Review

Homo Deus: Ketika Manusia Menjadi Tuhan

4 Mins read

Oleh: Yusuf Rohmat Yanuri*

Prof. Yuval Noah Harari adalah seorang gay Yahudi liberal, paduan identitas sangat pas untuk dihina dan di caci maki oleh orang-orang pada umumnya. Bukunya yang berjudul Homo Deus: A Brief History of Tomorrow merupakan buku lanjutan dari Sapiens: A Brief History of Humankind.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sapiens membahas tentang sejarah peradaban manusia, sedangkan Homo Deus membahas tentang masa depan manusia. Perlu dipahami bahwa buku ini lebih banyak menggunakan perspektif barat. Memang diakui atau tidak, hari ini baratlah yang memimpin perjalanan peradaban dunia.

Menuju Abad Modern

Pada abad pertengahan, proyek besar kemanusiaan tidak pernah terlepas dari tiga hal: kelaparan, wabah, dan perang. Kelaparan menjadi permasalahan yang tak dapat diselesaikan sampai revolusi agraria pasca perang dunia I & II.

Banyak contoh yang dapat diambil. Wabah menjadi patogen yang sangat cepat menyebar dan mematikan. Ia berada diluar jangkauan nalar manusia saat itu. Sedangkan perang akan terus berlaku selama hukum rimba masih berjalan. Perdamaian hanya bersifat sementara dan tidak pasti.

3 agenda besar kemanusiaan ini relatif berkurang –untuk tidak mengatakan selesai- di abad 21. Orang yang mati karena perang dan karena kekurangan makan lebih sedikit daripada orang yang mati karena kelebihan makan, berupa obesitas, dan penyakit terkait lainnya.

Korban perang abad 21 lebih sedikit daripada korban ganasnya Coca-cola. Ini tidak berarti menafikan kemiskinan dan kelaparan di negara-negara dunia ketiga. Namun, dalam skala makro, peningkatan yang pesat akibat riset, kemajuan IPTEK, ekonomi, dan dialog-dialog internasional telah mengakibatkan meningkatnya kesejahteraan hidup manusia secara drastis.

Lantas, setelah semua permasalahan di atas menjadi kurang signifikan, apa proyek kemanusiaan pada abad 21? Mari kita lanjutkan pembahasannya.

Baca Juga  Kuntowijoyo: Islam, Ilmu, dan Realitas Sosial

Immortalitas

Masyarakat sekuler yang hari ini menguasai peradaban meyakini bahwa kematian hanyalah masalah teknis tubuh semata. Kita mati karena memang sudah waktunya mati. Namun, kita mati karena sebab-sebab tertentu. Seperti jantung yang tidak berfungsi lagi dengan baik, paru-paru yang terkena virus atau bakteri.

Atau ginjal yang tidak dapat memompa racun, daging tumbuh di otak, tertabrak truk yang melaju kencang, terbakar api, terseret banjir, tenggelam di laut, dan masalah-masalah teknis yang lain. Padahal masalah teknis selalu menghadirkan solusi teknis, seperti gadget sebagai solusi dari masalah teknis terbatasnya komunikasi. Sehingga dimungkinkan bagi dunia kedokteran dan sains untuk menyelesaikan masalah-masalah teknis ini.

Prediksi ini bukan isapan jempol semata. Para gerontolog (ahli ilmu tentang proses & gejala penuaan) pada tahun 2012 ditunjuk menjadi pelaksana proyek rekayasa di Google.  Tahun berikutnya, Google meluncurkan anak perusahaan bernama Calico dengan misi mengerikan: mengatasi kematian.

Bill Maris, pemimpin perusahaan pengelola investasi Google Venture mengatakan, “jika anda tanya saya hari ini apakah mungkin hidup sampai 500 tahun, jawabannya adalah ya.”

Maris menopang kata-kata beraninya dengan menginvestasikan uang yang besar. Google Ventures mengivestasikan 34 persen dari portofolionya yang bernilai $2 miliar dolar pada sejumlah start-up yang menekuni sains kehidupan. Termasuk beberapa proyek ambisius pemanjangan usia.

Dengan menggunakan sebuah analogi sepak bola Amerika, Maris menjelaskan bahwa dalam perang melawan kematian, “kami tidak berusaha memenangi beberapa meter. Kami berusaha memenangi pertandingan.” Mengapa? “karena,” kata Maris, “lebih baik hidup daripada mati.” Tentu Google tidak sendirian, ada banyak pesohor Silicon Valley yang menggarap proyek demikian. Salah satunya adalah pendiri Paypall, Peter Thiel.

Sejatinya, perang melawan kematian hanyalah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan sepanjang zaman melawan kelaparan dan penyakit, dan memanifestasikan nilai tertinggi budaya kontemporer: nilai kehidupan manusia.

Baca Juga  Menjadi Penyair: Tidak Harus Jatuh Cinta dan Patah Hati Berkali-kali

Kita secara terus-menerus diingatkan bahwa kehidupan manusia adalah hal yang paling sakral di alam semesta. Deklarasi universal hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB setelah perang dunia II menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling fundamental.

Karena kematian jelas melanggar hak ini, maka kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan, dan kita akan berperang habis-habisan melawannya. Jadi, proyek besar manusia abad 21 adalah membunuh kematian.

Kebahagiaan

Dalam perkembangannya muncul satu masalah yang sangat krusial yang dihadapi oleh manusia. Kemajuan dalam semua bidang, terutama ketika memasuki abad modern. Ternyata tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan manusia.

Selama ribuan tahun manusia hidup, teka-teki kebahagiaan belum juga selesai. Angka bunuh diri, depresi, kemarahan, dan lain-lain terus ada dan tetap ada. Ratusan nabi, filosof, psikolog, cerdik cendekia, dan bijak bestari datang untuk memberikan nasehat tentang kebahagiaan, rasanya tidak pernah cukup.

Pada abad 20, GDP per kapita mungkin menjadi tolak ukur tertinggi untuk mengevaluasi keberhasilan bangsa. Dari perspektif ini, Singapura, yang setiap warganya menghasilkan rata-rata barang dan jasa bernilai $56.000 dalam setahun, adalah negara yang lebih berhasil dari Costa Rica yang warganya hanya memproduksi $14.000 pertahun misalnya.

Namun, kini para pemikir, politisi, dan bahkan ekonom menyerukan penambahan atau bahkan mengganti GDP dengan GDH (Gross Domestic Happines). Manusia tidak ingin memproduksi. Manusia ingin bahagia. Maka proyek meraih kebahagiaan sejati menjadi proyek terpenting kedua setelah keabadian.

Homo Deus dan Upaya Menjadi “Tuhan”

Hingga saat ini, kekuatan manusia yang semakin meningkat bertumpu terutama pada peningkatan alat-alat eksternal kita. Pada masa depan, hal itu mungkin akan lebih bertumpu pada peningkatan tubuh dan pikiran manusia. Maka, meningkatkan manusia menjadi tuhan akan menempuh satu dari tiga jalan ini: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda non-organik.

Baca Juga  Paulo Freire: Menolak Konsep Banking Education

Dalam rekayasa biologis, kita tidak pernah berfikir bahwa homo sapiens adalah stasiun terakhir kita sebagai manusia. Rekayasa cyborg malah selangkah lebih maju. Ia akan menggabungkan tubuh organik dengan alat-alat organic. Seperti tangan bionik, mata artifisial, atau jutaan robot nano yang menavigasi aliran darah manusia, mendiagnosa, dan memperbaiki kerusakan. Pasien lumpuh sudah belajar mengoperasikan komputer dengan helm elektrik “pembaca pikiran”.

Pada abad ke-21, proyek besar ketiga manusia adalah mendapatkan kekuatan ilahiah. Kemudian meningkatkan Homo sapiens menadi Homo deus. Proyek ketiga ini jelas memasukkan dua proyek pertama, dan digerakkan oleh keduanya.

Kita menginginkan kekuatan kemampuan untuk merekayasa ulang tubuh dan pikiran kita secara berurutan, di atas semua itu, untuk meloloskan diri dari usia tua, kematian, dan penderitaan.

Sayangnya, 3 proyek raksasa diatas diperkirakan hanya dapat dinikmati oleh kelompok WEIRD (western, educated, industrialised, rich, dan democratic). Lantas, bagaimana dengan masyarakat diluar kelompok tersebut?

Mereka akan tertinggal di stasiun yang membawa Homo Sapiens menuju Homo Deus. Kesenjangan antara barat yang superior dengan kita yang inferior akan semakin lebar. Teknologi mereka akan semakin berkembang dengan sangat pesat. Sementara kita akan terus berdebat masalah poligami atau hukum memakai cadar. Selamat tertinggal!

 

*Penulis adalah Ketua PW IPM Jawa Tengah, yang menjadi mahasantri di Pondok Shabran, UMS

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *