Disertasi Amien Rais | Kita mengenal Dr. Amien Rais sebagai seorang figur politikus yang terkenal dengan manuver-manuvernya. Sejak menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, nama beliau berkibar sebagai figur intelektual yang sangat kritis terhadap Soeharto.
Beliau ikut menjatuhkan rezim Orde Baru dan memelopori gerakan politik yang dikenal sebagai “reformasi”, lalu kemudian mendirikan Partai Amanat Nasional. Tak cukup sampai di situ, beliau terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan terlibat dalam drama politik hingga beliau kalah di Pilpres tahun 2004.
Setelah itu, beliau kemudian lambat laun memudar dari dunia politik Indonesia meski masih aktif, kini mendirikan Partai Ummat yang beliau pimpin selepas keluar dari Partai Amanat Nasional.
Tapi ada satu karya Dr. Amien Rais yang penting tapi tidak banyak dikupas, yakni Disertasi Doktoralnya di University of Chicago, Amerika Serikat. Orang banyak mengetahui Pak Amien sebagai salah satu dari ‘trio’ intelektual kawakan alumnus Chicago –bersama Ahmad Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid—namun tidak banyak yang mengupas isi Disertasi Doktoral beliau.
Padahal, mayoritas yang dilakukan oleh mahasiswa PhD ketika berkuliah adalah menulis Disertasi. Pendeknya, Disertasi adalah ‘hasil’ perkuliahan mahasiswa ketika menempuh studi Doktoral.
Tulisan ini akan mendiskusikan inti dari argumen Disertasi Dr. Amien Rais dan mencoba mengapresiasi –serta memberikan catatan kritis—atas argumen beliau tersebut. Sebagai seorang yang baru lulus Doktor, saya bisa merasakan betapa menulis Disertasi bukanlah hal yang mudah.
Penelitian Dr. Amien Rais memberikan kita gambaran tentang apa yang ditulis oleh seorang mahasiswa Doktoral dan bagaimana kontribusinya bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial dan politik.
Disertasi Amien Rais
Disertasi Amien Rais yang berjudul “The Muslim Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise, and Resurgence” diselesaikan di University of Chicago, di bawah bimbingan Professor Leonard Binder.
Sosok supervisor beliau adalah figur yang sentral dalam proses pembaruan kelembagaan studi Islam di Indonesia di tahun 1970an, sebagaimana ditulis dengan baik oleh Meghan Brankely Abbas dalam buku terbarunya, “Whose Islam?”. Disertasi ini menelisik sejarah gerakan Ikhwan dari awal kemunculan hingga jatuh bangun di era Nasser dan Sadat.
Secara lebih khusus, penelitian Dr. Rais bertujuan untuk memahami ‘fundamentalisme Islam’ secara jernih dengan melihat bagaimana Islam -sebagai sistem kepercayaan dan agama- bisa memotivasi gerakan sosial yang tetap tumbuh dalam konteks politik Timur Tengah.
Dr. Rais mengembangkan argumen ini untuk memahami kiprah Ikhwanul Muslimin, yang secara spesifik beliau teliti selama lebih setahun dalam penelitian lapangan di Mesir.
Memahami “Islam Fundamentalis”
Dr. Rais memulai penelitiannya di Bab I dengan terlebih dulu mengkritik teori-teori ‘sekularisasi’ dalam literatur-literatur tentang hubungan agama dan politik, dan menawarkan kerangka berpikir alternatif dengan melihat Islam sebagai kekuatan sosial dan politik alih-alih sekadar agama.
Hal ini penting dalam penulisan Disertasi Doktoral. Kita tidak hanya dituntut untuk mengumpulkan data dan memaparkannya, atau hanya sekadar “publikasi” di jurnal terindeks “Scopus”. Ketika menulis Disertasi, kita setidaknya perlu mendiskusikan dan mengkritik literatur yang ada sebelumnya, dan menawarkan cara berpikir alternatif
Dr. Rais melihat bahwa teori-teori sekularisasi dalam ilmu sosial dan politik kontemporer cenderung melihat bahwa perkembangan masyarakat modern dicirikan oleh beberapa tesis. Seperti ‘asumsi kemajuan’, masyarakat yang berpikir rasional yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, dan pandangan bahwa agama kerap dipandang sebagai penghalang kemajuan sosial-ekonomi.
Terlihat dalam tulisan-tulisan Lucien W. Pye, Pitrim Sorokin, Peter Berger, Thomas Luckmann, dan penulis-penulis lainnya yang bepikir dalam mazhab ‘fungsionalis-modernis’.
Bagi Dr. Rais, pendekatan ilmu sosial yang berpijak pada ‘sekularisme’ gagal memahami gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan tahun 1970an. Karena literatur sekularisasi melihat agama secara negatif, ia gagal memberikan pemahaman yang memadai tentang Islam dan gerakan-gerakan yang ada di dalamnya. Islam dipandang sebagai ‘patologi’ yang menghalangi kemajuan suatu bangsa.
Padahal, menurut Dr. Rais dengan merujuk pada tradisi dan ajaran Islam, ada banyak peran sosial dan politik yang diambil oleh umat Islam. Seperti dalam konteks perlawanan terhadap kolonialisme maupun peran ‘ulama’ yang tidak hanya berfungsi sebagai teolog, namun juga pemandu umat Islam. Menurut Dr. Rais, teori-teori sekularisasi punya bias karena berangkat dari konteks fundamentalisme ‘Kristen’, yang berbeda dengan fundamentalisme Islam.
Argumen Utama Disertasi Amien Rais
Di sinilah Dr. Rais mendudukkan argumen utama Disertasinya. Dengan melihat pengalaman Ikhwanul Muslimin terutama di tahun 1970an, Dr. Rais berpendapat bahwa penting untuk memahami ‘Islam’ dengan melihat gerakan dan tuntutan politik dari kelompok Islam fundamentalis.
Menurut Dr. Rais, “Kebangkitan kembali Islam kontemporer [di tahun 1970an, pen.] tidak didorong oleh kaum Muslim modernis atau Muslim konservatif, melainkan oleh kelompok Muslim fundamentalis” (h. 23).
Apa sebabnya? Kendati menurut Dr. Rais, “Memang ada efek dari uang minyak dari Arab Saudi dan Libya yang mendorong kebangkitan Islam”, menurut beliau, “….tanpa kerangka berpikir intelektual [dari gerakan fundamentalis ini] kebangkitan Islam tidak akan besar’ (h. 25).
Di sini Dr. Rais memberikan satu argumen utama: gerakan Islam fundamentalis –seperti yang nantinya dibicarakan beliau dalam konteks Ikhwanul Muslimin di Mesir— punya peran intelektual dalam mendorong kebangkitan Islam, dengan cara membangun kerangka berpikir dan membawanya ke dalam ranah gerakan.
Peran Ikhwanul Muslimin, dari ulama hingga pegiat-pegiatnya di Mesir, menunjukkan peran intelektual Islam dalam mendorong perubahan dan dinamika sosial politik di masyarakat.
Di sini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya argumen dan analisis Dr. Rais ingin mendebat pendapat ilmuan mazhab fungsionalis – seperti Talcott Parson- yang melihat masyarakat modern sebagai masyarakat rasional dan sekuler, meminggirkan peran agama.
Argumen Dr. Rais: tidak selalu. Islam juga punya peran sosial dan politik yang dalam banyak hal mendorong perubahan sosial masyarakat.
Memandang Islam secara jernih, dengan demikian, penting untuk melihat sejauh mana perubahan itu positif atau negatif, dan sejauh mana perubahan sosial itu bisa bertahan lama, sebagaimana nantinya akan dijelaskan oleh Dr. Rais dalam konteks Ikhwanul Muslimin.
Untuk bagian kedua, klik di sini
Editor: Yahya FR