Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam, terutama antara Muslim dan Kristen. Kedua, perbincangan seputar tafsir ayat-ayat tertentu, baik yang terkait dengan relasi lintas agama maupun terma-terma menarik dalam Al-Quran, seperti kata “hanif” dan “ulul-amr”, dan ketiga, contoh pergulatan ulama Muslim dengan teks dan konteks.
Tema pertama “terdistribusi” dalam tiga esai: ” Tema-tema Pokok Dialog Islam-Kristen Awal”, ”Peran Politik Non-Muslim dalam Pemerintahan Islam”, dan “Al-Quran dan Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama”. Tema kedua terimplementasikan pada empat esai:” Membaca Ayat-ayat Al-Quran tentang Agama Lain”, ”Membatasi Keselamatan Penganut Agama Lain”, “Perkembangan Makna ‘Hanif’ dalam Al-Quran dan Tafsir”, dan dan “Membincang ‘Ulil Amri’ dalam Tradisi Tafsir Klasik”.
Sedangkan tema ketiga dapat kita eksplor dalam tiga esai berikut: “Terbentuknya Narasi Kesalehan Muslim”, “Muqatil bin Sulaiman dan Antropomorfisme”, dan “Jamal al-Din al-Qasimi dan Hubungan Salafi-Sufi”. Tiga tema besar yang tersebar dalam sepuluh esai tersebut ditutup dengan satu esai “bonus”: “Tren Terkini dalam Studi Al-Quran”. Total buku ini menyajikan sebelas artikel terpilih dengan mutu yang terjamin.
Saya menyebut sebelas artikel itu sebagai “artikel terpilih dengan mutu yang terjamin” lantaran memang semuanya pernah dipublikasikan di buku dan jurnal-jurnal bergengsi: Islam and Christian-Muslim Relations, Bulletin of the School of Oriental and African Sfudies, Die Welt des Islams, Journal of Semitic Studies, Arabica, dan Studia Islamica. Sang Editor, Ibrahim Ali-Fauzi, menyebut buku Interaksi Islam ini “agak laen”.
Dalam pengakuan Ibrahim Ali-Fauzi, ini kali pertama ia menyunting buku dengan full “jihad” dan “kaffah” serta lika-likunya. Kata dia, kesebelas esai dalam buku ini sungguh berbeda: analisisnya betul-betul mendalam, berbobot, substantif plus referensi yang komplet. Sebelas esai yang ada dalam buku ini semula berbahasa Inggis dengan kualitas akademis yang tidak diragukan.
Dalam buku Interaksi Islam ini saya mendapati setidaknya dua kata-kata yang amat saya suka. Sebut saja kata-kata pavorit: Pertama, ”kepekaan epistemologis dan kesadaran historis”, dan kedua, ”…dari perbincangan legal-formal menuju eksplorasi etik-rasional”. Kata-kata yang pertama, saya pernah menggunakannya dalam endorse untuk buku Prof. Mun’im Sirry sebelum ini: Think Outside The Box. Di sana saya bilang begini:
”Dari perjumpaan dan pertemanan saya dengan Prof. Mun’im, saya menangkap setidaknya dua hal senantiasa beliau sadarkan dan elaborasi dalam semua karyanya. Yaitu kesadaran historis dan kepekaan epistemologis. Kesadaran historis, seperti ditegaskan Prof. Mun’im, diperlukan agar kita mengetahui asal-usul kemunculan suatu doktrin keagamaan, sedang kepekaan epistemologis membantu kita melihat kompleksitas di balik sesuatu yang tampak sederhana di permukaan…. Antara lain karena Prof. Mun’im mampu mengelaborasi dua hal penting tersebut dalam karya-karyanya, saya sangat senang berteman dan berdiskusi jarak jauh dengan beliau”.
Seandainya saya diminta kembali untuk menulis endorse untuk buku baru Prof. Mun’im, kata-kata itu-lah yang akan kembali saya tegaskan. Yakni, pada setiap karyanya, Prof. Mun’im senantiasa mengembangkan ”kepekaan epistemologis dan kesadaran historis”. Pisau epistemologis akan menunjukkan kompleksitas suatu masalah, sedang kesadaran historis akan membawa pada asal-usul kemunculan suatu doktrin keagamaan. Harus diakui, dua peranti ini kerap luput dari tidak sedikit kajian keislaman banyak dari kita.
Kata-kata yang kedua, ”dari legal-formal menuju etik-rasional”, mengingatkan pada hermeunetika double movements yang digagas Fazlur Rahman. Rahman membedakan legal spesifik dari ideal moral. Dari yang pertama terumuskan norma, aturan, dan hukum. Legal spesifik lahir dari pemaknaan literal atas al-Quran. Sedang ideal moral adalah ide dasar al-Qur’an yang menjunjung nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan kesetaraan. Memahami isi-kandungan al-Qur’an, demikian Rahman, harus mengedepankan nilai-nilai moralitas yang poros utamanya adalah keadilan. Ideal-moral harus lebih ditekankan dan dikedepankan ketimbang legal-spesifik.
Untuk mendapatkan ideal-moral, pertama-tama seorang mufassir harus ”mengembalikan” teks ke masa-lalu; ke masa di mana ia diturunkan. Bayangkan dirinya hidup bersama Nabi, bersama para sahabat yang menjadi audiens pertama. Bayangkan wahyu menyapa langsung, bertanya dan berdialog dengannya. Sesekali ia bertanya langsung kepada Nabi, lalu wahyu turun “membantu” Nabi menjawab pertanyaan yang diajukan. Pelajari dan cermati seperti apa respons al-Quran terhadap pertanyaan yang diajukan atau fenomena yang terjadi.
Tapi jangan berlama-lama tinggal di masa-lalu. Setelah mengamati seperti apa wahyu berdialog dan berdialektika dengan fakta dan realita yang dihadapinya, saatnya kembali ke masa sekarang; ke masa dan tempat di mana sang mufassir berada. Berbekal pengetahuan tentang ”masa lalu”, cermati dan amati fakta dan realita yang ada, lalu gunakan penalaran kiranya seperti apa jawaban wahyu dalam merespons fakta dan realita yang ada itu.
Ini, tentu sama sekali bukan seruan untuk mengubah bunyi teks wahyu, melainkan himbauan untuk menggali semangat (ideal-moral) teks wahyu dalam konteks kekinian dan kedisinian. Tentang ini semua saya biasa menyebutnya sebagai ”pembacaan yang berkesadaran”. Judul yang saya bikin untuk ulasan ini, Memahami Teks, Menyadari Konteks, mengacu pada ”pembacaan yang berkesadaran” itu.
Kembali ke buku Interaksi Islam dengan tiga tema besar yang dipanggulnya. Tema pertama menunjukkan relasi antaragama di masa awal Islam. Bagian ini membukakan wawasan terutama tentang hubungan antara Muslim dan Kristen. Esai pertama dari tema ini berisikan tema-tema pokok dalam relasi (dialog) Islam-Kristen Awal”. Esai keduanya berhasil dengan piawai menunjukkan peran politik Non-Muslim dalam Pemerintahan Islam klasik. Sedang esai ketiga coba mengintrodusir diskursus pluralisme agama dalam al-Quran.
Bagian kedua dapat disebut sebagai tafsir tematik. Yakni tafsir atas ayat-ayat tertentu tentang tema-tema tertentu. Dalam hal ini, esai pertama berupa kupasan ayat-ayat tentang agama lain. Esai kedua membincang ayat-ayat terkait keselamatan bagi penganut agama lain. Esai ketiga mengupas term hanif dan perkembangan maknanya dalam al-Quran dan Tafsir. Sedang esai keempat mendiskusikan makna Ulil Amri dalam tradisi tafsir klasik.
Sedangkan bagian ketiga menunjukkan contoh konkret pergulatan ulama Muslim dengan teks dan konteks. Ada dua figur yang dijadikan contoh: Muqatil bin Sulaiman dan Jamaluddin al-Qasimi. Di sini ditunjukkan bagaimana Muqatil bin Sulaiman menafsirkan ayat-ayat antropomorfis. Penting diketahui, Muqatil adalah mufasir paling awal yang karya utuhnya sampai ke kita. Muqatil hidup pada paruh pertama abad kedua Hijriah dan meninggal tahun 150 H/767 M.
Tahun itu belum muncul mazhab-mazhab fikih dan sekte-sekte teologi resmi. Berbagai mazhab dan sekte masih dalam periode formasi. Maka dengan membaca karya Muqatil kita akan melihat apa yang dikatakan seorang Muslim sebelum adanya perdebatan mazhab-mazhab teologis yang sengit; sebelum sekat-sekat identitas keberagamaan begitu meruncing, termasuk soal sifat-sifat manusiawi Tuhan yang kelak menjadi sumber kontestasi teologi.
Figur kedua yang dijadikan contoh di bagian ini adalah Jamaluddin al-Qasimi. Yang ingin dilihat di sini adalah hubungan Salafi-Sufi. Asumsi umum mengatakan bahwa kaum Salafi cenderung anti-Sufi. Asumsi itu diuji lewat pemikiran Jamaluddin al-Oasimi, pemikir Salafi Suriah, melalui tulisannya yang berjudul “Buthlan al-Hulul wa al-Ittihad” dalam salah satu bukunya: Dala’il al-Tawhid.
Qasimi membahas hulul dan ittihad, dan membela gagasan wahdat al-wujud yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi. Qasimi menentang Ibn Taymiyyah yang menuduh Ibn ‘Arabi sebagai bid’ah. Dari Qasimi kita tahu bahwa pendekatan Salafi terhadap tasawuf ternyata tidak monolitik. Qasimi membuka wawasan bahwa kaum Salafi mengambil posisi yang lebih bernuansa daripada yang kadang diduga.
Esai penutup: “Tren Terkini dalam Studi Al-Quran”. Esai ini memetakan dan mendiskusikan perkembangan-perkembangan baru dalam studi al-Quran pada beberapa dekade terakhir. Tren baru tersebut antara lain perbincangan serius soal sejarah teks atau mushaf Al-Quran dan kajian manuskrip kunonya, upaya meletakkan al-Quran dalam konteks lebih luas yang dikenal dengan zaman purba akhir (late an-tiquity), melihat Al-Quran sebagai literatur dan konsekuensi akademisnya, model-model penafsiran yang berkembang saat ini, baik yang bersandar pada tradisi tafsir atau tidak.
Esai ini membawa kabar baik: betapa semaraknya studi al-Quran sehingga dapat dikatakan bahwa studi al-Quran di Barat sekarang telah mencapai masa keemasannya dan tampil sebagai “primadona” dalam disiplin studi Islam secara keseluruhan.
Kesimpulan: buku bagus. Namun agak disayangkan, di esai pamungkas saya menemukan setidaknya dua terjemahan yang keliru. Yang pertama di halaman 366: “Penelitian kontemporer tentang Al-Quran mencakup cara-cara di mana Kitab Suci lebih dari 1,6 juta Muslim telah membentuk kepekaan spiritual dari berbagai bangsa dan tempat yang lebih luas dan bagaimana Al-Quran berfungsi dalam masyarakat dan sejarah.
” Yang kedua di halaman 377: ”Ketertarikan para sarjana saat ini terhadap integritas dan koherensi Al-Quran dapat ditelusuri kembali ke para sarjana klasik yang berusaha membuktikan ketidaktertarikan Al-Quran (i’jaz al-Qur’an).”
Perhatikan kata ”1,6 juta Muslim” pada yang pertama, dan ” ketidaktertarikan Al-Quran (i’jaz al-Qur’an)” pada yang kedua.