnya Allah menjadi Ilah berdasarkan rahmah, menjadi Rabb berdasarkan rahmah, menjadi Maliki Yaumiddin berdasarkan rahmah, dan mengaktualisasikan seluruh asma dan sifat-Nya berdasarkan rahmah).

Kedua, “Kerasulan Rahmat”, bahwa Nabi Muhammad diutus untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan tiga kriteria: sejahtera sesejahtera-sejahteranya, damai sedamai-damainya dan bahagia sebahagia-bahagianya bagi semua di dunia dan akhirat.

Ketiga, “Kitab Suci Rahmat”, bahwa al-Qur’an diwahyukan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan tiga kriteria di atas: sejahtera, bahagia dan damai. Ia pun dibangun dengan 4 (empat) fondasi, yaitu: 1) paradigma agama rahmat (agama yang diwahyukan dan didakwahkan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan tiga kriteria di atas); 2) definisi agama (agama dan keadaan yang baik dalam semua bidang kehidupan); 3) organisasi agama, Islam Kaffah (keberagamaan tri-dimensi, peradaban materiil dan spirituil, dan integrasi sosial-politik); dan 4) fungsi agama (mempersatukan umat manusia, menyelamatkan umat manusia dan memperbaiki kehidupan umat manusia secara terus-menerus).

Asas-Asas Penyelenggaraan Negara dalam Al-Qur’an

Sesuai dengan “landasan” dan “fondasi” Islam di atas, al-Qur’an mengajarkan idealisasi negara dengan asas-asas penyelenggaraan dan kepemimpinan politiknya. Dalam al-Qur’an idealisasi negara dikemukakan dalam ayat-ayat berikut:

  1. Al-Baqarah, 2 (126): negara yang aman dan damai serta kemakmuran untuk seluruh warga negara, baik yang beriman maupun tidak beriman.
  2. Ibrahim, 14 (35): negara yang aman dan damai dengan warga negara yang tidak menganut kepercayaan yang mendegradasikan kehidupan dan sistem politik tiranik (an- na’budal ashnam).
  3. Saba’, 34 (15): baldatun thayyibatun, yakni negara yang adil, makmur dan berwawasan lingkungan hidup (dalam tafsir digambarkan dengan negara tanpa lalat dan nyamuk), wa rabbun ghafur, yaitu negara yang ada kejahatannya, tapi mampu dikendalikan.
  4. At-Tin, 95: 3: negara yang amanah dalam pengertian mampu melindungi hak-hak warga negara, terutama hak-hak dasar mereka.

Adapun asas-asas penyelenggaraan negara dikemukakan dalam an-Nisa’, 4 (58-59) yang memuat 6 asas:

  1. An tuaddul amanati ila ahliha:asas amanah, perlindungan hak-hak warga negara;
  2. An tahkumu bil ‘adl:asas keadilan dalam penyelenggaraan seluruh urusan yang menjadi tanggungjawab negara;
  3. Athi’u Allah:asas ketuhanan, dalam pengertian konstitusionalisme dan negara kesejahteraan;
  4. Athi’ur Rasul:asas kerasulan, dalam pengertian persatuan dan rule of law;
  5. Ulil Amri:asas penyelenggaraan negara oleh orang-orang yang ahli; dan
  6. Fa rudduhu ila Allah war Rasul:asas negara hukum.
Baca Juga  Semeru dan Erupsi Gunung dalam Al-Quran

Kepemimpinan Politik dalam Al-Qur’an

Kepemimpinan politik ideal untuk mewujudkan negara ideal dengan 6 asas tersebut dikemukakan dalam kisah Nabi Daud yang disebut sebagai khalifah di samping Adam. Adalah Nabi Adam (al-Baqarah, 2: 30-39), manusia pertama yang mewakili seluruh umat manusia,  dijadikan khalifahdalam pengertian sebagai wakil-Nya untuk menyelenggarakan kehidupan di bumi, sehingga menjadi tempat yang makmur. Adapun Nabi Daud dijadikan khalifah,dalam pengertian sebagai  pemimpin politik atau raja yang menggunaan kekuasaan untuk kesejahteraan.

Pengertian kekhalifahan Nabi Daud demikian dapat dipahami dari kisahnya yang disebutkan dalam beberapa surat.  Dalam Shad, 38 (17-30) disebutkan sosok idealnya sebagai raja dengan kapasitas-kapasitas berikut:

  1. Terampil
  2. Melakukan desakralisasi terhadap alam
  3. Membangun kerajaan yang kuat
  4. Bijaksana
  5. Memiliki kecakapan berkomunikasi
  6. Adil
  7. Menyelenggarakan negara dengan kebenaran
  8. Tidak tunduk pada kepentingan pribadi dan kelompok

Kemudian dalam al-Anbiya, 21 (78-79) di samping desakralisasi terhadap alam, disebutkan 2 kapasitas lain, yaitu:

  1. Memiliki legitimasi kekuasaan
  2. Berilmu

Selanjutnya dalam an-Naml, 27 (15-16), di samping beilmu, disebutkan beberapa kapasitasnya yang lain, yakni:

  1. Bersyukur dengan mengaktualisasikan anugerah kelebihan yang dimiliki
  2. Menyiapkan penerus, Nabi Sulaiman 

Terakhir dalam Saba’, 34 (10-13), di samping desakralisasi terhadap alam, disebutkan kemampuannya yang lain, yakni  mengolah baja untuk menjadi peralatan. Dari kesaksian ini diketahui bahwa Nabi Daud berperan dalam pengembangan teknologi pengolahan baja.

Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah: Negara Kesejahteraan

Nabi Daud dengan semua kapasitas itu dan praktek penyelenggaraan negara berbentuk kerajaan sesuai dengan zamannya, menggunakan kekuasaan yang dipegangnya sebagai raja, untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan negaranya. Karena itu kepemimpinan politik atau khilafahnya dijadikan model kepepimpinan politik ideal dalam Islam. 

Idealisasi ini dilakukan dengan menyebutnya sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Hudzaifah (bin al-Yaman)  yang populer pada beberapa waktu terakhir:     

Baca Juga  Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ  أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ “

Rasulullah bersabda, “Kenabian ada di kalangan kamu selama waktu sesuai kehendak Allah, kemudian Dia mengangkatnya sesuai  kehendak-Nya. Setelahnya ada khilafah menurut jalan kenabian selama waktu sesuai kehendak-Nya, lalu Dia mengangkatnya sesuai  kehendak-Nya. Selanjutnya ada kekuasaan “yang menggigit” selama waktu  sesuai  kehendaak-Nya, lalu Dia mengangkatnya sesuai  kehendak-Nya. Seterusnya ada kekuasaan ‘yang memaksa” selama waktu sesuai kehendak Allah, lalu Dia mengangkatnya sesuai  kehendaknya. Sesudahnya ada khilafah menurut jalan kenabian.”

Pemakanaan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dengan kepemimpinan politik yang menggunakan kekuasaan  untuk kesejahteraan yang diteladankan Nabi Daud di samping sejalan dengan idealisasi negara dan asas-asas penyelenggarannya yang diajarkan al-Qur’an di atas, juga sejalan dengan ajarannya tentang kenabian yang disebutkan mendakwahkan agama sekaligus membangun peradaban. Ini berarti bahwa kekuasaan politik untuk kesejahteraan itu merupakan bagian dari pembangunan peradaban yang dilakukan para nabi dan dalam sejarah mereka adalah Nabi daud yang berperan besar di dalamnya.

Pemaknaan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah secara demikian sesuai dengan nubuat Nabi Muhammad tentang praktek kekuasaan politik dalam sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman kontemporer sekarang yang disebutkan dalam hadis di atas. Pada Zaman Nabi Muhammad kekuasaan politik untuk kesejahteraan terlaksana dengan kepemimpinan kenabian (nubuwwah) yang diembannya, sehingga melekat padanya khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang diteladankan Nabi Daud. Kemudian kekuasaan politik untuk kesejahteraan terlaksana melalui kepemimpinan politik empat Khulafa’ Rasyidin pengganti Nabi Muhammad sehingga dalam hadis tersebut kepemimpinan mereka disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Setelah Khulafa’ Rasyidun

Setelah Khulafa’ Rasyidun, kekuasaan pilitik di kalangan umat Islam secara sistem tidak digunakan untuk kesejahteraan, karena diselenggarakan dengan sistem yang dalam hadis tersebut disebut dengan mulkan ‘adldlan dan mulkan jabariyyan.

Pertama, Mulkan ‘adldlan secara bahasa bisa berarti kekuasaan yang menggigit, menunjuk pada sistem kekuasaan otoritarianisme. Sistem ini diterapkan pada masa kekhalifahan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah serta kesultanan-kesultanan Islam di berbagai belahan dunia Muslim yang doniman dengan praktek kekuasaan untuk kekuasaan dan mengabaikan hak-hak rakyat atau warga negara. 

Baca Juga  Perbedaan Qira'at dalam Penafsiran Surat An-Nisa' Ayat 43

Dengan sistem itu praktek kekuasaan para khalifah dan sultan sama dengan praktek kekuaasaan raja-raja yang berasal dari wangsa-wangsa pendiri kerajaan di berbagai belahan dunia yang lain. Sehingga ketika pada masa pemerintahan khalifah atau sultan tertentu, kekuasaan digunakan untuk kesejejahteraan, maka itu bukan karena kebaikan sistem, tapi karena kebaikan pribadi mereka.  

Kemudian yang kedua, mulkan jabariyyan secara bahasa bisa berarti kekuasaan yang memaksa menunjuk pada sistem totalitarianisme, yakni kekuasaan yang memberlakukan negara sebagai segala-galanya dan rakyat dapat dikorbankan untuk negara. Sistem ini diterapkan dalam negara-negara fasis  seperti Jerman pada masa Hitler dan negara-negara ideologis seperti Uni Soviet dahulu dan Korea Utara sekarang dengan komunismenya dan beberapa negara Timur Tengah dengan Sosialisme Partai Ba’ts yang berkuasa selama beberapa dekade.

Negara Demokrasi Pancasila Manifestasi Khilafah

Dalam sejarah Islam, mulkan jabariyyan, menurut hadis tersebut, kemudian diganti dengan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Dengan pengertiannya sebagai kekuasaan untuk kesejahteraan, maka khilafah ‘ala minhajin nibuwwah pada zaman sekarang identik dengan sistem demokrasi. Karena itu penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia  berdasarkan Pancasila yang menerapkan demokrasi sebenarnya merupakan praktek penyelenggarakan kekuasaan politik yang menjadi nubuat dalam hadis Nabi di atas. 

Dengan pengertian itu pula maka praktek penyelenggaraan kekuasaan negara yang diklaim berdasarkan ajaran khilafah dalam gerakan revivalisme dan fundamentalisme Islam yang tidak digunakan untuk kesejahteraan sebenarnya bukan merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, tapi merupakan mulkan ‘adldlan atau mulkan jabariyyan.

.

Wallahu a’lam bish shawab. 

Hamim Ilyas - Tafsir khilafah di Zaman Modern: Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah
Editor: Azaki Khoirudin
Designer: Galih Qoobid Mulqi

28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds