Inspiring

KH. Ambo Dalle: Ulama Pembaru dari Tanah Bugis

3 Mins read

Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle lahir sekitar tahun 1900 M, ia berasal dari keluarga bangsawan di desa Ujung, kecamatan Tanasitolo, kabupaten Wajo. Letaknya sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. Anregurutta adalah gelar bagi ulama Sulawesi Selatan.

Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle, dalam bahasa bugis berarti bapak yang memeliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Sedangkan nama Abdurahman diberikan oleh seorang ulama yang bernama  K.H. Muhammad Ishak, pada usia tujuh tahun saat ia berhasil hafal Al-Qur’an.

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, ia tidak dibiarkan menjadi anak yang manja. Sejak dini telah ditimpa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volkschool (sekolah rakyat) pada pagi hari, lalu di sore sampai malam hari belajar agama. Ia mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila). Guru membacakan kitab dan murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru.

Salah satu gurunya adalah H. Muhammad As’ad bin abdul Rasyid Al-Bugisy, di bugis ia dipanggil Puang Aji Sade. seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekah. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad pulang ke tanah leluhurnya, Ambo Dalle segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Selama belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Al-Qu’ran, ia juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan pernah belajar di sekolah guru yang diselenggarakan Sarikat Islam (SI) di Makassar. Usai berguru dan terus menimba ilmu, kemudian ia menulis beberapa kitab yang membahas masalah fiqih, akhlak-tasawuf, tauhid, dan kaidah Bahasa Arab/Ilmu Nahwu.

Baca Juga  Roehana Koeddoes, Tokoh Feminisme yang Terlupakan

Dalam hidupnya, Ambo Dalle juga kerap mengkritik ajaran agama yang dianggap menyimpang. Salah satunya penyatuan diri bersama Allah swt. Di dalam kitabnya al-Qawl al-Shadiq, ia sangat menentang paham ajaran Tasawuf atau terekat yang ingin menyatukan antara dirinya dengan Allah Swt.

Pembaru Konsep Pendidikan Modern

Sejak Ambo Delle diangkat menjadi asisten H. Muhammad As’ad, ia mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan.

Dibukalah pendidikan modern Awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), Ibtidaiyah (SD) dan Tsanawiyah (SMP). Sedangkan lembaga yang ia dirikan diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle. Ia bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka ketika H.M. Yusuf Andi Dagong  ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, ia kemudian mendirikan Masjid di Mangkoso sebagai ibu kota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya.

Hijrah ke Mangkoso

Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui H. Muhammad As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Baca Juga  Kematian dan Nilai-nilai Tasawuf Dalang Ki Seno Nugroho

Awalnya, permohonan itu ditolak karena H. Muhammad As’ad tidak menghendaki ada cabang atas madrasahnya. Ia khawatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo, hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan; melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Ambo Dalle memulai pengajian dengan sistem halakhah.

Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk para pengajar dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Gunawan
1 posts

About author
Mahasiswa ITB Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *