Perspektif

Membaca Fenomena Agama lewat Teori Yuval Noah Harari

4 Mins read

Kita sudah akrab dengan salah satu buku penting dalam satu dasawarsa terakhir ini, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) karya Yuval Noah Harari. Dalam dunia di mana perbedaan pendapat dan kritisisme adalah watak alaminya ini, buku penting Harari tidak bisa lepas dari kritik berbagai pihak. Saya tidak bermaksud menyampaikan kritik kesekian ratus untuknya.

Anda bisa berbeda pendapat dengan Harari atau siapa pun. Tapi, perbedaan bukan alasan untuk tidak melihat dan mendengarkan bagaimana ia menyusun teori-teorinya dalam berbagai karyanya, termasuk Sapiens, dan merenungkan setiap ucapannya.

Tulisan ini bertujuan untuk merenungkan teori yang Harari sampaikan. Tidak seluruh dari apa yang Harari sampaikan akan kita kupas. Tulisan ini fokus kepada teori Harari seputar fiksi dan agama.

Fiksi yang Dipercaya

Berdasarkan teori Harari, untuk memahami agama, kita bisa mulai dengan mengajukan satu pertanyaan sederhana: Apa yang membuat seorang yang beragama merasa bangga dengan keyakinannya? Jawabannya bisa kita tebak: sebab orang itu percaya bahwa imannya akan menyelamatkan dirinya, terutama nanti, setelah mati.

Mengapa ia bisa percaya demikian? Menurut Harari, kita percaya bukan karena kita memang mengetahui hakikat agama yang kita peluk. Kita percaya adalah karena orang lain juga percaya. Ini mengingatkan kita pada konsep taqlid.

Sama halnya orang percaya bahwa uang itu berharga; bukan karena uang secara intrinsik memang berharga, melainkan semata-mata karena semua orang percaya begitu.

Uang hanya kertas atau logam, manusialah yang memberinya nilai. Agama pun demikian. Tuhan, malaikat, dan surga yang ia katakan pada Anda tidak pernah terbukti ada, sebelum kita mempercayainya.

Mengacu kepada Harari, kepercayaan yang dianut seseorang sebenarnya adalah sebuah cerita dan fiksi, yang dipercaya, dipegang, dan dipeluk, karena ada banyak orang lain di sekitarnya yang memeluk cerita yang sama. Bukan karena secara intrinsik kepercayaan itu benar.

Baca Juga  Bayang-Bayang Seni Kiai Dahlan di Muhammadiyah

Bukan hanya agama, bagi Harari, ideologi, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan berbagai institusi peradaban manusia, sebenarnya dibangun di atas fiksi, bukan realita. Tapi fiksi itu kemudian diyakini, dan berubah menjadi realitas baru tersendiri. Harari menyebutnya realitas yang diimajinasikan.

Fungsi Agama

Jika kita terima asumsi Harari ini, artinya kita harus bertanya lagi: kenapa manusia perlu percaya agama? Karena, kebanyakan manusia membutuhkan pegangan yang bisa ia percaya, tempat ia menemukan kejelasan hidup, tempat ia menggantungkan harapan, terutama di tengah-tengah kehidupan yang serba keras dan penuh penderitaan ini.

Oleh karena itu, kepercayaan dan iman sebenarnya bernilai secara fungsional. Menurut Harari kepercayaan adalah teknologi mental paling canggih dan sudah banyak membantu kehidupan manusia.

Melalui agama, kepercayaan menjadi sebuah sistem dan institusi yang memiliki rukun iman, rukun Islam, ibadah wajib, sunnah, kode halal, dan haram, yang kita jalani untuk menunjang kehidupan, meskipun variabel dan konstanta yang digunakan seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, siksa, azab, dan pahala sering tidak berdasar secara logis dan empiris.

Ini berlaku untuk semua agama, bahkan bagi ideologi-ideologi seperti komunisme dan kapitalisme. Dalam kategori Harari, ideologi-ideologi tadi adalah serupa agama karena memiliki “sosok superhuman” yang dipercaya dan diperjuangkan, yakni kesetaraan dan kebebasan, hal-hal yang secara empiris sebenarnya tidak ada.

Sejak dahulu, agama telah menjadi cerita yang dipercaya untuk menumbuhkan harapan-harapan manusia. Begitu pula Islam. Ia menjalankan peran membantu manusia mewujudkan maslahat bagi dirinya dan orang lain, memberi harapan bagi kemanusiaan universal.

Dampak Teori Fiksi Agama

Semua agama hadir bercerita tentang rancangan dunia dan cara kehidupan ini bekerja. Semuanya mengaku benar. Artinya agama mengaku bahwa ia adalah realitas itu sendiri, dan semua yang ia katakan adalah kebenaran. Kemudian Harari datang dan berkata: semua agama adalah cerita-cerita yang diciptakan.

Baca Juga  Inside Out: Diri Sendiri yang Nggak Sendirian

Ada satu dampak ikutan dari teori fiksi Harari. Jika agama adalah fiksi alias cerita yang dikreasikan di suatu masa oleh manusia-manusia juga, itu artinya ia tidak luput dari berbagai bentuk miskonsepsi, misinformasi, bahkan misedukasi. Hal ini wajar karena ia terbatas pada konteks ruang dan waktu.

Dengan mengajukan tesis seputar fiksi tersebut, Harari mencoba menjelaskan kenyataan mengapa ada banyak versi agama sepanjang sejarah.

Tesis agama sebagai fiksi juga berhubungan dengan kemampuan kognitif manusia yang sangat kreatif, yang hampir tidak ada batasnya, sehingga ia akan terus menerus menghasilkan kisah-kisah yang beragam, yang menyebabkan pluralitas ekspresi keberagamaan manusia.

Ada lagi satu dampak ikutan dari teori fiksi ini. Jika agama adalah fiksi, itu artinya ia tidak pernah bersifat tertutup, final, dan sudah tuntas. Melainkan ia selalu terbuka pada berbagai bentuk revisi, koreksi, dan penulisan-penulisan baru.

Meski umat beragama mengaku agamanya sudah final, tapi kenyataannya ia akan terus berkembang dan berubah, karena ia adalah kreasi fiksi manusia. Manusia tidak pernah bisa berhenti bercerita.

Teori ini kemudian membantu kita memahami mengapa bisa terjadi pertikaian antarumat beragama. Perang, intoleransi, dan terorisme atas nama agama terjadi akibat manusia memutlakkan dan menganggap hanya agamanya sebagai versi kebenaran tunggal dan final.

Ketika itulah seseorang berusaha menolak kenyataan eksistensi versi-versi agama atau mazhab lain. Itu memunculkan sikap tiranik dan fanatik pada dirinya, yang sebenarnya adalah akibat tidak mampunya ia memahami bahwa semua agama sebenarnya adalah fiksi belaka.

Pintu Ijtihad Selalu Terbuka

Dengan menggunakan teori Yuval Noah Harari kita juga bisa menjelaskan bagaimana dalam agama bisa muncul ortodoksi, seperti ortodoksi Sunni dalam Islam.

Baca Juga  Agama Ada dan Berkembang Karena Homo Sapiens

Spirit ortodoksi sebenarnya sederhana, yaitu konsep “pintu ijtihad telah ditutup.” Artinya semua aturan dan pandangan agama sudah selesai, tidak ada lagi ruang diskusi, perbedaan pendapat, apalagi pembaruan.

Berdasarkan teori fiksi Harari yang berlandaskan fenomena alami dari kemampuan kognisi manusia, sebenarnya menutup pintu ijtihad adalah pemikiran yang ahistoris dan menyalahi hukum alam.

“Pintu ijtihad telah ditutup” adalah ekspresi yang berulang kali terjadi, yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang merasa sudah memegang kebenaran mutlak.

Agamanya telah memberi ia status sosial yang nyaman, baik di mata manusia atau pun Tuhan. Ia menikmati posisinya sebagai umat pilihan Tuhan, yang sebenarnya hanya fiksi, dan berupaya menjaga supaya status quo ini berjalan selamanya.

Lalu mereka kaget dan tersentak karena tiba-tiba muncul satu versi cerita baru, yang dibawa oleh penutur cerita yang lebih bijaksana dan karismatik, yang pandai menyusun kata dan mengagitasi massa.

Ia datang untuk membuka kembali pintu ijtihad, membawa kembali wahyu, dan memperbaiki masyarakat. Kelak mereka itulah yang sejarah kenal sebagai nabi, filsuf, master, pembaharu, dan seterusnya.

Begitulah bagaimana fiksi telah menjadi agama, dan agama menjadi realitas yang dipercaya sepanjang sejarah. Itulah salah satu teori Yuval Noah Harari dalam Sapiens: A Brief History of Humankind.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds