Sudah menjadi kebiasaan di beberapa daerah jika kita mendengarkan bacaan Alquran yang diputar dari masjid-masjid menggunakan pengeras suara. Beberapa masjid selalu memutar murottal Alquran setiap menjelang shalat jumat, beberapa lagi menjelang adzan maghrib. Di pesantren juga berlaku hal yang sama.
Bacaan Alquran yang diperdengarkan melalui pengeras suara ini beberapa kali sempat memicu pro kontra di masyarakat karena dianggap dapat mengganggu, lebih-lebih jika tidak semua masyarakat yang mendengar suara bacaan Alquran tersebut adalah muslim. Kasus yang sama juga pernah terjadi dalam suara adzan. Dimana suara adzan yang terlalu keras dianggap dapat mengganggu ketenteraman masyarakat.
Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan bahwa ibadah adalah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah, sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah, dan cara-cara yang tertentu. Sedangkan yang bukan urusan ibadah adalah semua hal yang di luar urusan itu.
Membaca Alquran termasuk salah satu urusan ibadah, yaitu ibadah umum yang akan mendatangkan pahala dan rahmat bagi orang yang melaksanakannya, sedangkan pengeras suara bukan urusan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana saja.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, orang yang membaca Alquran dan mendengarkan bacaan Alquran akan mendapatkan rahmat dari Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam Q.S. al-A‘raf (7): 204 sebagai berikut:
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Rahmat Allah itu akan didapatkan jika mendengarkan dan memperhatikan bacaan al-Quran dengan baik, bukan karena dikeraskan dengan pengeras suara. Jika tujuan menggunakan pengeras suara adalah agar lebih banyak orang yang mendengarkan dan untuk syiar, maka hal tersebut merupakan tujuan yang baik. Namun hal itu tidak menjamin semua orang akan mendapatkan rahmat karena bacaan al-Quran dengan pengeras suara tersebut. Hanya orang-orang yang mendengarkan dan memperhatikan saja yang akan mendapatkan rahmat.
Dalam fatwa yang dikutip dari Majalah Suara Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid menyebut bahwa pengeras suara merupakan alat atau sarana yang bila digunakan pada tempatnya merupakan sesuatu yang baik dan membantu, dan bila disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar itu sumbang.
Dalam hal membaca ayat-ayat al-Quran atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat islam, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 110;
قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
Artinya: “Katakanlah; Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (al-Asmaa al-Husna) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat beberapa riwayat yang menyangkut asbabun-nuzul ayat ini. Pertama, menurut Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengeraskan suara beliau ketika membaca Alquran dan orang-orang musyrik mendengarkannya dan memaki beliau, lalu Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa.
Jika demikian dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan atau doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, melahirkan pandangan negatif atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berada di rumahnya berdoa dan membaca Alquran dengan suara yang sangat lembut. Sebaliknya ketika melewati rumah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar suaranya sedemikian keras.
Keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Bakar, mengapa terlalu mengecilkan suaranya, Abu Bakar menjawab: “Aku berbicara dengan Tuhanku (dan) aku merasa tidak perlu mengeraskan suara karena Dia telah mengetahui kebutuhanku.” Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya menjawab: “Aku menghardik setan, dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur.”
Berdasarkan dua riwayat di atas, yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain. Misalnya memperdengarkan bacaan Alquran dengan pengeras suara pada waktu-waktu sebelum adzan agar orang-orang bersiap-siap untuk shalat, sebelum pengajian, sore hari menjelang berbuka, dan waktu-waktu yang lain.
Mengecilkan pengeras suara misalnya pada waktu tengah malam atau siang hari ketika orang-orang sedang beristirahat, pada waktu shalat, dzikir, dan lain sebagainya. Dapat juga berarti perintah untuk tidak membaca terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya.
Oleh sebab itu Majelis Tarjih dan Tajdid menyimpulkan bahwa harus dipertimbangkan antara manfaat membaca Alquran dengan pengeras suara dan madaratnya, dan uraian di atas telah menjelaskannya. Dalam urusan ibadah, maka mengantisipasi kemadaratan hendaknya lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Jika demikian, maka tentunya membaca Alquran tidak harus dengan pengeras suara apabila dirasa waktunya tidak tepat dan dikhawatirkan akan mengganggu pihak lain, akan tetapi tentu saja tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu dengan tujuan syiar selama tidak mengganggu. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Sumber: Fatwa Tarjih
Dikutip dari Majalah Suara Muhammadiyah No. 14, 2014